Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Produk Turunannya Mendesak Dibenahi
Lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022, pemerintah melarang sementara ekspor CPO dan produk turunannya. Namun, hal itu dinilai keliru dan pemerintah didorong kembali pada kebijakan DMO.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan larangan sementara ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022) dinilai tak akan efektif. Pemerintah didesak mempertimbangkan kembali aturan kebijakan pemenuhan pasar domestik (DMO) serta memanfaatkan sejumlah instrumen yang ada dalam membenahi tata kelola CPO dan menjamin stabilitas harga.
Sebelumnya, lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022, pemerintah melarang sementara ekspor CPO dan produk turunannya. Produk yang dilarang sementara untuk diekspor ialah CPO; refined, bleached, deodorized (RBD) palm oil; RBD palm olein; dan minyak jelantah.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto, Sabtu (30/4/2022), menilai, larangan ekspor merupakan kebijakan keliru. Kendati ada jaminan CPO akan berlimpah di dalam negeri, kerugiannya akan lebih besar ketimbang manfaatnya.
”(Kebijakan larangan ekspor CPO) Sama sekali jauh dari optimal. Justru merugikan petani sawit, pelaku industri sawit, dan perekonomian Indonesia. Apabila DMO (pemenuhan pasar domestik) CPO sebesar 20 persen dipenuhi, seharusnya kebutuhan domestik sudah terpenuhi. Kebijakan DMO-nya yang perlu diawasi ketat, juga distribusinya,” ujar Riyanto.
Adapun harga tandan buah segar petani anjlok 30-60 persen selepas Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng pada Jumat (22/4/2022). Sejumlah pabrik kelapa sawit dilaporkan menetapkan harga secara sepihak.
Riyanto menuturkan, di dalam pasar sawit, petani sawit ialah pemangku kepentingan yang paling lemah posisi tawarnya. Saat harga CPO turun, tandan buah segar petani cepat turun dan persentase penurunan melebihi penurunan harga CPO. Namun, ketika harga CPO naik, harga tandan buah segar di tingkat petani lambat menyesuaikan.
Dengan kondisi itu, dalam kebijakan larangan CPO, yang menjadi korban pertama ialah petani sawit. ”Ke depan, kebijakan yang buruk atau keliru akan selalu membuat petani sawit sebagai korban,” kata Riyanto.
Ke depan, tekanan terhadap permintaan sawit akan terus meningkat. Bukan hanya untuk pangan, melainkan juga energi (biodiesel 30/B30). Karena itu, dari sisi suplai, perlu ada peningkatan produktivitas petani sawit. Sementara dari sisi demand, kerap kali gejolak harga internasional berimbas pada keseimbangan permintaan domestik yang berimplikasi pada perubahan harga.
Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang mengatur volume ekspor agar pasokan domestik tetap stabil. ”DMO dan pajak (pungutan) ekspor CPO perlu didukung. Jadi, ketika harga CPO di pasar internasional tinggi, tarif pungutan ekspor dinaikkan. Dengan demikian, pemerintah memperoleh tambahan penerimaan yang dapat digunakan untuk stabilitasi harga CPO dan turunannya di pasar domestik,” kata Riyanto.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tarif progresif untuk ekspor CPO dan produk turunannya diterapkan dalam peraturan itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyoroti pidato Presiden yang tak disertai solusi jangka panjang. Sebab, menurut dia, kelangkaan minyak goreng dipicu problem kronis tata kelola kelapa sawit. Pemerintah didorong untuk mengevaluasi tata kelola kelapa sawit, dari hulu ke hilir, serta perbaikan struktur pasar.
Sistem informasi
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Chandra Setiawan, menuturkan, kelemahan tata kelola CPO dan produk turunannya, termasuk dalam distribusi, ialah ketiadaan sistem informasi. Ia pun mendorong pemerintah membangun sistem informasi berbasis internet sehingga ada basis data distribusi, termasuk mengenai lokasi.
Apabila produksi dan distribusi terpantau secara realtime, akan mudah diketahui jika terjadi penimbunan. ”Jika dilakukan, pemerintah dapat menstabilkan harga. Sistem yang diperlukan ini sebenarnya sama seperti Peduli Lindungi (terkait Covid-19). Kan, terdata siapa yang sudah divaksin dan seterusnya. Artinya, kita sebenarnya punya kemampuan. Kenapa tidak dilakukan untuk minyak goreng ini?” kata Chandra.
Untuk minyak goreng curah, kata Chandra, pemerintah sudah melakukannya dengan adanya Sistem Minyak Goreng Curah (Simirah) oleh Kementerian Perindustrian sebagai kementerian yang menangani distribusi minyak goreng subsidi dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter. KPPU pun mengapresiasi langkah awal itu.
Sebelumnya, KPPU telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo tentang pembenahan tata kelola kelapa sawit dan CPO. Pentingnya informasi dan pelacakan menjadi salah satu poin rekomendasi jangka pendek. Sementara perlunya insentif untuk mendorong hadirnya produsen minyak goreng skala usaha kecil dan menengah (UKM) yang mendekati lokasi perkebunan sawit masuk dalam rekomendasi jangka panjang.
”Kami menyarankan agar ada penyebaran pabrik minyak goreng. Kalau dekat dengan sumber produksi, biaya transportasi lebih rendah dan waktu (distribusi) juga lebih cepat. Kalau sudah tersebar, dan disertai sistem informasi yang baik, minyak goreng akan ada di mana-mana dan harga relatif dapat lebih dikendalikan,” kata Chandra.
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, dalam telekonferensi pers, Kamis (28/4/2022), mengatakan, pelibatan Perum Bulog dan ID Food (induk BUMN pangan) dalam distribusi minyak goreng curah menjadi hal positif. Pasalnya, lewat jaringan distribusinya, BUMN dapat menjangkau daerah-daerah yang tak terjangkau swasta.
Menurut dia, jika kebijakan dijalankan dengan optimal dan ada kerja sama semua pihak, target pemenuhan minyak goreng curah serta HET Rp 14.000 per liter dapat dicapai dalam sebulan. ”Kalau Bulog dan BUMN lainnya telah siap, saya pikir tak terlalu lama untuk selesaikan ini. Bulog yang mengambil peran dalam distribusi membuat target mudah dicapai,” katanya.
Adapun Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dalam keterengannya, Kamis, menuturkan, kebijakan larangan sementara ekspor CPO dan turuannya untuk mendorong ketersediaan bahan baku juga pasokan minyak goreng di dalam negeri. ”Kebutuhan pokok masyarakat Indonesia adalah prioritas,” ucap Lutfi.