Berkembang sejak 2004, mocaf saat ini banyak digeluti oleh pelaku usaha mikro dan kecil. Namun, kebanyakan pelaku usaha membuatnya ketika ada pesanan atau tak rutin. Oleh karena itu, perbaikan di hulu dinilai penting.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjenamaan atau branding mocaf perlu diperkuat, baik dari sisi kesehatan maupun mekanisme perdagangan yang adil, sehingga ekspor produk itu dapat dipacu lebih tinggi. Pada akhirnya, ketersediaan dan mutu mocaf, keuntungan petani singkong, dan kemandirian pangan diharapkan terwujud.
Mocaf (modified cassava flour) adalah tepung ubi kayu atau singkong termodifikasi dengan cara difermentasi sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produk, seperti roti dan mi. Mocaf, yang sehat dan bergizi karena bebas gluten, pertama kali ditemukan Achmad Subagio, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, pada 2004.
Merujuk data Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, ekspor tepung dan tepung kasar dari ubi kayu, termasuk mocaf, mencapai 540.848 kilogram (kg) pada tahun 2021 (data per Oktober). Nilainya mencapai 250.154 dollar AS. Angka itu turun dibandingkan dengan capaian tahun 2020 yang tercatat 1,2 ton dengan nilai 551.240 dollar AS.
Saat dihubungi, Kamis (10/2/2022), Subagio mengatakan, penjenamaan mocaf yang berkaitan dengan kesehatan, seperti IG (Indeks Glikemik) yang rendah dan kaya akan serat, sudah berjalan. Namun, terkait perdagangan adil (fair trade) dan aspek organiknya belum banyak dilakukan.
”Maka, (upaya tersebut) perlu terus didorong. Aspek safety (keamanan pangan) atau terkait produksi yang baik juga jangan dilupakan, misalnya, melalui sertifikasi British Retail Consortium atau BRC yang menjadi dasar (standar) untuk mendapat persyaratan ekspor. Penurunan (ekspor) saya kira juga karena aspek itu," kata Subagio.
Dengan adanya sertifikasi dan standardisasi, lanjut Subagio, daya saing produk mocaf akan terdongkrak. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan lebih berperan untuk memberikan fasilitas, termasuk kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Terkait perdagangan adil, ia menekankan pentingnya pertanian kontrak (contract farming) sehingga keuntungan petani terjaga. Begitu juga dalam aspek finansial atau akses perbankan bagi para petani singkong. Apabila hal tersebut dijalankan, rantai pasok (supply chain) bakal terjaga.
”Sering kali supply chain tak diperhatikan pelaku usaha. Satu waktu, dalam sebulan bisa kirim lima kontainer, tetapi bulan depan, begitu ada hujan, hanya satu kontainer atau tidak kirim sama sekali. Para pelaku UMKM perlu diberi pelatihan terkait manajemen supply chain,” kata Subagio.
Berkembang sejak 2004, usaha pembuatan mocaf saat ini banyak digeluti oleh pelaku UMKM, terutama mikro. Ada hampir di setiap daerah. Namun, menurut Subagio, kebanyakan pelaku usaha berproduksi ketika ada pesanan atau tak rutin. Maka itu, perbaikan di hulu penting. Harga bahan baku yang bersaing harus terjamin. Petani yang bergantung kepada tengkulak membuat harga jual rendah.
Peneliti pada Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Agro Kementerian Perindustrian, Yuliasri Ramadhani Mueutia, mengatakan, mocaf berpotensi untuk terus berkembang. Namun, permasalahan yang dihadapi pelaku usaha terutama terkait ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan. Begitu juga dengan mutunya.
”Terkadang, industri butuh volume tinggi, sedangkan kita hanya mampu memenuhi (kuantitas) di bawah itu. Juga, tidak seragam. Itu yang membuat pengembangannya cukup tersendat. Maka, harapannya ada standardisasi produk,” ujarnya.
Menurut Yuliasri, dalam pengembangan mocaf, perlu ada sinergi kuat di antara para pemangku, seperti akademisi, petani, regulator, pengusaha, serta investor. ”Diperlukan juga optimalisasi adopsi teknologi dalam pembuatannya. Ini dalam rangka mendukung kemandirian pangan,” jelasnya.
Penyangga
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menyatakan, padi memang menjadi fokus dan produktivitasnya didorong di atas 6 ton per hektar. Namun, pangan lokal lain tetap penting sebagai penyangga, termasuk singkong, serta daerah-daerah lain dengan potensi sumber pangannya masing-masing.
Untuk singkong, katanya, sudah dipetakan sejumlah daerah sentralnya, antara lain Lampung, Sumatera Utara, Sukabumi (Jawa Barat), serta sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. ”Di situ akan hadir industri-industri pengolahan untuk hilirisasi, serta pasarnya,” kata Suwandi.
Dalam pengembangan singkong, lanjut Suwandi, pihaknya menyediakan layanan perbenihan agar para petani mendapat benih berkualitas. Begitu juga terkait dengan proses budidaya dan pemupukan. Ia pun meminta para petani untuk bergabung dalam gabungan kelompok tani lalu mengakses kredit usaha rakyat (KUR) di sejumlah bank milik pemerintah.
Singkong serta pangan lainnya turut mendukung diversifikasi pangan yang bakal menopang konsep besar ”Indonesia Feed the World” atau memasok pangan sehat untuk dunia pada 2045. ”Dengan berbagai keunggulan dan potensinya, (pangan lokal) perlu terus dikaji dan ditingkatkan,” ujar Suwandi.