Penyelesaian Problem Minyak Goreng Jangan Berkutat di Hilir
Data KPPU menunjukkan, 46,5 persen pasar minyak goreng dikendalikan oleh empat produsen besar. Kondisi itu perlu dibenahi secara serius. Harga minyak goreng juga dinilai bakal sulit turun.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dilepasnya harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar memang membuat ketersediaan produk pangan itu di pasar relatif lebih baik. Namun, harga minyak goreng yang mengikuti harga internasional disebut berpotensi menghasilkan masalah-masalah baru. Pemerintah diharapkan tidak hanya menyelesaikan problem minyak goreng di sisi hilir. Penataan di sisi hulu amat diperlukan.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam webinar ”Kelangkaan Sembako dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan” yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Sabtu (19/3/2022), mengatakan, dalam konteks kebijakan publik, sejak akhir 2021 hingga Maret 2022, masyarakat seperti menjadi kelinci percobaan.
”Sebab, pemerintah mencoba kebijakan A dan gagal, lalu kebijakan B, C, dan seterusnya. Klimaksnya, pemerintah secara ideologis gagal. Artinya, menyerah kepada mekanisme pasar dan kebijakan HET (harga eceran tertinggi) untuk minyak goreng kemasan dilepas. DMO (kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik) juga dilepas,” ujar Tulus.
Sebelumnya, beberapa kebijakan telah dilakukan pemerintah termasuk DMO 30 persen untuk ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Selain itu juga diterapkan HET Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp 14.000 per liter untuk kemasan premium.
Namun, situasi justru kian runyam, salah satunya karena disparitas harga. Akibatnya, minyak goreng sulit didapat atau kalaupun tersedia dijual di atas HET. Akhirnya diputuskan pemerintah hanya memberlakukan HET pada minyak goreng curah, Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram, sedangkan minyak goreng kemasan dilepas pada mekanisme pasar. Kebijakan DMO juga dicabut.
Menurut Tulus, kebijakan terbaru ini juga berpotensi menimbulkan masalah. Ketika ada disparitas harga antara premium dan nonpremium, dikhawatirkan akan ada migrasi. Konsumen minyak goreng premium akan beralih ke minyak goreng curah. Hal itu didorong oleh keinginan konsumen untuk mencari produk yang lebih murah.
Menurut data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebanyak 46,5 persen pasar minyak goreng dikendalikan oleh empat produsen besar. Kondisi itulah, kata Tulus, yang mestinya dibenahi. ”Dari sisi hulu ada persoalan serius. Kami melihat kebijakan pemerintah dalam konteks minyak goreng hanya berkutat pada aspek hilir,” kata Tulus.
Menurut dia, sangat tragis jika negara kalah kepada kartel atau mafia. ”Kalau semua diserahkan kepada mekanisme pasar, tak perlu ada negara atau pemerintah. Terkecuali untuk produk impor, itu pun masih bisa dipersoalkan. Namun, (CPO) ini kan barangnya ada di perut bumi Indonesia. Tanah negara, tetapi kita disuruh beli dengan harga internasional. Ini tak masuk akal,” ujarnya.
Ada beberapa hal yang membuat sejumlah kebijakan terkait minyak goreng selama ini tidak berjalan efektif. Salah satunya adalah terjadinya kegagalan pasar yang biasa terjadi akibat adanya praktik monopoli atau oligopoli.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pakuan, Bogor, Iman Hilman, berpendapat, ada beberapa hal yang membuat sejumlah kebijakan terkait minyak goreng selama ini tidak berjalan efektif. Salah satunya adalah terjadinya kegagalan pasar yang biasa terjadi akibat adanya praktik monopoli atau oligopoli.
”Oligopoli ini memiliki pengaruh kekuatan. Kurangi saja pasokan ke pasar, maka oligopoli akan menciptakan harga pasar di atas ekuilibrium. Oligopoli bisa menciptakan harga di atas kurva permintaan dan penawaran yang ada,” ujarnya.
Penyebab lainnya, kata Iman, ialah tak ada pengaturan tata niaga serta harga minyak goreng. HET tak efektif karena kesulitan mengawasi pelaksanaannya dengan adanya jutaan warung yang menjual minyak goreng. Di samping itu, minyak goreng juga termasuk komoditas dengan tata niaga yang panjang sehingga akan ada banyak pemain mengambil margin.
Pencabutan kebijakan HET pada minyak goreng kemasan memang menjadi solusi jangka pendek. Masyarakat atau konsumen terpaksa menerima karena saat ini yang utama ialah tersedianya barang. Terkait ini, yang paling terdampak ialah rumah tangga kelas menengah ke bawah dan para pelaku UMKM.
Sulit turun
Iman menuturkan, pencabutan kebijakan HET pada minyak goreng kemasan memang menjadi solusi jangka pendek. Masyarakat atau konsumen terpaksa menerima karena saat ini yang utama ialah tersedianya barang. Terkait ini, yang paling terdampak ialah rumah tangga kelas menengah ke bawah dan para pelaku UMKM.
Nantinya, yang biasa terjadi ialah transisi harga asimetris (asymmetric price transmission). ”Artinya, membutuhkan waktu agar harga turun. Biasanya, saat harga CPO naik, harga (produk turunannya) langsung naik, tetapi saat harga CPO dunia turun membutuhkan waktu. Faktanya sering terjadi seperti itu,” kata Iman.
Solusi jangka pendek lain ialah menekan ekspor. Iman menilai, pemerintah kemungkinan tak akan melarang ekspor, tetapi yang dilakukan ialah dengan menaikkan tarif pungutan ekspor CPO. Hal itu pun sudah dilakukan lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK 05/2022. Menurut dia, perlu dilihat bersama efektivitas kebijakan itu.
Sementara itu, untuk solusi jangka panjang, Iman menilai perlunya perbaikan struktur industri CPO dan minyak goreng, termasuk meningkatkan porsi kepemilikan perkebunan rakyat dan BUMN. ”Juga, meningkatkan ketersediaan barang subtitusi dengan harga bersaing dan meningkatkan kegiatan hiliriasi produksi CPO. Jadi, yang diekspor jangan CPO, tetapi produknya, sehingga nilai tambahnya ada di dalam negeri,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal MIPI, Baharuddn Thahir, menuturkan, minyak goreng menyangkut hak hidup orang banyak serta eksistensi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya, termasuk pelayanan kepada masyarakat. ”Ini terkait pengawasan. Dalam konteks fungsi pemerintahan, perlu dibahas di mana (hal yang) miss dari kebijakan yang diambil sehingga masyarakat mengalami dampaknya,” katanya.
Sebelumnya, pada rapat kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian Perdagangan di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (17/3/2022), Kemendag diminta menghentikan eksor CPO jika harga wajar di dalam negeri tak terbentuk. Hal itu dipandang penting untuk menjaga stabilisasi stok dan harga minyak goreng di dalam negeri.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menuturkan, harga keekonomian untuk kategori minyak goreng kemasan Rp 20.000 per liter. Saat ini, pasar tengah berburu bahan bakunya. Setelah mendapat bahan baku dan diolah menjadi minyak goreng, harga pasar yang akan terbentuk secara bertahap diperkirakan pada kisaran Rp 21.000 per liter-Rp 22.000 per liter.
Ia tak menutup kemungkinan terhadap opsi melarang ekspor CPO jika harga minyak goreng yang wajar di pasar konsumsi tak terbentuk pasca-penerapan kebijakan baru. ”Kalau memang keadaan mendesak dan suplai di dalam negeri harus dipenuhi, opsi larangan akan ditempuh demi kepentingan masyarakat Indonesia,” ujarnya (Kompas, Sabtu, 19/3/2022).