Mario Lado bermimpi mengangkat nasib sesama difabel lewat usaha kopi. Dekranasda NTT akan terus memberi dukungan kepada mereka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Mario Lado (30) menjadi barista tuli pertama di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setelah menjalani pelatihan barista di Bandung, Jawa Barat, Mario bermimpi membangun rumah kopi dengan mempekerjakan sesama komunitas orang tuli. Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTT siap membantu Mario mewujudkan mimpinya tersebut.
Mario unjuk kemampuan meracik kopi kepada para jurnalis di dapur Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT di Kota Kupang pada Jumat (21/1/2022). Bahan kopi yang digunakan adalah kopi robusta dari Fatuleu, sebuah wilayah di Kabupaten Kupang.
Ia memasukkan biji kopi yang sudah disangrai seberat 12 gram ke dalam mesin untuk digiling menjadi bubuk. Aroma seperti sayur basah menguar dari cangkir. Ia lalu membagi kopi itu kepada jurnalis yang ingin mencicipi. ”Mumpung masih panas,” kata Mario sebagaimana diterjemahkan oleh juru bahasa isyarat Ike Mauboy.
Mario menuturkan, dirinya difasilitasi oleh Dekranasda NTT untuk mengikuti pelatihan menjadi barista di Bandung, Jawa Barat, selama satu bulan. Sebelum ke sana, ia terlebih dahulu menjalani seleksi di Dekranasda NTT. Bersama dia, ada enam peserta lain yang di luar kelompok difabel.
Lantaran melihat kesungguhan Mario, Dekranasda meloloskan Mario dan memberangkatkan Ike sebagai juru penerjemah untuk dirinya. Di tempat pelatihan itu, Mario satu-satunya dari kelompok difabel. ”Awalnya saya takut sekali karena masalah komunikasi. Saya juga tidak percaya diri,” katanya.
Setelah lulus menjadi barista, Mario ingin membangun sebuah rumah kopi yang akan diberinama Cafe Inklusif. April mendatang, kafe sudah mulai beroperasi. Di kafe itu, dia akan mempekerjakan sesama orang tuli. Mario kini menjadi ketua Komunitas Orang Tuli di Kota Kupang. Jumlah anggota komunitas itu sekitar 70 orang.
Sesama difabel
Menurut dia, banyak orang difabel tidak percaya diri dengan kondisi yang mereka alami, terlebih lagi situasi lingkungan yang tidak mendukung. ”Lewat usaha ini, saya ingin membangun harapan bahwa kelompok difabel juga bisa maju seperti orang-orang yang normal,” ujarnya.
NTT merupakan daerah penghasil kopi. Dari 22 kabupaten/kota, 19 di antaranya penghasil kopi. Produk terkenal adalah kopi Manggarai dan kopi Bajawa. Dalam catatan Kompas, lahan kopi terluas ada di Manggarai Timur, sekitar 23.450 hektar, disusul Manggarai 9.701 hektar, Ngada 8.450 hektar, serta Sumba Barat Daya 8.972 hektar.
Lewat usaha ini, saya ingin membangun harapan bahwa kelompok difabel juga bisa maju seperti orang-orang yang normal.
Luas lahan kopi terkecil ada di Kabupaten Malaka, 51 hektar. Tercatat ada 80.000 petani kopi di NTT dengan luas lahan kopi tiap petani sekitar 1.000 meter persegi. Hanya Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten Sabu Raijua yang tidak memiliki lahan kopi.
Ketua Dekranasda NTT Julie Laiskodat mengatakan, secara individu, Mario memiliki kemampuan dan semangat untuk maju. Itu ditunjukkan dengan kesungguhan mengikuti pelatihan barista selama satu bulan dan langsung lulus. ”Dia ingin maju dan menjadi contoh bagi komunitasnya,” ujar Julie.
Julie berkomitmen mengakomodasi komunitas difabel di NTT yang ingin maju lewat usaha kecil dan menengah. Tak hanya kopi, masih banyak usaha lain yang bisa digeluti, seperti tenun, makanan dan minuman dari bahan lokal, serta kerajinan khas daerah. Dekranasda NTT sudah memfasilitasi ratusan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selama ini, hasil kerja UMKM di NTT banyak dibeli oleh Dekranasda dan sudah dipajang di Galeri Dekranasda. Banyak produk mereka diikutkan dalam pameran kerajinan di level nasional, bahkan dunia. Tak jarang, hasil karya dari NTT digunakan oleh pejabat negara, seperti kain tenun yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Mantan Wakil Wali Kota Kupang Daniel Hurek berpendapat, masih banyak warga dengan latar belakang difabel yang belum mendapat sentuhan pemerintah. Kehidupan mereka semakin sengsara di kala pandemi Covid-19. ”Ini kesempatan untuk membuktikan kepedulian itu,” katanya.
Ia mengapresiasi sejumlah langkah pemerintah yang memberdayakan komunitas difabel. Di samping itu, banyak pihak swasta yang juga ikut memberdayakan kelompok difabel.