Kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, tidak lagi jadi pertimbangan dominan Bank Indonesia dalam menentukan tingkat suku bunga acuan.
JAKARTA, KOMPAS — Risiko kejatuhan nilai tukar rupiah akibat larinya dana asing yang dipicu oleh kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) cenderung semakin kecil. Kondisi ini membuat kebijakan moneter Bank Indonesia menjadi lebih independen dari pengaruh The Fed. Karena itu, BI percaya diri tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen kendati The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali sebesar total 75 basis poin sejak Maret 2022.
Dengan berkurangnya pengaruh The Fed terhadap stabilitas kurs, kebijakan moneter BI bisa lebih fokus dalam mengendalikan inflasi sembari tetap mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 23-24 Mei memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen, suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
”Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tingginya tekanan eksternal terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di sejumlah negara maju dan berkembang,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo pada jumpa pers hasil RDG secara virtual, Selasa (24/5/2022), di Jakarta.
Langkah BI tersebut membuat spread suku bunga acuan BI dengan suku bunga The Fed semakin mengecil. Target suku bunga The Fed saat ini adalah 0,75-1 persen. Spread keduanya saat ini tergolong sangat rendah dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Perry meyakini kebijakan The Fed menaikkan suku bunga tidak akan berdampak signifikan terhadap stabilitas kurs rupiah. Hal itu karena jumlah dana asing yang keluar dari Indonesia (capital outflow) relatif minim. Kondisi itu terjadi seiring mengecilnya porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) dan saham di pasar modal. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan per 12 Mei 2022, kepemilikan asing pada SBN hanya 16,70 persen. Ini jauh menurun dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19 yang pernah mencapai 40 persen.
Menurut Perry, kemampuan Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah dari tekanan eksternal juga relatif kuat saat ini. Salah satunya berkat surplus transaksi berjalan yang ditopang oleh surplus neraca perdagangan. Pada April 2022, neraca perdagangan mencatat surplus 7,6 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 4,5 miliar dollar AS. Surplus neraca perdagangan ini ditopang kinerja ekspor yang terus bertumbuh seiring naiknya harga komoditas dan permintaan mitra dagang utama yang masih kuat.
Ini membuat cadangan devisa hingga 28 April 2022 mencapai 135,7 miliar dollar AS, yang relatif cukup untuk melakukan intervensi guna menjaga kestabilan nilai tukar.
Terkait inflasi, Perry meyakini lajunya masih terkendali. BI selalu berkoordinasi dengan pemerintah (pusat dan daerah) melalui Tim Pengendali Inflasi (TPIP dan TPID) untuk mengendalikan laju inflasi. BI dan pemerintah menargetkan inflasi tahun ini berkisar 2-4 persen. ”Inflasi masih terkendali. Kalaupun melewati batas atas, hanya sedikit di atas 4 persen pada tahun ini,” ujar Perry.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, pada masa-masa sebelumnya, BI cenderung selalu merespons kenaikan suku bunga The Fed. Namun, saat ini kondisinya berbeda. Sebab, faktor-faktor yang diperhatikan untuk jadi pertimbangan kebijakan moneter juga dalam kondisi berbeda.
”Faktor eksternal kini lebih melandai. Sedangkan di dalam negeri masih membutuhkan insentif pertumbuhan. Maka, BI memilih untuk tidak menaikkan suku bunga,” ujar Faisal.
Ekonom Ryan Kriyanto mengemukakan, keputusan BI untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan sudah tepat. Sebab, saat ini kurva pertumbuhan ekonomi sedang menanjak. ”Maka, level suku bunga acuan perlu dipertahankan untuk memberikan spirit dan sinyal dovish atau akomodatif,” ujar Ryan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2022, Selasa (24/5/2022), menyinggung bahwa negara maju dan negara berkembang di dunia saat ini sedang sama-sama menghadapi tren inflasi tinggi yang salah satunya dipicu oleh kenaikan harga energi global.
Di banyak negara, lanjutnya, lonjakan inflasi diiringi juga dengan percepatan kenaikan suku bunga acuan bank sentral. ”Jadi, kita bisa memprediksi kemungkinan banyak negara maju akan melakukan kenaikan suku bunga mereka, sejalan dengan semakin tidak terkendalinya inflasi. Dunia dihadapkan dengan tiga tantangan ekonomi yang sama beratnya, yakni inflasi global yang tinggi, sehingga menyebabkan suku bunga tinggi serta menghadirkan potensi melemahnya pertumbuhan ekonomi. Ketiga hal inilah yang perlu kita waspadai,” kata Sri Mulyani.