Petani Sawit Serukan Pembenahan Tata Kelola Industri Sawit Nasional
Kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya semestinya bisa menjadi momentum bagi pemerintah merombak secara besar-besaran sistem perkebunan kelapa sawit yang belum teratur.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola industri hulu-hilir sawit perlu dibenahi agar petani tidak selalu menjadi korban gangguan hilirisasi produk sawit. Saat ini, ketergantungan petani sawit kepada korporasi kelapa sawit telanjur akut sehingga petani tidak punya kuasa menentukan harga tandan buah segar, yang dengan mudah anjlok apabila terjadi gejolak pada harga produk turunannya.
Hal tersebut menjadi salah satu tuntutan dalam aksi yang dilakukan organisasi petani sawit Indonesia yang berpusat di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Aksi ini dipicu anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di level petani semenjak penerapan kebijakan larangan ekspor produk turunan sawit.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, selama ini petani sawit hanya berfungsi sebagai penyedia bahan baku. Belum ada satu pun kelembagaan petani yang memiliki pabrik sendiri dan mengolah TBS menjadi bahan jadi, misalnya menjadi minyak goreng.
Pelarangan ekspor bisa jadi momentum bagi pemerintah untuk mendukung kelembagaan petani sawit untuk memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit dengan memanfaatkan keberadaan dana sawit yang dikelola BPDPKS. (Mansuetus Darto)
”Pelarangan ekspor bisa jadi momentum bagi pemerintah untuk mendukung kelembagaan petani sawit untuk memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit dengan memanfaatkan keberadaan dana sawit yang dikelola BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit),” ujarnya.
Darto menambahkan, saat ini sektor swasta telah memonopoli hilirisasi produk-produk dari perkebunan kelapa sawit. Hampir seluruh perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng, lanjutnya, memiliki perkebunan kelapa sawit.
Para perusahaan swasta, lanjutnya, telah mengontrol hilirisasi, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Bahkan, dalam rantai pasok produk sawit, beberapa perusahaan swasta memiliki fasilitas pengolahan atau penyulingan untuk yang turut menampung minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari petani rakyat.
”Soal reformasi agraria terkait dengan soal keadilan. Kalau para perusahaan besar mengontrol sektor hulu dan hilir, akan sangat sulit bagi kemajuan sektor perkebunan sawit rakyat. Kalau kita mau bicara soal industrialisasi sawit nasional, yang swasta-swasta besar ini harus didorong ke hilir, yang di hulu cukup dengan koperasi-koperasi petani sawit,” ujarnya.
Di luar itu, lanjut Darto, reforma agraria yang belum dijalankan secara optimal membuat perkebunan kelapa sawit masih menjadi sumber konflik agraria dan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Jika reformasi agraria tidak dilakukan pada saat kebijakan pelarangan ekspor diterapkan, menurut Darto, kebijakan pemerintah tersebut tidak akan memberikan nilai positif untuk petani sawit rakyat yang telah merugi akibat anjloknya harga TBS.
Di sela aksinya, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, rata-rata penurunan harga TBS sejak pengumuman pertama larangan ekspor mencapai 50-60 persen dari yang tertulis di kertas kesepakatan.
Berdasarkan kalkulasi Apkasindo, potensi pendapatan petani sawit yang hilang akibat anjloknya harga TBS, sejak 20 hari lalu atau 27 April 2022, sudah mencapai Rp 11,4 triliun. Angka tersebut berasal dari 6,58 juta ton TBS yang rusak karena tidak terserap oleh pabrik.
”TBS dalam beberapa waktu terakhir sudah tidak ada lagi harganya. Semua pabrik menolak menyerap TBS karena tangki timbun mereka sudah penuh,” ujar Gulat.
Apkasindo mencatat, harga TBS di sejumlah sentra perkebunan sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berada di kisaran Rp 1.600 per kg-Rp 1.940 per kg. Harga ini berada di bawah harga yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018, yakni di kisaran Rp 3.000 per kg-Rp 3.100 per kg.
Penurunan harga TBS dipicu kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam menstabilkan stok dan harga minyak goreng dalam negeri, salah satunya melalui pelarangan ekspor CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, dan minyak jelantah, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022.
Gulat menegaskan, larangan ekspor minyak goreng dan CPO telah berdampak langsung pada anjloknya harga TBS kelapa sawit di seluruh Indonesia, terkhusus sentra perkebunan kelapa sawit.
”Kami meminta Presiden meninjau ulang kebijakan larangan ekspor produk minyak goreng sawit serta bahan bakunya karena dampaknya langsung ke harga TBS sawit (menjadi anjlok),” kata nya.
Dalam analisis ekonomi oleh Mohammad D Revindo dan Cania A Sinaga dari Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB UI) pada April 2022 disebutkan bahwa penyerapan TBS di tingkat petani adalah imbas yang perlu diperhatikan dari kebijakan pelarangan ekspor produk sawit.
“Mengingat produksi CPO jauh melebihi kebutuhan domestik, perlu diantisipasi dampak kebijakan larangan kebijakan ekspor terhadap penyerapan TBS di tingkat petani,” tulis laporan tersebut.
Jumlah produksi CPO nasional pada 2021 adalah 46,88 juta ton, sedangkan yang digunakan untuk kebutuhan domestik hanya 18,42 juta ton. Dengan struktur industri CPO yang berbentuk oligopolistik dan daya tawar korporasi lebih kuat daripada petani, sebagian besar efek menurunnya penjualan CPO akan dibebankan kepada petani.
Mengingat produksi CPO jauh melebihi kebutuhan domestik, perlu diantisipasi dampak kebijakan larangan kebijakan ekspor terhadap penyerapan TBS di tingkat petani.
Dalam keterangan tertulis, Ketua Pusat Kajian Kelapa Sawit Institut Pertanian Stiper Yogyakarta, Purwadi, mengatakan, kegaduhan dan kompleksitas kebijakan minyak goreng di pasar domestik menunjukkan bahwa diperlukan pembenahan tata kelola bisnis dan industri berbasis sawit berikut sistem rantai pasoknya.
”Kondisi ini menjadi momentum untuk melakukan pembenahan tata kelola secara komprehensif karena sawit telah menjadi produk global, diperdagangkan dan berkontribusi untuk pangan dan energi dunia,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud masih enggan menanggapi permasalahan tata kelola dalam rantai pasok industri berbasis sawit. Namun, ia menekankan pemerintah ingin sawit tidak hanya tersedia, tetapi juga terjangkau.
”Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara harga internasional yang tinggi dan pengendalian harga domestik untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat,” ujarnya.