Hampir tiga bulan lonjakan harga minyak goreng melesat tanpa kendali dan berkontribusi besar terhadap inflasi. Pemerintah juga tidak bersikap seperti biasanya dalam mengendalikan harga minyak goreng.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Hampir tiga bulan, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali. Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, tidak bersikap seperti biasanya untuk mengendalikan harganya. Ada apa?
Saat ini, harga minyak goreng tembus di kisaran Rp 18.000 per liter-Rp 20.000 per liter, tergantung dari jenis dan daerah perdagangannya. Andilnya terhadap inflasi kelompok pengeluaran makanan dan minuman pada Oktober 2021 sebesar 0,05 persen lantas meningkat menjadi 0,08 persen pada November 2021.
Dulu, begitu harga melonjak tinggi, operasi pasar segera digelar dengan menyediakan minyak goreng sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Namun, kali ini yang pertama kali dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) bukan operasi pasar. Kemendag justru menyediakan 11 juta liter minyak goreng kemasan dengan harga terjangkau Rp 14.000 per liter. Itu pun terbatas hanya di 45.000 gerai ritel modern.
Pasar tradisional atau rakyat tak tersentuh sama sekali. Padahal, masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbiasa membeli minyak goreng di pasar-pasar terdekat.
Dari 5,06 juta ton total kebutuhan minyak goreng secara nasional per tahun, kebutuhan minyak goreng curah rumah tangga sebanyak 2,12 juta ton, serta UMKM dan industri kecil menengah (IKM) per 1,61 juta ton. Berdasarkan pertimbangan ini pula, Kemendag mencabut aturan minyak goreng wajib kemasan sehingga minyak goreng curah masih bisa diperdagangkan.
Hampir tiga bulan, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali dan berkontribusi besar terhadap inflasi.
Baru sekitar sebulan kemudian, Kemendag memutuskan menggelar operasi pasar minyak goreng secara lebih masif bekerja sama dengan pemerintah daerah. Pasar tradisional juga disasar. Operasi pasar itu berjalan berbarengan dengan penyediaan minyak goreng harga terjangkau di gerai-gerai ritel modern.
Fakta lainnya adalah HET minyak goreng yang dipatok Rp 11.000 per liter tidak bisa menjadi acuan pengendalian kenaikan harga. Kemendag beralasan, HET itu ditentukan ketika harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global 600 dollar AS per ton.
Saat harga minyak goreng melejit sejak tiga bulan terakhir, harga CPO global selalu pada rentang 1.000 dollar AS per ton-1.350 dollar AS per ton. Dengan pertimbangan itu, HET tersebut tidak digunakan. Hingga kini belum ada tanda-tanda dibuatnya HET baru. Ada kemungkinan pemerintah tengah menunggu harga CPO dunia relatif stabil atau berada di titik keseimbangan baru.
Opsi pengendalian
Tak cukup hanya itu. Kemendag memunculkan rencana mengendalikan lonjakan harga minyak goreng menggunakan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Pasal 11 Ayat (2) dan (3).
Dana yang dibutuhkan diperkirakan Rp 200 miliar per tahun. Meski begitu, setelah disetujui, kebijakan ini tidak akan berlaku permanen. Langkah itu juga di luar kebiasaan Kemendag dan baru pertama kali terjadi dalam sejarah minyak goreng Indonesia dan sejak dibentuknya BPDPKS pada 2015.
Pada 2000-an, pemerintah pernah mengendalikan harga minyak goreng menggunakan mekanisme alokasi untuk kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO). Waktu itu, DMO diterapkan untuk mengatasi kekurangan stok CPO yang merupakan bahan baku utama minyak goreng di dalam negeri.
Dalam konteks sekarang, stok CPO masih cukup, tetapi harganya melonjak akibat siklus super (supercycle) komoditas dan program B30. Kemendag tidak dapat menerapkan kebijakan DMO penuh yang mencakup penentuan kuota dan harga CPO untuk kebutuhan domestik. Hal ini lantaran eksportir CPO sudah dikenai bea keluar dan pungutan ekspor yang saat ini masing-masing sebesar 183 dollar AS per ton dan 175 dollar AS per ton.
Sejumlah kalangan, termasuk anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, menganggap pemerintah tidak tegas mengintervensi kenaikan harga minyak goreng. Pemerintah dinilai ragu dan kurang berani mengintervensi karena lebih mengedepankan produsen-produsen besar industri itu ketimbang perlindungan konsumen.
Memang, selama ini masih banyak produsen minyak goreng yang belum terintegrasi dengan industri CPO. Hal ini membuat mereka membeli CPO berdasarkan harga lelang yang mengacu pada harga CPO global. Faktor inilah yang membuat harga minyak goreng di dalam negeri melonjak tinggi.
Tak mungkin jika produsen minyak goreng ditekan untuk menurunkan harga produknya karena mereka bisa merugi. Tak mungkin juga jika pemerintah mengintervensi harga CPO global karena pembentukan harganya merupakan mekanisme pasar.
DMO penuh sebenarnya bisa dilakukan, tetapi agaknya pemerintah tidak mau ekspor CPO dan produk turunannya, serta program B30 terganggu. Di sisi lain, DMO ini susah diawasi sehingga rawan disalahgunakan serta berpotensi membuat subsidi program biofuel membengkak.
Kendali ada di tangan pemerintah. Ingat, konsumen minyak goreng di dalam negeri sangat besar, rumah tangga miskin dan UMKM/IKM mendominasi kebutuhan minyak goreng.
Tidak mengherankan jika pemerintah lebih memilih menggunakan dana kelolaan sawit. Dasar hukumnya ada. Dana itu juga hasil dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya. Produsen CPO dan minyak goreng bisa tetap untung.
Masyarakat juga bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari Rp 14.000 per liter atau bahkan sesuai dengan HET. Di sisi lain, kebijakan itu akan mengurangi porsi pemanfaatan dana kelolaan sawit untuk peremajaan kelapa sawit petani, hilirisasi, dan program B30.
Kendali ada di tangan pemerintah. Ingat, konsumen minyak goreng di dalam negeri sangat besar, rumah tangga miskin dan UMKM/IKM mendominasi kebutuhan minyak goreng. Kini berpulang pada pemerintah, akan mengendalikan atau justru dikendalikan lonjakan harga minyak goreng.