Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan arah. Sejumlah bahan pangan lokal makin populer dan petani bersemangat menanamnya. Salah satunya adalah singkong yang kini naik kelas dan masuk hotel sebagai salah satu sajiannya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan panganan lokal yang dimiliki Indonesia berpotensi untuk dikembangkan, bahkan dipasarkan, hingga ke mancanegara. Ubi jalar atau singkong, misalnya, saat ini sudah banyak diolah oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah sehingga memiliki nilai tambah. Hasil olahannya, antara lain, disajikan di hotel-hotel.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa perubahan arah. Bahan pangan lokal makin diminati sehingga petani bersemangat menanamnya. Salah satunya adalah singkong. Apabila sebelumnya dianggap sebelah mata, kini singkong sudah merambah hotel-hotel berbintang.
”Tidak hanya diversifikasi produksi, tetapi juga diversifikasi konsumsi. Kementerian Pertanian memetakan sentra-sentra pangan lokal, termasuk singkong,” kata Suwandi dalam webinar ”Gaungkan Cinta Produk Dalam Negeri melalui Pangan Lokal Masuk Hotel” yang digelar Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Selasa (1/3/2021).
Selain singkong, sumber pangan lain yang berpotensi dikembangkan adalah talas dan sorgum. Keduanya layak dikembangkan sesuai potensi masing-masing. Menurut Suwandi, tak hanya di hulu, pengembangan di hilir juga penting. Dia mencontohkan Grup Accor Hotels yang memanfaatkan singkong menjadi sajian sehat dan berkelas.
Menurut dia, upaya itu merupakan sebuah langkah menuju target jangka panjang, yakni konsep Indonesia Feed the World 2045. ”Saya yakin Indonesia bisa memasok (pangan) untuk dunia. Berbagai jenis pangan lokal ke depan akan dibutuhkan dunia. Perlu bergerak bersama serta inovasi dan berbagai terobosan,” ujarnya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, industri pariwisata dan ekonomi kreatif diharapkan turut mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal tersebut juga berperan sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, terutama setelah terdampak pandemi Covid-19.
”Sinergi antara mata rantai usaha parawisata dan ekonomi kreatif perlu dioptimalkan dengan kemitraan usaha pariwisata dengan UMKM kreatif. Harapannya, hubungan ini bisa berkelanjutan. Di samping itu, kapasitas usaha perlu ditingkatkan agar semakin memenuhi standar akan industri besar,” ujarnya.
UMKM, lanjut Sandiaga, dapat menjadi komponen penting dalam memulihkan perekonomian serta mengatasi persoalan tersendatnya rantai pasok. Namun, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah bertransformasi. ”Ini menjadi modal penting untuk dapat naik kelas ke level yang lebih tinggi,” katanya.
Senior VP Accor Indonesia-Malaysia Adi Satria menuturkan, pihaknya memanfaatkan olahan singkong dalam menu yang disajikan di hotel. Bahan-bahan diolah, dikurasi, hingga dikoordinasikan dengan para juru masak (chef). Adapun kerja sama dengan Kementerian Pertanian terkait penyediaan pangan lokal ini dimulai sejak tahun lalu.
Ia menambahkan, di seluruh dunia, jaringan Accor Hotels total ada sekitar 5.200 hotel di lebih dari 110 negara. Sementara di Indonesia ada 135 hotel. ”Ini market besar. Maka, kami akan terus ekspor pangan lokal ke hotel-hotel Accor. Kami akan undang hotel-hotel kami di Dubai (Uni Emirat Arab), Singapura, Malaysia, dan lainnya untuk datang ke ajang-ajang yang kami gelar,” ujarnya.
Penjenamaan
Salah satu usaha pengolah singkong yang telah masuk hotel ialah Mi Reshik Cap Dokar yang dirintis sejak 2014. Pemilik Mi Reshik Cap Dokar, FX Subena Prayogakastu, menuturkan, produknya sudah masuk Hotel Ibis Yogyakarta serta ambil bagian dalam kegiatan Fiesta Singkong beberapa waktu lalu.
Selain nilai lokal, penjenamaan atau branding bahan makanan sehat juga dilakukan. ”Pasalnya, jika dibandingkan terigu, kandungan gula dalam singkong empat kali lebih sedikit. Selain itu, singkong memiliki serat 16 kali lebih banyak. Dalam produksi, kami juga hanya menggunakan bahan alami. Tak pakai pewarna dan pengawet,” katanya.
Sementara itu, Hardadi, pemilik Singkong D-9 di Kota Salatiga, Jawa Tengah, mengatakan, penggunaan pangan lokal akan melibatkan lingkungan lokal, baik sumber daya alam maupun manusianya. Dengan mengonsumsi pangan lokal pun, secara tidak langsung hal itu berkontribusi dalam membangun perekonomian mikro di sekitar tempat produksi.
Sejak dirintis 2009, Singkong D-9 terus berkembang. Bahkan, kini kampung di Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Salatiga, ditetapkan menjadi kampung singkong. Setelah D-9 berkembang, geliat ekonomi sekitar terpacu. Termasuk dengan membangun unit usaha sejenis sehingga perekonomian wilayah setempat tumbuh.