JAKARTA, KOMPAS — Tingkat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto di sepanjang 2021 berada di bawah proyeksi semula. Peningkatan pendapatan negara akibat kenaikan harga komoditas disinyalir menjadi bantalan pemerintah dalam menahan penarikan utang sepanjang tahun lalu.
Dihubungi Sabtu (8/1/2022), Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, rasio utang terhadap PDB di akhir Desember 2021 berada di kisaran 41 persen. Realisasi ini ada di bawah perkiraan awal tahun sebesar 43 persen terhadap PDB.
”Rasio utang masih berada pada zona aman lantaran masih di bawah batas maksimal yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB,” ujarnya.
Rasio utang masih berada pada zona aman lantaran masih di bawah batas maksimal yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB. (Luky Alfirman)
Per akhir November 2021, utang pemerintah mencapai Rp 6.713,24 triliun atau 39,48 persen terhadap PDB. Utang tersebut meningkat tipis dari posisi per Oktober 2021 yakni Rp 6.687,28 triliun atau 39,69 persen dari PDB.
Upaya pemerintah dalam mengurangi penarikan utang tecermin dari pembatalan beberapa lelang Surat Berharga Negara (SBN) pada triwulan IV-2021. Jika dibandingkan dengan angka proyeksi penerbitan SBN di awal tahun, nilai pembatalan lelang mencapai lebih dari Rp 300 triliun.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir mengatakan bahwa secara nilai, penerbitan SBN 2021 lebih rendah dari 2020.
Baca juga: Rasio Utang Pemerintah Capai 41 Persen
Ia mengatakan, strategi pengelolaan utang pemerintah terbukti efektif menurunkan imbal hasil yang bisa memangkas beban bunga utang. Pemangkasan imbal hasil juga ditopang oleh optimalisasi sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA), perbaikan harga komoditas, dan perbaikan penerimaan.
”Imbal hasil dapat diturunkan dari rata-rata 6,77 persen menjadii 6,09 persen,” katanya.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira melihat pada triwulan IV-2021, otoritas fiskal menghentikan penarikan utang baru melalui penerbitan SBN di pasar perdana karena anggaran untuk memenuhi pembiayaan hingga tutup tahun telah tercukupi.
Ketercukupan dana tersebut bersumber dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL) dan berlanjutnya kerja sama dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama III.
”Jika pemerintah tetap menimbun dana SAL dan tidak melanjutkan kerja sama dengan otoritas moneter, tingkat rasio utang berpotensi lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga menikmati momentum kenaikan harga sejumlah komoditas yang mengerek penerimaan negara bukan pajak. Situasi ini telah meningkatakan total pendapatan negara hingga mencapai Rp 2.003 triliun atau setara dengan 114,9 persen dari target yang tertuang di dalam APBN 2021, yakni Rp 1.743 triliun.
”Artinya, terkendalinya rasio utang disebabkan pemerintah mendapatkan berbagai momentum yang mampu menjadi penopang besarnya kebutuhan pembiayaan,” kata Bhima.
Pembiayaan utang
Pemerintah memasang target pembiayaan utang Rp 973,6 triliun pada APBN 2022 agar rasio utang tahun ini bisa mencapai 43,1 persen PDB. ”Rencananya, target pembiayaan utang akan dipenuhi dari penerbitan SBN mencapai Rp 991,3 triliun,” ujar Riko.
Berdasarkan denominasinya, porsi pemenuhan target pembiayaan utang dari denominasi rupiah akan mencapai 80-82 persen. Sementara sisanya berasal dari surat utang valuta asing sebesar 18-20 persen.
Baca juga: Rem Laju Utang, Pemerintah Tempuh Sejumlah Strategi
Khusus untuk penerbitan SBN, pemerintah akan memenuhi target melalui Surat Utang Negara (SUN) sebesar 69-72 persen. Sisanya dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk ssebesar 28-31 persen.
Pemerintah, lanjut Riko, juga menyiapkan sejumlah strategi untuk memenuhi pembiayaan utang tahun ini, di antaranya melalui kebijakan pinjaman program dengan pelaksanaan fleksibel sesuai kondisi pasar, kebutuhan dana, dan ketersediaan kas APBN.