Pengusaha Minyak Nabati Keberatan dengan Ketentuan DMO 30 Persen
Langkah pemerintah menaikkan kuota kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO) jadi 30 persen dinilai bakal merusak industri hulu minyak sawit. Kuota DMO 20 persen sudah mencukupi kebutuhan minyak goreng domestik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengusaha minyak nabati di Indonesia menolak kebijakan peningkatan porsi pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau DMO untuk ekspor minyak sawit mentah dan olein menjadi 30 persen. Langkah itu dinilai membuat persoalan minyak goreng tambah runyam. Kebutuhan dalam negeri disebut sudah terpenuhi dan tinggal bagaimana mengontrol dalam rantai distribusinya.
Terhitung mulai 10 Maret 2022, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menaikkan porsi DMO bagi eksportir minyak sawit mentah dan olein dari 20 persen menjadi 30 persen. Langkah itu ditempuh untuk mengamankan pasokan bahan baku dan menjamin ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Kemendag juga menggandeng Kepolisian Negara RI (Polri) untuk menindak spekulan dan penimbun minyak goreng serta penyelundup CPO.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, dalam webinar ”Ke Mana Minyak Goreng Sawit (MGS) DMO Mengalir?”, Jumat (11/3/2022), mengatakan, kebijakan DMO 30 persen akan mempersulit eksportir. Pasalnya, minyak sawit merupakan komoditas, bukan produk bermerek.
”Dengan DMO 30 persen, eksportir harus mencari margin 89,4 dollar AS per ton untuk menutupi beban. Ini tidak mudah mencarinya. Kami tidak setuju dengan DMO 30 persen karena ini memojokkan industri persawitan. Kalau ekspor macet, semua akan macet,” kata Sahat.
Sahat menambahkan, dengan kebijakan 20 persen DMO dalam 23 hari, sebenarnya sudah menghasilkan CPO dan olein sekitar 415.000 kiloliter atau di atas kebutuhan yang 330.000 kiloliter. Namun, yang terjadi selanjutnya justru bertambah runyam. Pemerintah seharusnya tak panik dan langsung menaikkan DMO, tetapi memikirkan alurnya.
Seperti analisis Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Sahat mengatakan, ada sejumlah kemungkinan penyebab hambatan. Pertama ialah adanya pihak yang ingin mencari untung kecil-kecilan. Kedua, adanya cukong yang menahan stok dan menunggu pemerintah melepas menjadi harga pasar. Jika itu terjadi, mereka bisa untung triliunan rupiah.
”Ketiga, masuk ke industri. Disampaikan juga ada penyelundupan. Namun, terkait penyelundupan ini, saya pikir tidak mungkin karena saat ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sudah canggih sehingga dapat mengawasi dan seharusnya (penyelundupan) tidak terjadi,” ujarnya.
Terkait kemungkinan masuknya minyak goreng ke industri, ia mengusulkan agar industri-industri yang memakai minyak goreng sawit dalam jumlah besar didata, seperti industri makanan siap saji (fast food), cookies, hotel, dan mi. ”(Caranya) Bisa saja dengan memasang CCTV (kamera pengawas) di depan lokasi mereka atau mereka diharuskan lapor purchase order setiap bulan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menuturkan, kurang dari sebulan akan masuk Ramadhan kemudian Idul Fitri pada Mei 2022. Dia menilai problem ini tidak akan selesai dan justru akan berkepanjangan.
”Ini menjadi berbahaya dan menjadi tambah kacau. Jangan sampai, ujung-ujungnya industri hulu yang terkena dampak. Jadi, akhirnya semua kena. Ini yang kami khawatirkan. Saat ini, yang berkembang adalah seolah-olah (industri) kelapa sawit tidak benar karena minyak goreng langka,” kata Eddy.
Kontrol rantai pasok
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan DMO mestinya mengikuti struktur permintaan (demand) ekspor dan dalam negeri. Adapun pelaksanaan kontrol dari seluruh rantai pasok mesti dilakukan dengan baik dan ketat sehingga bisa sampai ke masyarakat.
”Satu per satu dari mata rantai ini harus dilihat, di mana bottleneck-nya. Apabila suplai CPO sudah cukup, minyak goreng harusnya sampai ke konsumen dengan harga yang diinginkan. Sudah ada subsidi ditambah DMO. Namun, yang terjadi malah backfire, barangnya tidak ada,” kata Faisal.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Kamis (10/3/2022), mengatakan, akan memastikan stok dan harga minyak goreng. Menurut dia, kebijakan DMO membuat stok minyak goreng bertambah dan mencukupi kebutuhan nasional.
”Meski harga CPO global naik, pasokan minyak goreng di dalam negeri melimpah dan harganya mulai turun,” kata Lutfi yang berkomitmen membenahi distribusi minyak goreng dan hasil pemenuhan DMO CPO dan olein (Kompas, 11/3/2022).
Direktur Komersial ID Food, perusahaan induk BUMN pangan, Frans M Tambunan mengatakan, pihaknya telah mendistribusikan 8,1 juta liter minyak goreng yang didistribusikan ke 402 lokasi di seluruh Indonesia. Seiring perkembangan harga minyak yang masih fluktuatif, pendistribusian akan terus dilakukan.
Lebih lanjut Frans mengatakan, lini bisnis distribusi dan logistik ID Food, yang dimotori PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Rajawali Nusindo menjadi ujung tombak dalam skema pendistribusian minyak goreng ke para pedagang dan konsumen. Armada truk tangki minyak goreng langsung diterjunkan ke pasar-pasar tradisional.
”Salah satu hal yang menjadi perhatian kami adalah memastikan minyak goreng didistribusikan kepada pihak yang tepat, salah satunya dengan cara turun langsung ke pasar tradisional dan membatasi jumlah pembelian,” ujar Frans, dalam keterangannya, Jumat (11/3/2022).