Meski Produksi Berlimpah, Distribusi Minyak Goreng Bersubsidi Masih Terkendala
Minyak goreng curah bersubsidi tidak langsung bisa didistribusikan ke sejumlah daerah karena ada hambatan persyaratan registrasi. Distribusinya ke wilayah timur Indonesia yang biayanya tidak murah juga butuh solusi.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati produksi minyak goreng curah berlimpah, distribusi minyak goreng bersubsidi itu masih terkendala. Hal itu membuat harga minyak goreng curah di banyak daerah di Indonesia masih di atas harga eceran tertinggi. Pemerintah juga diminta mengawasi peredaran minyak goreng itu agar tidak disalahgunakan oknum-oknum tertentu.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) yang digelar secara hibrida di Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, produsen minyak goreng ditargetkan memproduksi minyak goreng curah sebanyak 14.000 ton per hari atau setara 388.000 kiloliter per bulan. Jumlah produksi itu melampaui kebutuhan minyak goreng curah nasional yang sebanyak 319.000 kiloliter per bulan.
Minyak goreng curah bersubsidi itu akan didistribusikan ke pedagang di pasar dengan harga yang tidak boleh lebih dari Rp 13.000 per liter atau Rp 14.389 per kilogram (kg). Dengan demikian, para pedagang dapat menjualnya sesuai harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
”Namun, minyak goreng curah bersubsidi itu tidak langsung bisa didistribusikan. Ada hambatan dalam persyaratan registrasi. Selain itu, produsen dan distributor juga harus memikirkan distribusi ke daerah-daerah timur Indonesia yang biaya distribusinya tidak murah,” ujarnya.
Minyak goreng curah bersubsidi itu tidak langsung bisa didistribusikan. Ada hambatan dalam persyaratan registrasi. Selain itu, produsen dan distributor juga harus memikirkan distribusi ke daerah-daerah timur Indonesia yang biaya distribusinya tidak murah.
Sahat menjelaskan, Kementerian Perindustrian mewajibkan pendistribusian minyak goreng curah bersubsidi terdata dalam Sistem Industri Nasional (SIINas) dan Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH). Para pelaku usaha yang terlibat, mulai dari produsen, distributor, dan agen penjualan, harus terdaftar dalam sistem itu.
Dalam proses registrasi itu, banyak agen penjualan minyak goreng, termasuk pedagang, tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga tidak bisa ikut dalam sistem. Hal ini menyebabkan banyak agen dan pedagang di bawahnya yang tidak bisa mendapatkan minyak goreng curah tersebut.
”Tak hanya itu, produsen dan para distributor yang memiliki NPWP juga mengalami kesulitan beradaptasi dengan sistem itu. Setidaknya butuh waktu sekitar enam hari untuk registrasi,” katanya.
Ketua Umum AIMMI Adi Wisoko menambahkan, produsen minyak goreng dan jaringan distributornya kesulitan memperoleh NPWP dari agen dan pedagang, terutama pemilik warung kecil. Untuk sementara ini, persoalan itu diatasi dengan cara mencatat nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan nomor izin usaha agen atau pedagang terkait.
”Meski begitu, kami tetap meminta mereka membuat NPWP. Kami bahkan sempat bilang akan mengurangi porsi (minyak goreng curah) agar mereka mau membuat NPWP dan dapat masuk ke sistem (SIINas),” ujarnya.
Sebelumnya, kewenangan Kementerian Perdagangan dalam penanganan pendistribusian dan pengawasan minyak goreng curah diserahkan ke Kementerian Perindustrian. Hal tersebut menyusul terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Permenperin itu mengatur tentang tata cara penyediaan dan distribusi minyak goreng curah, registrasi para pelaku usaha yang terlibat, pembiayaan, serta pembinaan dan pengawasan. Bahkan, regulasi itu mengatur pula sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan itu.
Adapun terkait dengan distribusi di wilayah timur Indonesia, Sahat mengakui, wilayah tersebut masih belum banyak tersentuh. Hal itu terutama di Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Masyarakat di daerah-daerah tersebut jarang sekali mengonsumsi minyak goreng curah karena lebih memilih minyak goreng kemasan. Di samping itu, biaya distribusi minyak goreng curah ke daerah-daerah tersebut cukup tinggi.
”Namun karena pemerintah meminta kami untuk memasok minyak goreng bersubsidi kelima wilayah itu, kami akan memenuhinya. Namun, kami berharap agar pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dapat mendistribusikannya dengan kapal tol laut agar minyak goreng curah di wilayah itu bisa dijual sesuai HET,” ujarnya.
Kami berharap agar pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dapat mendistribusikannya dengan kapal tol laut agar minyak goreng curah di wilayah itu bisa dijual sesuai HET.
Jika kesulitan menyediakan kapal tangki curah, lanjut Sahat, pemerintah bisa mengangkut minyak goreng curah itu dalam bentuk kemasan jeriken. Ia juga meminta agar pemerintah turut mengawasi pendistribusian tersebut agar minyak goreng itu tidak dicampur dengan jelantah atau dikemas ulang dan dijual dengan harga lebih tinggi dari HET. Ia juga berharap agar proses klaim subsidi minyak goreng curah tidak menyusahkan pelaku usaha.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional minyak goreng curah per 29 Maret 2022 sebesar Rp 18.300 per liter. Harga tersebut naik 15,09 persen dari sebelum pemerintah menetapkan HET minyak goreng curah sebesar Rp 14.000 per liter pada 16 Maret 2022.
Sejumlah daerah yang harga minyak goreng curah masih tinggi, di antaranya Papua Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Di Papua Barat dan Sulawesi Utara, misalnya, harganya masing-masing Rp 25.000 per liter dan Rp 22.050 per liter.
Harga itu di atas harga rata-rata nasional minyak goreng kemasan sederhana yang sebesar Rp 23.000 per liter. Harga itu juga mendekati harga rata-rata minyak goreng premium yang sebesar Rp 25.600 per liter.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perhubungan pada Selasa lalu, Komisi V DPR meminta agar tol laut dioptimalkan untuk pendistribusian sejumlah komoditas pangan yang harganya tengah melambung tinggi, termasuk minyak goreng. Dengan transportasi laut yang disubsidi oleh pemerintah itu, harga sejumlah komoditas itu diharapkan bisa tetap terjangkau karena tidak terimbas kenaikan biaya logistik laut.
Dalam kesempatan itu, Pelaksana Tugas Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Mugen Sartoto menuturkan, pendistribusian minyak goreng, termasuk yang bersubsidi, sebenarnya dapat menggunakan tol laut. Namun, ketersediaan minyak goreng itu perlu dipenuhi.
”Kami akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk membahas hal itu,” kata Mugen.