Menyiasati Peran, Menuntut Ilmu di Bangku Kuliah, dan Menggeliatkan Perekonomian
Perempuan berpotensi berkontribusi lebih pada perekonomian Indonesia. Akan tetapi, peran perempuan dalam perekonomian nasional saat ini masih rentan dan tak terlihat.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·5 menit baca
M PASCHALIA JUDITH J
Dewi Norytyas Prihatiningrum, mahasiswa yang tengah menempuh studi Strata-II (S2) di University of Glasgow, Glasgow, Skotlandia, sedang melakukan panggilan video dengan putranya yang berada di Indonesia ketika mengerjakan tugasnya di laboratorium, Senin (20/12/2021).
Jumat, 25 Februari 2022, sekitar pukul 03.30 di laboratorium kampus University of Glasgow, Skotlandia, Dewi Norytyas Prihatiningrum terjaga menghadap dua layar. Satu layar komputer menampilkan peta untuk tugas kuliah, sedangkan layar lainnya memajang deretan pesan suara anaknya yang membuatnya tersenyum.
Melalui layar gawai, Dewi mengalirkan cinta dan perhatiannya untuk putranya yang berjarak sekitar 14.900 kilometer darinya. Perempuan asal Desa Tayem Timur, Cilacap, Jawa Tengah, itu sedang menempuh studi S-2 di University of Glasgow, Glasgow, Skotlandia. ”Pilihan (studi lanjut) bukan pilihan populer di lingkungan sekitarku. Aku sampai memohon pada suami untuk membantu orang-orang terdekat memahami pilihan ini,” katanya saat dijumpai di Glasgow, Sabtu (21/5/2022).
Sama halnya dengan Dewi, meski berada di dua benua berbeda, Nadia Atmaji tak absen memantau pertumbuhan dan perkembangan putrinya yang masih bawah tiga tahun. Mahasiswi S-2 University College London, London, Inggris, ini rutin berkonsultasi secara daring dengan psikolog dan dokter anak serta mempelajari stimulus-stimulus yang dibutuhkan anaknya.
Demi menjadi teladan bagi putra-putrinya yang menginjak usia remaja, Beatrix Marendeng rela menjalani hubungan jarak jauh Glasgow-Toraja, Sulawesi Selatan, dengan kedua buah hatinya. Dia ingin menunjukkan, perjuangannya memperoleh gelar S-2 di University of Glasgow bukan pilihan yang egois.
Jatuh-bangun menjalani peran ibu dalam rumah tangga sekaligus sebagai pelajar di negeri orang memang tak terelakkan bagi Dewi, Nadia, dan Marendeng. Akan tetapi, ketiga perempuan tersebut memiliki kesempatan menempuh pendidikan di atas rata-rata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2021, lama sekolah penduduk perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas rata-rata 8,7 tahun.
M PASCHALIA JUDITH J
Dewi Norytyas Prihatiningrum (kiri) dan Beatrix Marendeng (kanan) tengah membicarakan kesehatan anak, Senin (20/12/2021). Keduanya merupakan ibu yang tengah menempuh studi Strata-II (S2) di University of Glasgow, Glasgow, Skotlandia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan, pundak perempuan Tanah Air menanggung beban berlipat karena norma sosial yang terbentuk, misalnya perihal urusan domestik atau rumah tangga.
”Imbasnya, perempuan sulit mengakses pendidikan, khususnya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti S-1, S-2, atau S-3,” ujarnya saat dihubungi, Senin (30/5).
Rendahnya akses perempuan ke pendidikan, lanjut Fauziah, berdampak ganda pada perekonomian nasional. Rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, penghasilan, dan akses ke lembaga keuangan, serta tingginya jumlah perempuan dalam usaha sektor informal membuat mereka berada dalam situasi yang rentan.
Padahal, berdasarkan riset yang dihimpun, dia menyatakan, perempuan berpotensi berkontribusi besar pada perekonomian. Akan tetapi, peran perempuan dalam perekonomian nasional saat ini masih rentan dan tak terlihat.
Lebih senjang
Dalam laporan World Economic Forum (WEF) yang berjudul ”Global Gender Gap Report 2021”, Indonesia menempati peringkat ke-101 dari 156 negara. Peringkat ini menunjukkan, semakin rendah ranking yang diperoleh, semakin besar kesenjangan jender yang dihadapi ketika dibandingkan dengan negara lainnya.
Indikator partisipasi, kesempatan ekonomi, serta penyelesaian pendidikan turut memengaruhi posisi kesenjangan tersebut. Pada 2021, Indonesia menempati ranking ke-99 dalam aspek partisipasi dan kesempatan ekonomi. Artinya, tingkat kesempatan dan partisipasi perempuan Indonesia dalam perekonomian terhadap laki-laki lebih senjang dibandingkan 98 negara lainnya.
Dalam aspek pendidikan, Indonesia berada di peringkat ke-107. Dengan demikian, tingkat pemenuhan pendidikan perempuan terhadap laki-laki di Indonesia lebih senjang dibandingkan 106 negara lainnya.
M PASCHALIA JUDITH J
Dewi Norytyas Prihatiningrum, mahasiswa yang tengah menempuh studi Strata-II (S2) di University of Glasgow, Glasgow, Skotlandia, sedang melakukan panggilan video dengan putranya yang berada di Indonesia, Senin (20/12/2021).
Secara spesifik, laporan International Labour Organization dan United Nations Children’s Fund berjudul ”GirlForce: Skills, Education and Training for Girls Now” yang terbit pada 2018 menunjukkan, rasio perempuan Indonesia berusia 15-24 tahun yang tidak memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan (not in education, employment or training/NEET) yang tidak aktif dalam perekonomian mencapai 81 persen. Sebaliknya, rasio laki-laki berusia 15-24 tahun dalam kelompok NEET yang tidak aktif dalam perekonomian sebesar 45 persen.
Di sisi lain, Fauziah menuturkan, peningkatan akses perempuan ke pendidikan yang berdampak pada kenaikan partisipasi dalam ketenagakerjaan akan mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia sebesar Rp 1.939 triliun. ”Demi mencapainya, pemerintah dapat meningkatkan proporsi anggaran dalam APBN yang bersifat gender responsive dan gender specific supports, misalnya penciptaan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif serta pelatihan untuk peningkatan kemampuan teknis, seperti pencatatan keuangan, manajemen, dan keterampilan digital,” katanya.
Keputusan ekonomi
Akses perempuan terhadap pendidikan memengaruhi keputusan-keputusan ekonomi di tingkat rumah tangga. Contohnya, keputusan berbelanja yang dapat memberikan dampak berganda pada ekosistem ekonomi digital atau pekerja di sektor informal. Fauziah mengatakan, pendidikan yang diperoleh perempuan dapat meningkatkan keterampilan dalam mengelola sekaligus mengambil keputusan keuangan keluarga.
Dewi, misalnya, kendati tidak bisa memasak langsung untuk putranya, ia tetap rutin berbelanja bahan pangan lewat layanan pesan Whatsapp ke tukang sayur langganannya. Dia juga sering membelikan bahan pangan, seperti mi, lewat lokapasar Tanah Air. Jarak belasan ribu kilometer tak menjadi masalah dalam membelikan bahan asupan bagi keluarganya di Indonesia.
MIRZA MUCHAMMAD IQBAL UNTUK KOMPAS
Selain menjadi ibu sekaligus mahasiswa S2 University College London, London, Inggris, Nadia Atmaji (kiri) juga aktif berorganisasi. Dia pernah menjadi moderator dalam acara diskusi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11/2021).
Dari pantauan terhadap kebutuhan putrinya, Nadia pernah membeli kaus kaki lewat lokapasar di Indonesia. Perbedaan zona waktu antara dia dan keluarga seolah tak menjadi masalah. ”Sesekali saya juga membelikan kopi untuk suami lewat aplikasi ojek daring. Saya sangat berterima kasih kepada teknologi,” ujarnya.
Tak hanya soal konsumsi, literasi keuangan keluarga berpotensi menguat. ”Saya membuka rincian penggunaan beasiswa ke anak-anak. Langkah ini dapat menjadi contoh bagi mereka tentang mengelola uang beasiswa. Saya juga menunjukkan bahwa saya bisa menabung dari beasiswa itu. Tabungan digunakan untuk liburan akhir tahun anak-anak agar mereka bisa merasakan manfaat dari uang beasiswa yang saya peroleh,” tutur Nadia.
Perempuan Tanah Air kini berada dalam perjalanan yang penuh siasat untuk melakoni peran-peran pilihannya. Perjalanan itu bisa berbuah manis, baik bagi orang-orang terdekat maupun perekonomian nasional, asalkan akses pendidikan yang setara bagi perempuan menjadi pupuknya.