Peran Swasta Dibutuhkan dalam Pengembangan Panas Bumi
Pertumbuhan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih rendah. Peran swasta diperlukan untuk mengoptimalkan potensi panas bumi yang ada.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panas bumi menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang potensial dikembangkan meskipun masih ada sejumlah tantangan di berbagai aspek. Dalam menghadapi itu, peran swasta sangat dibutuhkan. Stimulan pun penting agar panas bumi tak kehilangan daya tariknya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, dalam webinar yang digelar Chakra Giri Energi Indonesia, Kamis (27/1/2022) mengatakan, rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya 60 megawatt (MW) per tahun. Sejak 2009, sudah diterbitkan 21 izin untuk 13 badan usaha, tetapi tak banyak yang sudah memulai kegiatan eksplorasi.
Herman menambahkan, sudah ada 14 lokasi PLTP yang tersebar di Indonesia. Kapasitas terbesar adalah PLTP Gunung Salak di Cibeureum-Parabakti, Jawa Barat dengan 377 MW, kemudian PLTP Sarulla di Sumatera Utara, serta PLTP Kamojang dan PLTP Darajat, di Jawa Barat, masing-masing 235 MW dan 270 MW.
Menurut dia, panas bumi memang harus dioptimalkan, tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik. “Masih ada sejumlah tantangan yang perlu dijawab. Kalau kita hitung, pada 2050, (pemenuhan kebutuhan dengan energi terbarukan) yang paling mungkin dengan energi surya,” ujar Herman.
Saat ini, lanjut Herman, pengembangan PLTP masih terbilang lambat, salah satunya karena kebijakan harga jual tenaga listriknya yang dianggap tak menarik bagi pengembang. Namun di sisi lain, jika nilai keekonomian dinaikkan, juga akan menjadi beban bagi pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Dalam rangka percepatan pengembangan PLTP di Indonesia, Herman mendorong pemerintah untuk menyelesaikan perbedaan antara harga keekonomian dan kemampuan (investasi swasta). “Kemudian, tak hanya mengandalkan program pengeboran oleh pemerintah (government drilling), tetapi swasta juga diberi peran untuk mengambil risiko eksplorasi,” ujarnya.
Saat ini, ada tiga BUMN panas bumi, yang dikelola PLN, PT Geo Dipa Energi, dan PT Pertamina Geothermal Energy. Menurut Herman, jika ketiganya dimerger menjadi BUMN panas bumi, akan menjadi hal positif karena tata kelola risiko akan semakin baik lantaran ditanggung bersama. Lebih lanjut, Herman mengingatkan bahwa panas bumi memang memiliki potensi besar, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga November 2021, total kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 73.736 MW. Berdasarkan jenisnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih dominan dengan 36.976 MW atau sebesar 50 persen.
Setelah itu, ada pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) dengan 12,4 persen, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 8,5 persen, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 8,4 persen, pembangkit lIstrik tenaga diesel (PLTD) 5 persen, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 2,2 persen, PLT energi terbarukan lainnya 2 persen, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 0,2 persen.
Pada bauran energi primer penyediaan listrik, per November 2021, batubara dominan dengan 65,93 persen. Adapun gas 17,48 persen, bahan bakar minyak 3,86 persen, dan energi terbarukan 12,73 persen. Pada target 2022, porsi batubara meningkat menjadi 68,70 persen, sedangkan energi terbarukan menjadi 12,70 persen.
Direktur Operasi PT PLN Gas & Geothermal, Yudistian Yunis, mengemukakan, saat ini, total ada tujuh PLTP yang terpasang dan dimiliki serta dioperasikan PLN dan Indonesia Power, anak usaha PLN, dengan total kapasitas 577,5 MW. PLN juga masih mengembangkan sejumlah wilayah kerja panas bumi lainnya yang tersebar di Indonesia.
Menurut Yudistian, peran swasta juga dibutuhkan pemerintah dalam mengembangkan PLTP. “Bagaimanapun ini juga padat modal dan biaya. Biaya di depan sangat tinggi sehingga swasta punya andil besar. Tinggal bagaimana pemerintah nanti memberi semacam stimulasi atau fasilitasi, sehingga daya tarik proyek panas bumi ini tetap ada bagi mereka,” katanya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, menuturkan, salah satu tantangan transisi energi ialah konsumsi energi Indonesia masih berdasarkan energi murah. Artinya, permintaan listrik di Indonesia tak bergerak baik. Hal itu juga dipengaruhi berbagai faktor, termasuk tingkat pendidikan rata-rata masyarakat.
“Maka kalau ingin mengembangkan panas bumi dan lainnya, pola pembiayaannya juga harus diperbaiki, termasuk harga keekonomisan pada IPP. Kementerian ESDM dan kementerian lain harus mendorongagar konsumsi energi bisa diperbaiki, dengan menambah energi-energi yang bersih,” ucap Yayan.
Hal tersebut, juga bisa didorong dari sisi investasi. Misalnya, pada pengembangan infrastruktur energi terbarukan, sudah waktunya digunakan komponen-komponen yang lebih murah. Indonesia, kata Yayan, seharusnya bisa seperti halnya yang dilakukan oleh China dan India. Pengembangan energi terbarukan ialah soal komitmen pemerintah untuk menggerakkan ekosistem industri, dari hulu ke hilir.