Minyak Goreng Sesuai HET Sulit Didapat, Pemerintah Sebut Hanya Sesaat
Dari pantauan di sejumlah pasar di Jakarta, seperti Pasar Gondangdia, Slipi, dan Tomang Barat, Rabu (9/2/2022), stok minyak goreng curah di pedagang umumnya kosong. Sementara minyak goreng kemasan dijual di atas HET.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minyak goreng yang dijual sesuai ketentuan harga eceran tertinggi masih sulit didapat, baik di pasar tradisional maupun ritel modern. Namun, pemerintah memastikan fenomena itu hanya sementara dan pasokan akan kembali lancar dalam sepekan ke depan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit ditetapkan Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan olein atau CPO olahan sebesar 20 persen dari total volume ekspor dengan patokan harga Rp 9.300 per kilogram (kg) dan olein Rp 10.300 per kg. Regulasi itu diterbitkan guna mengendalikan harga minyak goreng di tengah lonjakan harga CPO internasional.
Dari pantauan di sejumlah pasar tradisional di Jakarta, seperti Pasar Gondangdia, Pasar Slipi, dan Pasar Tomang Barat, Rabu (9/2/2022), stok minyak goreng curah umumnya kosong. Adapun minyak goreng kemasan premium tersedia, tetapi dijual dengan harga sekitar Rp 20.000 per kemasan 1 liter serta Rp 35.000-Rp 38.000 untuk kemasan 2 liter.
”Ini stok lama (sebelum kebijakan HET), jadi harganya belum Rp 14.000 per liter. Kalau minyak goreng curah sudah seminggu ini kosong. Padahal, pembeli biasanya beli (curah) Rp 20.000 per liter juga mau,” ujar Dadang (48), pedagang di Pasar Gondangdia.
Sadiah (27), penjual sembako di Pasar Tomang Barat, juga hanya menjual minyak goreng kemasan premium stok lama. Lantaran hendak menghabiskan stok, meski awalnya menawarkan Rp 35.000 per kemasan 2 liter, ia lalu bersedia menjualnya Rp 33.000 per 2 liter. Harga itu cenderung turun dari sebelumnya.
Sementara itu, minyak goreng sawit kemasan sulit ditemukan di sejumlah supermarket di Jakarta, karena stoknya umumnya kosong. Kendati demikian, ada juga beberapa swalayan yang masih memiliki stok dan menjualnya sesuai HET, yakni Rp 28.000 per kemasan 2 liter. Namun, satu pengunjung hanya boleh membeli satu kemasan. Di salah satu swalayan di Kecamatan Gambir, minyak goreng HET cukup diminati, meskipun tak sampai menimbulkan antrean.
Adapun di sejumlah minimarket, stok minyak goreng sawit juga rata-rata tidak ada. Beberapa pegawai menyatakan, pasokan dilaporkan akan segera tiba, tetapi ia tak tahu persis waktu kedatangannya.
Sebelumnya, sejumlah warga kesulitan mendapat minyak goreng seharga Rp 14.000 liter atau sesuai ketentuan pemerintah untuk jenis premium. Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, warga terpaksa membeli Rp 35.000 per kemasan 2 liter. Di Bandar Lampung, Lampung, stok minyak goreng peritel modern dan pasar tradisional pun menipis. (Kompas, 9/2/2022)
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yeka Hendra Fatika, dalam Dialog Pelayanan Publik ”Menjamin Ketersediaan Minyak Goreng” Selasa (8/2/2022) mengatakan, dari pemantauan pihaknya dari 34 provinsi di Indonesia, didapat beberapa fenomena perilaku masyarakat terkait minyak goreng.
Pertama ialah penimbunan. Yeka berharap Satgas Pangan dapat bereakasi cepat dan tegas sehingga upaya-upaya praktik tersebut bisa diminimalisasi. Kedua, perilaku pengalihan. Minyak goreng yang tadinya ada di pasar modern dibuat langka oleh oknum, dengan menawarkan kepada pelaku pasar tradisional.
”Ketiga ialah panic buying. Banyak foto dan video dikirim dari kawan-kawan asisten Ombudsman yang mencerminkan panic buying. Hal seperti ini terjadi hampir setiap tahun ketika harga (komoditas) tinggi. Harusnya dapat diantisipasi lebih baik lagi. Kami berharap nanti dapat ditekan atau dihilangkan,” ujar Yeka.
Ia menambahkan, salah satu hal yang menjadi pertanyaan publik saat ini ialah sampai kapan situasi ini akan berlangsung, apalagi kurang dari dua bulan ke depan, akan memasuki bulan Ramadhan. Di sisi lain, ia pun meminta masyarakat tak melakukan panic buying serta tak mudah terprovokasi dengan kegelisahan publik.
Hanya sementara
Dalam dialog yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menuturkan, pihaknya memahami harga minyak goreng di sejumlah daerah masih tinggi. Namun, situasi itu hanya sementara karena pedagang panik akan stok lama yang sudah dibeli dengan harga tinggi.
”Harga tinggi karena para pedagang ingin menghabiskan stok dulu. (Fenomena) ini pasti sesaat karena pedagang ini berusaha habiskan stok lama. Lalu ada panic buying. Distribusi ke pasar tradisional belum lengkap dan di ritel modern terjadi rush, sedangkan pasokan tersendat. Namun, ini sangat sementara. Saya pastikan seminggu ke depan sudah lancar,” ucapnya.
Oke mengatakan, kini sudah hampir 180.000 ton CPO dan olein diekspor. Artinya, DMO yang telah terpenuhi sekitar 36.000 ton, berarti sudah 36-40 juta liter minyak goreng yang terdistribusi. Terakhir, ia mendapat laporan pasokan sudah sampai ke wilayah timur Indonesia, seperti ke Papua, Lombok, dan Ambon.
Guna mengurangi tekanan ke ritel modern, pihaknya akan fokus memasok minyak goreng curah ke pasar tradisional. ”Sebab, jika tidak, ritel modern kena beban karena (minyak) dicari terus oleh masyarakat. Kurang lebih 40 juta liter sudah kami pasok ke pasar tradisional, ritel modern sudah masuk 12 juta liter,” katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Westri Kekalih, menilai, perihal kelangkaan minyak goreng tidak terlepas dari permintaan dan penawaran. Namun, ada faktor di luar ekonomi yang sangat berpengaruh, yakni ekspektasi masyarakat.
Beredarnya informasi kelangkaan minyak goreng justru menimbulkan panic buying. ”Yang sangat penting ialah memastikan ini terkendali. Ini juga persoalan edukasi yang harus diberikan secara terus-menerus. Pemerintah punya peran besar dalam hal ini. Juga dalam masalah penimbunan dan (permainan) spekulan,” katanya.
Perihal kelangkaan, ia memperkirakan, akan bersifat temporer karena nantinya pasar akan menyesuaikan dengan sendirinya. Apalagi, minyak goreng merupakan komoditas untuk kebutuhan sehari-hari.
Ke depan, harus ada nilai tambah pada komoditas CPO. ”Kita itu penghasil CPO terbesar di dunia, tetapi ”dimainkan” oleh pasar internasional. Yang dijual kan raw material, antara lain karena keterbatasan teknologi. Ini perlu dikembangkan, meski untuk jangka panjang, karena tentunya tidak bisa cepat,” kata Westri.