Label Harga Akan Dicantumkan untuk Cegah Spekulasi
Rapat sejumlah lembaga dan pelaku usaha menyepakati pencantuman harga pada kemasan minyak goreng. Di lapangan, harga minyak goreng berangsur turun meski stok masih terbatas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat koordinasi Badan Pangan Nasional bersama sejumlah lembaga dan pelaku usaha, Senin (7/3/2022), antara lain, menyepakati pencantuman harga pada kemasan minyak goreng. Selain mencegah spekulasi, masyarakat diharapkan mendapatkan minyak goreng dengan harga yang sesuai ketentuan.
Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi dalam wawancara dengan Kompas, Senin, mengatakan, rapat melibatkan kementerian/lembaga lain dan pemangku terkait minyak goreng. Pemerintah menjembatani produsen, BUMN, dan peritel.
”Salah satu kesepakatannya adalah (pencantuman) harga di kemasan, nanti harga dicetak (di kemasan). Dengan demikian, masyarakat tahu harganya, misal Rp 14.000 (per liter kemasan premium). Jadi, kalau ada spekulan mau jual di atas harga itu, masyarakat tahu harga sebenarnya,” tutur Arief.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit, HET minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter, sementara minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Akan tetapi, minyak goreng di sejumlah daerah masih dijual di atas HET, antara lain, karena alasan distribusi belum lancar.
Menurut Arief, untuk mencetak harga di kemasan, biasanya produsen perlu menghabiskan stok lama terlebih dulu. ”Di pasar modern sudah pasti (minyak goreng) dijual Rp 14.000 per liter. Namun, di pasar umum, konsumen masih membeli dengan harga Rp 18.000-Rp 20.000 (per liter), kasihan pembeli karena harga sebenarnya Rp 14.000 (per liter),” ujarnya.
Di sejumlah daerah, ketersediaan minyak goreng masih terbatas. Di sejumlah minimarket, meski relatif sudah terisi, masih ada pembatasan. Di beberapa daerah, ketersediaan minyak goreng sawit masih kurang. Sejumlah warga rela mengantre demi mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai HET.
Arief mengakui, distribusi minyak goreng perlu dipercepat. Oleh karena itu, pihaknya berharap jaringan distribusi bisa secepat mungkin menyalurkan minyak goreng ke masyarakat.
”GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia) dan AIMMI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia) menyampaikan sudah didistribusikan 371 juta liter minyak goreng tiga pekan terakhir atau di atas rata-rata kebutuhan sebulan yang 330 juta liter. Sudah ada peningkatan (ketersediaan dengan adanya) kebijakan DMO (pemenuhan kebutuhan pasar domestik),” paparnya.
Tidak panik
Arief meminta masyarakat untuk tidak panik dalam pembelian (panic buying) minyak goreng. ”Ini persis tahun 1998 saat ada rush pengambilan uang. Bank mana pun tidak ada yang tahan. Sementara kapasitas produksi segitu-segitu saja. Kecuali, pengusaha mau melakukan investasi untuk produksi. Jadi, tolong membeli (minyak goreng) sesuai kebutuhan saja,” ujarnya.
Arief, yang baru dilantik sebagai Kepala Badan Pangan Nasional pada 21 Februari 2022, menuturkan, minyak goreng memang tidak termasuk dalam sembilan komoditas di bawah kendali NFA, seperti tertuang dalam Perpres Nomor 66 Tahun 2021. Namun, pihaknya membantu karena memiliki latar terkait ritel. Masukan-masukan diberikan kepada Kementerian Perdagangan.
Ia juga terus memastikan pasokan dan pergerakan harga berbagai kebutuhan pokok terkendali, termasuk daging kerbau beku impor yang diimpor Perum Bulog sehingga masyarakat mendapatkan alternatif, yakni daging kerbau beku impor, daging sapi impor, atau daging sapi yang diproduksi dalam negeri. ”Jadi, semua dikerjakan paralel demi membantu masyarakat menjelang Lebaran,” ujarnya.
Selain distribusi minyak goreng yang belum sepenuhnya lancar, lonjakan harga sejumlah komoditas pangan juga terjadi belakangan ini, terutama pada komoditas pangan yang mayoritas diimpor yang harganya dipengaruhi situasi di pasar internasional. Komoditas itu di antaranya kedelai dan gandum.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, berpendapat, gejolak harga pangan sudah pada tataran serius untuk ditindaklanjuti. Pemerintah harus menyediakan solusi jangka panjang. Ia menganalogikan, penanganan problem pangan selama ini seperti obat pereda nyeri. Namun, penyakit utama belum tersembuhkan.
”Pemerintah jangan hanya orientasi pada peningkatan produksi, tetapi harus terkait kesejahteraan petani. Bicara pangan tak akan lepas dari petani. Kesejahteraan petani tak boleh diabaikan. Untuk apa produksi terpenuhi, tetapi petani setiap menanam rugi atau tak untung. Orientasi haruslah kenyamanan petani bercocok tanam,” ujarnya.
Peran NFA, menurut Slamet, sudah sangat dinanti. Ia pun berharap lembaga tersebut segera bekerja secara efektif dengan kekuatan penuh. Pembentukan organisasi diharapkan tidak terlalu lama. ”Dengan kewenangan penuh dalam distribusi, pengadaan, kontrol stok, harapannya ada satu pintu. Jadi tak ada kepentingan cari untung saja. (NFA) mesti diisi sosok yang tak hanya memiliki kapabilitas, tetapi juga integritas,” kata Slamet.
Dekan Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Tinjung Mary Prihtanti, mengatakan, lonjakan harga pangan yang terjadi karena penawaran pangan yang tak dapat memenuhi lonjakan permintaan. Itu juga dipengaruhi, antara lain, iklim, perubahan arus distribusi akibat pandemi Covid-19, dan situasi politik dunia.
”Indonesia harus mengamankan stok dan mendorong produksi pertanian dalam negeri. (Ini menjadi) momentum untuk merefleksi kemampuan dalam negeri (dalam) berdaulat pangan,” ujar Tinjung.
Adapun NFA, kata Tinjung, harus berani mengatur distribusi pangan dengan dilepaskan dari kepentingan politik dan kartel pangan. Lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden itu mesti independen dan berpihak pada tujuan murni, yakni kedaulatan pertanian bangsa.
Peran NFA akan sangat penting dan diharapkan dapat memperbaiki koordinasi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan BUMN. Selama ini koordinasi tampak kurang efektif, baik dalam upaya stabilisasi harga, penyediaan ketersediaan pangan, maupun berbagai hal terkait kerawanan pangan. ”(Dengan itu), mudah-mudahan pertanian semakin menyejahterakan petani dan masyarakat sejahtera,” katanya.