Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Meningkatkan produktivitas UMKM bisa menjadi solusi jitu bagi Indonesia untuk keluar dari dampak panjang pandemi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menaikkan produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM menjadi jalan jitu pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Produktivitas UMKM dapat mencegah lonjakan angka kemiskinan dan mempersempit kesenjangan.
Menurut Profesor Ekonomi dari Cornell University Iwan Jaya Aziz, dalam kondisi tekanan ekonomi akibat pandemi, mengejar peningkatan produktivitas adalah lebih baik ketimbang mengejar pertumbuhan. Sebab, pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin keberlanjutan. Sebaliknya, peningkatan produktivitas bisa menjadi solusi dari berbagai permasalahan akibat tekanan ekonomi.
”Hampir semua masalah bisa teratasi dengan peningkatan produktivitas, mulai dari ketimpangan, kemiskinan, hingga perubahan iklim. (Peningkatan produktivitas) tidak sama dengan pertumbuhan. Kita bisa memiliki pertumbuhan yang bagus, tetapi ada kerusakan lingkungan atau melebarnya ketimpangan,” ujar Iwan dalam webinar ”Strategic Issues in G20: Exit Strategy and Scarring Effect”, Kamis (17/2/2022).
Dampak permanen dari pandemi, ujar Iwan, antara lain, ialah meningkatnya kemiskinan dan melebarnya ketimpangan. Kemiskinan dan ketimpangan timbul akibat porsi kemakmuran yang tak merata di semua lintas sektor ekonomi, lokasi geografis, skala usaha, dan rumah tangga. Mereka yang bertumbuh adalah yang memiliki akses modal dan teknologi yang besar. Sebaliknya, mereka yang tidak bisa mengakses akan makin tertinggal.
Menaikkan produktivitas, menurut Iwan, bisa digenjot dengan mendorong sektor manufaktur. Namun, peningkatan manufaktur hanya bisa dipenuhi dengan ketersediaan tenaga kerja yang terampil. Sementara pasar tenaga kerja Indonesia belum dipenuhi oleh tenaga kerja terampil.
”Melalui UMKM, tenaga kerja yang tidak terampil punya kesempatan ekonomi yang sama. Mereka menjadi bisa lebih mandiri dan lebih berdaya guna,” ujarnya.
Iwan mengingatkan, jumlah dan peranan UMKM di Indonesia terbilang luar biasa. Oleh karena itu, perhatian pada skala usaha seperti ini sebaiknya tidak hanya pada masa pandemi. Diperlukan usaha dan strategi berkelanjutan untuk benar-benar mengeluarkan Indonesia dari dampak panjang pandemi.
Ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE), Hendri Saparini, menambahkan, salah satu berkah dan peluang yang diberikan pandemi pada ekonomi adalah terpicunya digitalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ekonomi digital pun dengan cepat menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Digitalisasi inilah yang diharapkan memberikan nilai tambah bagi produktivitas UMKM sehingga bisa mempercepat pemulihan dari dampak pandemi.
”Yang perlu diarahkan adalah bagaimana digitalisasi ini bisa memberikan nilai tambah kepada UMKM di sektor-sektor yang krusial untuk peningkatakan produktivitas,” kata Saparini.
Saparini menambahkan, alih-alih mendorong ekspansi fiskal, konsolidasi fiskal lebih baik diprioritaskan. Menurut dia, ketimbang meningkatkan belanja APBN, pemerintah sebaiknya mengalokasikan belanja kepada pos anggaran ataupun sektor-sektor yang bisa memberikan dampak ganda (multiplier effect).
Kebijakan moneter
Kendati mencatatkan tren positif pada sejumlah indikator ekonomi, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2021 memang lebih tinggi 1,6 persen dibandingkan dengan tahun 2019 atau masa sebelum pandemi. Namun, tingkat pengangguran dan kemiskinan belum sepenuhnya pulih.
”Pertumbuhan ekonomi 2022 kami yakini akan lebih baik dibandingkan dengan 2021 dan menjadi tahun pemulihan ekonomi. Kami ingin menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan merata,” ucap Febrio.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2021 memang lebih tinggi 1,6 persen dibandingkan dengan tahun 2019 atau masa sebelum pandemi. Namun, tingkat pengangguran dan kemiskinan belum sepenuhnya pulih.
Sementara itu, menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung, semakin lama pandemi berlangsung, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk pulih. Pengendalian kasus Covid-19 sehingga bisa membuka kembali aktivitas ekonomi menjadi strategi jangka pendek yang harus diprioritaskan.
Adapun kebijakan moneter tahun ini adalah menjaga stabilitas sistem keuangan. Sebab, potensi gejolak sistem keuangan yang dipicu normalisasi kebijakan moneter sejumlah negara di dunia sudah ada di depan mata. Adapun empat instrumen kebijakan BI lainnya, seperti makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, dan perluasan inklusi keuangan, tetap berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.