Digitalisasi Diharapkan Jadi Motor Penggerak Pemulihan
Digitalisasi ekonomi ibarat dua sisi mata uang. Ia membawa peluang besar untuk mendorong pemulihan ekonomi, tetapi di saat yang sama juga bisa semakin mempertajam ketimpangan sosial-ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi yang berkembang pesat selama dua tahun terakhir ini diharapkan menjadi motor baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di tengah prospek cerah itu, ada sejumlah tantangan serius yang perlu diantisipasi agar digitalisasi tidak semakin mempertajam kesenjangan dalam pemulihan ekonomi.
Tren digitalisasi yang terus bertumbuh tecermin dari pesatnya nilai dan volume transaksi digital. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, per triwulan I-2022, nilai transaksi digital perbankan mencapai Rp 11.100 triliun, tumbuh 34,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada Februari 2022, transaksi keuangan digital pada e-dagang juga mencapai Rp 30,8 triliun dengan volume transaksi sebanyak 222,9 juta kali, meningkat dibandingkan transaksi setahun lalu senilai Rp 27,3 triliun dengan volume transaksi 174,6 juta kali.
Baca Juga: Digitalisasi Jadi Penopang Kebangkitan UMKM
Pertumbuhan nilai dan volume transaksi juga terjadi pada metode pembayaran pindai kode/QRIS. Sampai Februari 2022, total nominal transaksi QRIS bertumbuh empat kali lipat secara tahunan menjadi Rp 4,5 triliun, begitu pula volumenya bertumbuh tiga kali lipat menjadi 54,6 juta kali transaksi.
Mengutip riset Google, Temasek, Bain & Company, nilai gross merchandise value (GMV) ekonomi digital atau total nilai barang yang diperjualbelikan di Indonesia mencapai 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp 994 triliun pada akhir 2021. Angka ini setara dengan 5,85 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2021 yang sebesar Rp 16.970 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, isu digitalisasi ekonomi menjadi salah satu agenda dan perhatian utama dalam diskusi forum G20 tahun ini. Transformasi digital dalam berbagai aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi telah menjadi fenomena yang terjadi di seluruh dunia, khususnya semenjak pandemi.
”Harapannya, digitalisasi di berbagai aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi ini bisa menjadi sumber pertumbuhan baru ekonomi,” ujar Sri Mulyani, Kamis (12/5/2022).
Pandemi yang mereda tidak lantas membuat orang yang sebelumnya memanfaatkan platform e-dagang untuk aktivitas jual beli kembali ke luring. Sesuai laporan Digital Commerce Confidence Index Lazada, 77 persen dari 766 penjual daring di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih optimistis meraup pertumbuhan penjualan 10 persen pada triwulan II-2022.
Ekonomi jadi lebih efisien, jangkauan pasar lebih luas, dan tatanannya pun lebih adil. Semua bisa memanfaatkan, tidak hanya pebisnis lama yang punya resource besar saja.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, digitalisasi telah menjadi faktor pengubah (game changer) yang bisa meningkatkan kembali kapasitas dunia usaha yang sempat tertekan karena pandemi. Meskipun berlaku di beragam aspek dan skala bisnis, digitalisasi juga amat signifikan berkontribusi pada pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Perry meyakini UMKM menjadi tulang punggung dan motor penggerak ekonomi nasional. Berbagai pendampingan dan pelatihan digitalisasi pun terus diberikan BI kepada pelaku UMKM. ”Digitalisasi jadi salah satu kunci pemulihan dunia usaha yang bisa mendorong kembali pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, digitalisasi meningkatkan efisiensi operasional dunia usaha serta memperluas cakupan pasar. Digitalisasi juga membawa tatanan ekonomi baru sehingga siapa pun bisa menguasai pasar asal memiliki akses internet dan lihai menavigasi ekosistem digital.
”Ekonomi jadi lebih efisien, jangkauan pasar lebih luas, dan tatanannya pun lebih adil. Semua bisa memanfaatkan, tidak hanya pebisnis lama yang punya resource besar saja,” katanya.
Ketimpangan
Meski demikian, digitalisasi yang pesat itu juga dikhawatirkan bisa mempertajam ketimpangan dalam pemulihan ekonomi. Menurut kajian Bank Dunia, Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia (2021),berdasarkan kelompok desil pengeluaran per kapita, 71 persen masyarakat yang terkoneksi internet di Indonesia berasal dari kelompok desil 10 (paling sejahtera).
Semakin rendah kelas ekonominya, semakin terputus ia dari akses internet. Hanya 33 persen masyarakat dari kelompok desil 5 yang terkoneksi dengan internet, 28 persen dari kelompok desil 4, 24 persen dari kelompok desil 3, 20 persen dari kelompok desil 2, dan hanya 14 persen dari kelompok desil 1.
Baca Juga: Digitalisasi dan Kesenjangan
Penggunaan internet untuk berusaha juga paling banyak berasal dari kelompok masyarakat terkaya (kuintil 5), yakni 24 persen. Selanjutnya, 16 persen masyarakat dari kuintil 4 mengakses internet untuk berusaha, 15 persen dari kuintil 3, lalu 10 persen dari kuintil 2, dan hanya 1 persen masyarakat dari kelompok masyarakat termiskin (kuintil 1) yang memanfaatkan internet untuk berusaha.
Berdasarkan kelompok desil pengeluaran per kapita, 71 persen masyarakat yang terkoneksi internet di Indonesia berasal dari kelompok desil 10 (paling sejahtera).
Hal yang sama ditunjukkan dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020. Mayoritas pelaku e-dagang atau sebanyak 64 persen berasal dari masyarakat terkaya di Indonesia. Hanya 19 persen masyarakat berkategori kurang mampu yang menggunakan internet untuk keperluan bisnis.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia Edy Misero mengatakan, kemampuan melakukan digitalisasi belum dimiliki sebagian besar pelaku UMKM. Dari 64 juta pelaku UMKM yang ada di Indonesia, baru 21 persen yang mampu memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan daya saing usahanya.
Problem kesenjangan penggunaan teknologi digital itu, ujarnya, harus sama-sama diperjuangkan oleh pemerintah, asosiasi, dan para pelaku UMKM itu sendiri. Perlu ada kemudahan akses pembiayaan, akses pasar, pelatihan, dan pembinaan untuk memberdayakan pelaku UMKM melakukan digitalisasi.
”Fasilitasnya semakin terbuka. Marketplace sudah banyak, tinggal bagaimana mengisinya dengan pelaku UMKM yang punya akses internet, melek digital, dan paham strategi berjualan secara digital,” katanya.
Edy pun mengkritisi fenomena semakin tingginya potongan komisi oleh platform e-dagang, khususnya aplikasi perantara pemesanan makanan, yang akhir-akhir ini kian memberatkan UMKM. ”UMKM mau melakukan digitalisasi, tetapi jadi sapi perah, sementara platform-platform itu semakin untung. Kita mensyukuri kehadiran platform, tetapi jangan sampai mereka jadi tengkulak baru,” ujarnya menegaskan.
Menurut dia, perlu ada potongan komisi yang lebih rasional dan berkeadilan untuk mendukung pelaku UMKM bertransisi ke ranah digital. Alih-alih 20 persen seperti yang marak dikenakan oleh platform akhir-akhir ini, potongan komisi cukup 5-10 persen. ”Teknologi harus membawa kesejahteraan bagi pelaku UMKM, jangan sampai peluang kesejahteraan itu diambil dan dipotong,” kata Edy.
Teknologi harus membawa kesejahteraan bagi pelaku UMKM, jangan sampai peluang kesejahteraan itu diambil dan dipotong.
Menawarkan solusi
Sejumlah perusahaan start-up mulai menyoroti persoalan ketimpangan digital itu. Contohnya, start-up eFishery, yang selama 9 tahun terakhir ini mendukung petani ikan budidaya dengan menyediakan fasilitas benda terhubung internet (internet of things/IoT) pemberi pakan ikan, layanan finansial ”Kabayan” (kasih, bayar, nanti), serta lokapasar pakan dan hasil ikan.
Saat ini, jumlah kelompok petani ikan budidaya yang menggunakan eFishery mencapai 60.000 dengan total kolam 170.000. Layanan Kabayan telah menyalurkan pembiayaan ke 11.000 petani dengan total dana sekitar Rp 600 miliar.
”Dengan memanfaatkan IoT pemberi pakan dari kami, petani budidaya ikan bisa panen 30 persen lebih cepat dan keuntungan naik 50 persen. Kami berusaha menciptakan solusi teknologi digital untuk masalah fundamental, yaitu kelaparan pangan, bukan masalah segelintir orang perkotaan yang sering kali hanya terkait akses kenyamanan,” katanya.
Dukungan juga ditawarkan dari sisi teknologi finansial alias menyalurkan pinjaman ke pelaku UMKM, seperti Amartha yang telah menyalurkan total pinjaman Rp 6,45 triliun ke total 1,058 juta orang mitra perempuan wirausaha mikro. Laporan Keberlanjutan Amartha tahun 2020 menunjukkan, 94,3 persen kesejahteraan perempuan wirausaha yang meminjam dari Amartha naik.
Baca Juga: Dorong UMKM Masuk Ekosistem Digital
”Kami selalu riset sebelum menciptakan solusi digital paling tepat untuk segmen kami (perempuan wirausaha mikro). Sebab, kami menyadari di antara perempuan masih ada yang cenderung takut salah kalau menggunakan teknologi walau telah memiliki ponsel pintar dan terpapar internet,” katanya.
Direktur Eksekutif Centre for Strategy and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyarankan, sebagai presidensi G20, Pemerintah Indonesia harus bisa menawarkan solusi kerja sama antara negara maju dan berkembang untuk mendukung penggunaan teknologi digital bagi masyarakat dan pelaku UMKM.
”Lebih baik membahas bagaimana negara bisa semakin gencar memfasilitasi penyedia platform teknologi digital agar memberikan solusi yang bisa memudahkan masyarakat dan UMKM. Dengan begitu, manfaat ekonomi digital dapat diraih lebih besar,” tutur Yose.