Empat produsen minyak goreng di Indonesia menguasai 46,5 persen pasar minyak goreng. KPPU sedang menyelidiki lebih jauh apakah ada dugaan praktik kartel untuk menaikkan harga minyak goreng bersama-sama.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU terus mendalami dugaan pelanggaran berupa perilaku anti-persaingan oleh pelaku usaha yang dapat merugikan masyarakat. Hal itu tak terlepas dari hasil kajian KPPU bahwa empat produsen minyak goreng di Indonesia menguasai 46,5 persen pasar minyak goreng domestik.
Saat ini, harga rata-rata minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium di tingkat nasional berkisar Rp 18.500-Rp 20.500 per liter. Harga tersebut naik dari biasanya yang Rp 9.500-Rp 14.000 per liter. Kenaikan mulai dirasakan pada Oktober 2021. Penyebabnya adalah melonjaknya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) internasional.
KPPU meneliti lebih lanjut karena diduga ada praktik kartel untuk menaikkan harga minyak goreng bersama-sama. Dari hasil penelitian, diketahui 46,5 persen pasar dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng. Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi (dari perkebunan kelapa sawit hingga produsen minyak goreng). Demikian dikutip dari situs KPPU.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan, sejak Rabu (26/1/2022), fakta-fakta yang ditemukan KPPU tersebut sudah masuk ke ranah penegakan hukum. Sejumlah fakta dari penelitian menjadi faktor pendorong langkah itu, seperti sektor yang terkonsentrasi cukup tinggi (oligopolistik) dan sinyal-sinyal kenaikan harga yang serempak.
"Dalam proses penegakan hukum, kami akan mendalami berbagai perilaku itu. Bentuk pelanggaran masih diidentifikasi apakah benar terjadi kesepakatan pengaturan pasokan atau harga oleh para produsen. (Mengenai) Siapa saja produsen yang patut diduga melanggar masih didalami," ujar Deswin saat dihubungi, Senin (31/1/2022).
Adapun aturan yang digunakan yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kendati tak berkait langsung dengan dugaan kartel, KPPU juga menyoroti tak meratanya lokasi pabrik minyak goreng, karena mayoritas berada di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. "Sebaran itu lebih menunjukkan kurang efisiennya industri. Jika industri minyak goreng dekat ke produksi CPO, pelaku usaha bisa berproduksi dengan biaya lebih rendah," kata Deswin.
Anggota KPPU, Ukay Karyadi, dalam webinar bertajuk "Competition Outlook 2022 Pemulihan Ekonomi dan Persaingan Usaha", Senin, menuturkan, memang banyak sektor yang bersifat oligopolistik dan terintegrasi vertikal, termasuk minyak goreng. Menurut dia, di sektor hulu, perkebunan semakin terkonsentrasi.
Di hulu, terdapat sektor modern yang diwakili perusahaan besar dan sektor tradisional yang diwakili para petani sawit rakyat. "Namun, semakin ke sini semakin mengerucut ke para pelaku usaha besar. Banyak kebun yang dikelola petani atau perusahaan-perusahaan kecil diambil alih oleh perusahaan besar," ujarnya.
Tren akuisisi pada dunia usaha juga tak terlepas dari dampak pandemi Covid-19. Meski tidak dilarang, kata Ukay, dalam kondisi itu, tinggal menunggu kesempatan saja untuk memanfaatkan posisi dominan tersebut dengan perilaku yang dapat merugikan konsumen.
Kebijakan pemerintah
Tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah beberapa kali menerapkan kebijakan terkait minyak goreng. Kebijakan terakhir adalah pemberlakuan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) 20 persen bagi para eksportir CPO. Adapun harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram.
Pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) baru bagi aneka jenis minyak goreng per 1 Februari 2022. HET minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng premium Rp 14.000 per liter. Kebijakan itu berlaku mulai 1 Februari 2022.
Dalam rapat kerja dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, di Senayan, Senin, sejumlah anggota Komisi VI DPR melontarkan pertanyaan terkait minyak goreng, mulai dari kebijakan yang berganti-ganti hingga sulitnya pedagang kelontong dan pasar tradisional yang telanjur membeli minyak goreng dengan harga tinggi.
Terkait kebijakan, Lutfi menuturkan, kenaikan harga CPO internasional sebenarnya menguntungkan Indonesia sebagai produsen terbesar komoditas tersebut. Oleh karena itu, kebijakan diambilnya secara pelan-pelan. Setelah melihat tak ada komitmen dari produsen karena minyak goreng yang digelontorkan tak sesuai yang dijanjikan, ia pun melarang ekspor hingga kewajiban DMO-nya terpenuhi.
Terkait HET minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium yang berlaku 1 Februari 2022, Lutfi akan kembali mendahulukan ritel modern.
"Mulai besok, minyak goreng harga murah ini akan masuk. Jadi, biar ritel modern dulu, tetapi nanti harga di pasar secara natural akan turun karena akan lebih banyak (minyak goreng) yang murah. Kalau banyak yang mahal, tidak ada yang beli," katanya sembari meyakini bahwa mekanisme itu akan berjalan sekitar sepekan.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Ngadiran berharap pemerintah tidak hanya mementingkan pelaku usaha ritel modern, tetapi juga pasar tradisional. Saat ini, pedagang masih menggunakan stok lama yang dibeli dengan harga pasar atau sebelum ada kebijakan subsidi.
"Sampai hari ini, barangnya mana yang mau kami jual jika disuruh dengan harga itu (HET)? Barangnya bisa dibeli pedagang atau tidak? Kalau bisa di mana dan bagaimana tata caranya? Sebenarnya itu saja," kata Ngadiran.
Ia menambahkan, Inkoppas sebenarnya siap jika dilibatkan dalam operasi pasar minyak goreng, tetapi komunikasi terkait itu tidak ada. Seharusnya, menurut dia, operasi pasar bukan dilaksanakan di depan pasar, tetapi bekerja sama dengan PKK, kelurahan, bahkan RT-RW, dengan menyasar warga yang tak mampu.