Optimalisasi Tol Laut Masih Jadi Tantangan
Program Tol Laut masih sangat menantang. Pemanfaatan antara pengiriman kapal yang berangkat dari barat menuju timur belumlah seimbang dimanfaatkan untuk arus angkut baliknya. Padahal, banyak hasil pertanian dibutuhkan.
Senyum Ardian Simanulang, Pembina Persatuan Petani Milenial Merauke, mengembang semringah di wajahnya. Buah kerja keras bertahun-tahun membina petani Merauke akhirnya menuai hasil menggembirakan.
Tahun 2017, Ardian melihat masalah pelik pertanian Merauke. Sebuah ironi karena Presiden Joko Widodo sebelumnya menginstruksikan Kabupaten Merauke di Papua menjadi lumbung pangan wilayah timur Indonesia. Untuk itulah, Ardian berbekal kemampuan terbatas tergugah dan termotivasi membantu petani meningkatkan produktivitas.
Pertanian di Merauke, khususnya petani padi, acapkali terbentur masalah pascapanen, terutama terkait proses penjemuran gabah. Akibatnya, kualitas beras kurang baik. Berbekal modal seadanya, Ardian tergugah untuk melakukan riset, mulai dari Makassar, Surabaya, hingga Palembang.
”Saya cari juga lewat Google, ada proyek pengeringan padi yang sangat baik di Vietnam. Dari riset di Palembang dan Vietnam, saya duplikat dan menyempurnakan langsung di Merauke. Saya datangkan juga ahli mekanik boiler pengering dari Jawa Barat,” ujar Ardian dalam testimoni Forum Bisnis ”Kemudahan Distribusi Logistik melalui Tol Laut dalam Mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah” secara virtual yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan, di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Akhirnya, ”buah” pertama yang dipetik Ardian—berupa pengembangan teknologi pengering padi—bisa tersebar di setiap distrik Merauke. Pascapanen akan sia-sia jika hasilnya hanya dimanfaatkan oleh petani sendiri.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana menjual hasil pertanian ini ke banyak daerah. Hal itu rupanya menjadi masalah baru. Pasalnya, untuk mengirim beras ke Timika tahun 2017, kapal pengangkut hasil pertanian harus berputar ke Surabaya (Jawa Timur). Dari Surabaya, kontainer harus dipindah ke kapal lain menuju Timika. Lama waktu yang dibutuhkan secara total 4-5 minggu.
”Biaya waktu itu secara total mencapai Rp 19 juta,” kata Ardian.
Tahun 2019, seusai mendapatkan informasi program Tol Laut, Ardian tergerak untuk memanfaatkan fasilitas ini. Awalnya, dia pun bertanya-tanya tentang konsep Tol Laut. Yang ia ketahui baru sebatas jalan tol darat, seperti selama ini dikenal di Pulau Jawa.
Tol Laut merupakan alat transportasi logistik berupa kapal Kementerian Perhubungan yang diluncurkan untuk pengiriman secara cepat di wilayah pedalaman atau terpencil. Waktu pengiriman diklaim bisa lebih cepat dan biayanya murah.
Dari semula hanya 1-2 kontainer per bulan, kini Ardian membantu petani untuk mengirim hasil pertanian, terutama beras, sebanyak 24 kontainer per bulan. Beras dari Merauke dikirim ke wilayah-wilayah lain di Papua, seperti Timika, Fakfak, Nabire, Jayapura, Sorong, bahkan di Pegunungan Tengah.
Penyelesaian masalah ini menjadi bentuk hasil pembangunan dari pinggiran yang bisa dinikmati petani. Selama ini, kata Ardian, komoditas beras tidak laku. Dengan adanya Tol Laut, pengiriman bisa dilakukan secara maksimal. Bahkan, pasokan beras di Merauke sempat kurang karena memenuhi permintaan pasar di wilayah timur Indonesia.
Bahrudin Do Dasim, perwakilan shipper atau agregator logistik PT Arta Jaya Logistik Morotai, pun menuturkan, sebelum program Tol Laut berjalan, pengiriman barang memang hanya dapat dilakukan ke pelabuhan terdekat dengan jumlah terbatas. Pasca-Tol Laut, jumlah muatan dan jangkauan pengiriman menjadi lebih luas.
Keberadaaan Tol Laut juga membuat pengusaha lokal mendapatkan tarif yang terjangkau. Begitu pula harga produk yang dibeli, dari Surabaya, misalnya, bisa lebih terjangkau. Paling tidak, ini bisa menstabilkan harga barang di Morotai.
Sebaliknya, harga komoditas yang dihasilkan oleh pengusaha di Morotai pun bisa mudah dikirim ke Pulau Jawa. Produk yang dikirim ke Jawa ini, antara lain, komoditas kopra, ikan laut, kelapa, rumput laut, dan arang tempurung kelapa. Prospek usaha pun semakin terbuka karena pengiriman lebih tepat waktu.
Diluncurkan 2015
Program Tol Laut sesungguhnya telah diluncurkan pemerintah sejak 2015. Trayek, jumlah muatan, dan kapasitasnya pun terus meningkat. Optimalisasi pemanfaatan program ini perlu dilakukan secara detail, termasuk evaluasi mobilitasnya agar dapat dilaksanakan secara efektif.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan tahun 2021, Tol Laut sudah memiliki 32 trayek yang dilayani di 4 pelabuhan pangkalan, 5 pelabuhan transhipment, dan 114 pelabuhan persinggahan.
Sebanyak 32 armada kapal yang melayani terdiri dari 14 kapal negara, 6 kapal PT Pelni, 5 kapal PT ASDP, dan 7 kapal swasta. Total anggaran program ini mencapai Rp 376,45 miliar, antara lain digunakan untuk subsidi operasional kapal, kontainer, dan muatan.
Mugen S Sartoto, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub, mengatakan, persoalan logistik sesungguhnya bukan hanya biaya transportasi yang kerap disebut mahal. Dalam sistem transportasi pemindahan barang dan manusia dari satu tempat ke tempat lain, bukan hanya bertujuan aman, nyaman, dan selamat, melainkan juga terjangkau. Banyak moda transportasi yang dapat dimanfaatkan.
Untuk menangani biaya logistik tinggi, pemerintah mengembangkan konsep Tol Laut, yaitu konektivitas laut yang efektif berupa kapal dengan pelayaran rutin dan terjadwal. Beberapa rencana untuk mendukung Tol Laut adalah pengembangan dan perbaikan infrastruktur, pemangkasan perantara jalur logistik, dan percepatan pembangunan kawasan industri di Indonesia timur untuk memperbaiki perekonomian.
Kehadiran pemerintah melalui regulasi ataupun subsidi dilakukan untuk mengintervensi biaya logistik yang kerap dikeluhkan mahal.
Berdasarkan data Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), 70 persen pengeluaran pengusaha pelayaran pada transportasi domestik justru berada di bagian darat, mulai dari tarif pelabuhan, pergudangan, hingga truk pengangkut. Barulah sisanya untuk biaya perjalanan laut sebesar 20-30 persen.
Sayangnya, data Kementerian Perhubungan menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, pemanfaatan Tol Laut ini terlihat belum seimbang. Jumlah angkutan berangkat tahun 2019 tercatat 7.199 teus, tahun 2020 mencapai 13.852 teus, dan 2021 sebanyak 18.011 teus.
Sementara itu, pemanfaatan angkutan balik dari wilayah timur ke barat tahun 2019 hanya 868 teus, tahun 2020 sebanyak 4.303 teus, dan tahun 2021 sebanyak 5.869 teus.
Padahal, untuk mendorong pemanfaatan angkutan balik, pemerintah memberikan stimulus, khususnya bagi muatan balik di wilayah timur sebesar 50 persen dari muatan berangkat. Sesungguhnya, ini menjadi salah satu kemudahan yang bisa dimanfaatkan pelaku UMKM. Biaya angkutan Tol Laut secara umum dijamin lebih rendah daripada angkutan komersial.
Tahun 2020, selain mengoperasikan kapal sendiri, pemerintah juga melakukan subsidi dengan menitipkan kontainer ke perusahaan operator komersial. Artinya, ketika memang ada jalur kapal komersial melintas ke daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T), tentunya lebih efisien menggunakan sistem ”titip kontainer” ke swasta.
Mugen menegaskan, ”Tol Laut dilaksanakan pemerintah tidak dalam rangka mematikan pelayaran komersial. Tetapi, pemerintah hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama di daerah 3T yang sarana transportasinya belum sebanyak daerah lain.”
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, stimulus bukan hanya menjadi penyeimbang biaya logistik, melainkan juga pendorong geliat pertumbuhan ekonomi di daerah, khususnya di Indonesia bagian timur. Sekali lagi, program Tol Laut diharapkan dapat mengurangi biaya logistik yang dikeluarkan oleh para shipper dalam mengirim barang, dari pelabuhan pangkalan sampai ke daerah tujuan.
Namun, untuk memberikan kemudahan pemesanan, melacak pengirim barang hingga memantau disparitas harga antarwilayah di Indonesia, terutama di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal, program Tol Laut perlu semakin disempurnakan. Hal ini, antara lain, dilakukan dengan penggunaan aplikasi SiTolaut.
”Bagaimana kemampuan SiTolaut itu dapat terintegrasi dengan BRI-Store yang dimiliki oleh Bank Rakyat Indonesia? Ini masih perlu dielaborasi dan evaluasi agar bisa dilaksanakan dan akhirnya bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha,” kata Budi.
Kini, Tol Laut masih menghadapi tantangan, mulai dari sosialisasi pemanfaatannya hingga implementasi teknologi. Bukan hal mudah membangun Indonesia dari pinggiran. Oleh karena itu, pemanfaatan Tol Laut yang kaya akan subsidi pun masih perlu terus dioptimalkan untuk dapat dimanfaatkan pelaku UMKM.