Pertanian Kontrak Dibutuhkan untuk Mendongkrak Singkong
Persepsi masyarakat untuk tak memandang rendah singkong mulai terbentuk. Semakin disadari bahwa singkong punya potensi besar untuk dikembangkan. Demi keberlanjutan singkong, diperlukan sistem pertanian kontrak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Sejak lama, di Indonesia, singkong acap kali dikenal sebagai makanan untuk golongan miskin. Akan tetapi, 7-8 tahun terakhir, singkong mulai ”naik kelas”. Produk seperti singkong keju, singkong beku, serta sejumlah olahan lainnya berkembang dan banyak diminati. Bahkan, makanan ini sudah masuk kafe dan hotel mewah. Begitu juga tepung singkong yang telah dimodifikasi (mocaf).
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Achmad Subagio, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/1/2022), menjelaskan, dari sisi bisnis, karakter utama pada olahan singkong adalah produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sejumlah inovasi telah menghasilkan produk-produk unik yang cukup banyak diminati.
Akan tetapi, di sisi hulu, petani singkong masih terkendala, termasuk dalam mengakses permodalan. Jarang sekali petani singkong mendapat kredit usaha rakyat (KUR). Ketidakpastian membuat banyak petani singkong tidak bankable atau tak memenuhi syarat untuk mendapat kredit. Karena itu, yang mendesak dilakukan saat ini ialah penerapan sistem pertanian kontrak atau contract farming.
”Saat ada pabrik tapioka (pati singkong) atau pabrik singkong lainnya, sudah dihitung berapa yang harus diproduksi setahun. Lalu, dipasangkan dengan petani. Dihitung biayanya sehingga nanti petani dapat sekian persen. Ini yang harus dilakukan. Selama ini, yang ada justru sistem ijon. (Singkong) baru 2-3 bulan sudah dikasih duit oleh tengkulak,” kata Achmad.
Achmad, yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Industri dan Teknologi Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), menambahkan, kepastian itu dibutuhkan karena kerap kali harga singkong jatuh. Namun, saat ini, harga singkong sedang naik dari sebelumnya sekitar Rp 1.300 per kilogram (kg) menjadi Rp 1.700-Rp 2.000 per kg.
Meski demikian, problem utama saat ini adalah persepsi masyarakat. ”Saat ini (persepsi bagus pada singkong) sudah tumbuh, tetapi baru mulai. Padahal, singkong sehat karena memiliki IG (indeks glikemik) rendah. Maka, edukasi harus semakin digencarkan. Kalau perlu, Presiden (memberikan pengaruh dengan mencontohkan) makan singkong,” ujarnya.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, Riza Azyumarridha Azra (30), milenial yang memiliki perhatian pada ekonomi mikro, sejak 2014 memberikan perhatian kepada petani singkong yang kerap kali terombang-ambing akibat harga jual yang fluktuatif. Para petani itu berada di bawah garis kemiskinan. Diawali dari gerakan sosial, akhirnya Riza mendirikan Rumah Mocaf Indonesia pada 2017.
Produksi Rumah Mocaf Indonesia terus berkembang dan kini mencapai 30 ton per bulan. Di Indonesia, produk olahan singkong ini dipasarkan di sejumah kota besar, terutama di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Ada rumah tangga, toko makanan sehat, hingga beberapa industri pasta dari mocaf. Mereka juga mengekspor, antara lain, ke Oman dan Dubai.
”Namun, (bisnis) ini bukan tujuan utama, tetapi lebih pada pemantik masyarakat Indonesia. Bahwa inilah tepung yang dihasilkan dari singkong, yang tadinya makanan kaum marjinal. Tujuan akhirnya, ini adalah tentang kedaulatan pangan Indonesia. Tepung terigu yang impor diharapkan bisa digantikan mocaf,” katanya.
Tak sekadar jargon
Riza pun berharap kedaulatan pangan tidak sekadar jargon, tetapi benar-benar diaplikasikan. ”Harapan pada pemerintah agar lebih banyak mendorong kebijakan yang pro-petani singkong. Tidak muluk-muluk untuk stop impor terigu, tetapi setidaknya substitusi 1-5 persen saja (digantikan mocaf),” kata Riza.
Potensi pengolahan singkong juga dilihat oleh Ariyo Hantoro (35), pemuda asal Kabupaten Klaten, Jateng, yang merintis usaha singkong keju. Usaha Ariyo ini bermula dari keprihatinannya pada para petani singkong, termasuk orangtuanya, yang kerap kali merugi karena harga jatuh. Pada tahun 2000-an, misalnya, harga singkong sempat terpuruk menjadi Rp 500 per kg.
Awalnya, Ariyo menjual produk singkong keju saat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 2006. Terus berkembang, usahanya kini memproduksi sekitar 3 kuintal per hari. Olahan singkong beku kini menjadi produk yang paling diminati dan banyak dipesan secara daring. Jangkauan pasarnya mencapai Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Akan tetapi, Ariyo juga masih menemui kendala, terutama terkait budidaya tanaman singkong. ”Harga pupuk yang mahal menjadi masalah yang dikeluhkan petani saat ini. Pemasaran juga perlu lebih digencarkan. Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki peran untuk mendorong jenama singkong ini,” ujar Ariyo.
Sebelumnya, pada Oktober 2021, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengunjungi sekaligus meresmikan kampung singkong di Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jateng. Diinisiasi oleh salah satu usaha di lokasi itu, wilayah tersebut lalu berubah menjadi kian berkembang sebagai sentra produk olahan singkong, yang turut menggerakkan perekonomian wilayah setempat.
Tak lagi inferior
Menurut data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, luas lahan singkong pada 2019 yakni 628.305 hektar dengan produksi 16,35 juta ton. Sejumlah provinsi penghasil singkong, antara lain, Sumatera Utara, Lampung, Jateng, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menuturkan, kini singkong tak lagi inferior, tetapi sudah menjadi superior. Pihaknya pun akan terus menggelorakan singkong dan produk turunannya sehingga pasar akan semakin terbentuk. Apabila usaha di tingkat hilir berjalan, para petani pun diyakini akan lebih bersemangat untuk menanam.
”Program (pengembangan singkong) akan kami fasilitasi dengan APBN, juga KUR petani. Kami sinergikan dengan MSI, pelaku usaha, dan offtaker (penyerap/pembeli), seperti di Sukabumi, Lampung, dan Sumut,” kata Suwandi dalam webinar ”Bimtek Teknologi Maju Mengolah Singkong untuk Aneka Usaha Kecil dan Menengah”, Sabtu (15/1/2022).
Guru Besar pada Fakultas/Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), Robert Manurung, dalam webinar itu, mengatakan, pengembangan pengolahan limbah singkong usaha kecil dan menengah (UKM) harus terintegrasi dengan membentuk simbiosis industri.
Hal tersebut, lanjut Robert, dapat meningkatkan nilai tambah dan memperluas nilai guna biomassa. Selain itu, juga mendukung terwujudnya keberlanjutan daya dukung lingkungan.