Saat ini ketahanan energi Indonesia sebenarnya cukup kuat. Pada Indikator Ketahanan Energi pada 2021, skor ”energy security” Indonesia ialah 64,4 atau di atas rata-rata Asia yang 58. Keseimbangan ”supply-demand” penting.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/DOKUMENTASI PT PLN UIP NUSA TENGGARA
Foto udara yang memperlihatkan proyek pembangunan PLTU Sambelia di Desa Padakguar, Kecamatan Sembelia, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan konsumsi listrik di Indonesia masih menjadi tantangan di tengah tingginya kelebihan pasokan daya listrik dalam negeri. Prioritas pengembangan energi di Indonesia ke depan harus mempertimbangkan sisi pasokan dan permintaan.
Ekonom ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, dalam webinar ”Tantangan Sektor Kelistrikan dalam Transisi Energi”, Kamis (9/6/2022), mengatakan, kondisi sektor ketenagalistrikan saat ini tak bisa dilepaskan dari sisi permintaan. Sebab, kelebihan pasokan listrik masih cukup tinggi.
Dalam catatan Indef selama dekade terakhir, kelebihan pasokan listrik di Indonesia rata-rata 25 persen. ”Pada 2021, misalnya, kapasitas terpasang kita 350.000 gigawatt jam (GWh), sedangkan konsumsinya hanya 257.000 GWh atau surplus sekitar 26,3 persen. Dalam satu dekade terakhir, polanya relatif sama,” kata Abra.
Dengan asumsi biaya pokok penyediaan (BPP) listrik Rp 1.333 per kilowatt jam (kWh) pada 2023, dengan kondisi kelebihan pasokan seperti saat ini, diperkirakan ada potensi pemborosan senilai Rp 123 triliun. Hal itu akan berkonsekuensi terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan APBN. Sebab, dari tahun ke tahun ada beban tambahan subsidi dan kompensasi listrik yang sebetulnya terjadi pemborosan.
”Sebenarnya, jika dilihat dengan cermat, ini bisa menjadi salah satu sumber pembiayaan juga untuk transisi energi,” ujarnya.
Ia menambahkan, saat ini ketahanan energi Indonesia sebenarnya cukup kuat. Pada Indikator Ketahanan Energi pada 2021, skor energy security Indonesia ialah 64,4 atau di atas rata-rata Asia yang 58. Dengan kondisi itu, kata Abra, pemerintah perlu memikirkan kembali prioritas pengembangan energi selanjutnya terutama dari sisi permintaan agar suppyl-demand tak berjalan sendiri-sendiri.
Abra mengemukakan, dari tahun ke tahun, termasuk sebelum dan setelah pandemi Covid-19, konsumsi listrik pada sektor industri masih rendah. Padahal, motivasi utama pemerintah dalam menyiapkan listrik, termasuk dari sumber energi terbarukan ialah untuk mendukung sektor riil, baik rumah tangga maupun industri.
”Misal, di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) bahwa proyeksi pertumbuhan demand rata-rata 6,4 persen per tahun, tetapi realisasinya pada periode 2015-2020, pertumbuhan konsumsi listrik hanya 3,5 persen. Artinya, sebenarnya masih ada waktu untuk merasionalkan kembali dengan melihat kinerja sektor energi dari sisi demand,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Abra, memang tengah mengupayakan peningkatan demand, seperti melalui pengembangan jaringan gas, konversi batubara menjadi dimetil eter (DME), hingga kompor induksi. Namun, dalam pengamatannya, hal tersebut masih bergerak sendiri-sendiri. Dikhawatirkan, target-target yang terlalu dipaksakan justru nantinya tak terserap dalam realisasinya.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Teknisi memeriksa saluran uap air panas dari separator di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Binary Organic Rankine Cycle (ORC) berkapasitas 500 KW yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP Binary ORC ini merupakan proyek percontohan penerapan teknologi binary atau optimalisasi uap air panas dari sumur geotermal Lahendong untuk produksi listrik. PT PGE berencana mengembangkan PLTP binary ini dengan kapasitas mencapai 25 MW sebagai komitmen mewujudkan sumber energi baru dan terbarukan.
Transportasi
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan, posisi saat ini, kapasitas terpasang PLN ialah 63 GW dengan 80 juta pelanggan dengan pendapatan Rp 368 triliun. PLN pun akan menekan emisi karbon hingga ke titik emisi nol bersih (NZE) pada 2060. Dua sektor dengan kontribusi terbesar terhadap emisi di Indonesia ialah kelistrikan dan transportasi sehingga perlu komitmen bersama untuk menekan emisi di sektor transportasi.
Menuju NZE 2060, kata Evy, Indonesia memang mengalami kondisi berbeda dibandingkan negara-negara lain, yakni oversupply listrik. ”Ini akibat penurunan dari industri manufaktur dari tahun-tahun sebelumnya dan lebih banyak tumbuh di sektor jasa dan perdagangan. Itu memengaruhi elastisitas kelistrikan kita dari tadinya 1,3 sekarang hanya 0,9 Jadi, butuh inisiatif jika ingin capai NZE dalam kondisi oversupply,” ujarnya.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Keuangan, Joko Triharyanto, menambahkan, pemerintah sedang menyiapkan country platform, terkait dengan mekanisme dalam transisi energi. Pemerintah menyiapkan skema pembiayaan campuran.
”Dengan ini, nantinya akan ada satu operator yang ditunjuk, yakni PT SMI, yang akan mengelola sisi kiri dan kanan. Di kiri yakni memensiunkan dini beberapa PLTU, baik PLN, IPP (swasta), dan proyek lain. Di saat bersamaan, PT SMI akan mengelola sisi kanan, yakni pengembangan energi terbarukan, meski tak dalam satu bundling paket,” ujarnya.
Dengan country platform, diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya mekanisme pendanaan campuran karena pendekatan keterjangkauan. ”PT SMI akan menjadi orkestrasi dari berbagai sumber pendanaan yang sifatnya bisa multilateral, bilateral, komersial, korporasi, dan lainnya,” kata Joko.