Ironi besar. Pada saat negara sedang kesulitan finansial, negara harus menanggung beban ganda menanggulangi musibah dan memulihkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang liar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
DOKUMENTASI TIM DAMKAR PT RESTORASI EKOSISTEM
Kebakaran di lokasi tambang minyak liar dalam konsesi hutan tanaman industri PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, sulit dipadamkan karena sumber air dalam sungai terdekat telah dicemari minyak mentah. Upaya pemadaman hingga Minggu (19/9/2021) diupayakan lewat udara (water bombing).
JAMBI, KOMPAS — Pakar lingkungan dan migas sepakat tambang minyak ilegal harus ditutup tanpa terkecuali. Selain melanggar hukum dan juga hasilnya hanya dinikmati segelintir orang, beban lingkungan terlalu besar hingga berdampak pada generasi ke depan.
”Tambang minyak ilegal harus ditutup. Kerusakan lingkungan yang timbul butuh biaya terlalu besar untuk memulihkannya. Kejahatan lingkungan ini juga berdampak merugikan antargenerasi,” ujar Halilul Khairi, Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kemendagri, dalam diskusi virtual tambang minyak ilegal yang diselenggarakan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, Jumat (5/11/2021).
Halilul menyebut ada ironi besar di saat negara sedang mengalami kesulitan finansial, kini harus menanggung beban ganda untuk pemulihan dari dampak aktivitas tambang liar itu.
Ngatijan, tenaga ahli Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, menambahkan, aktivitas liar itu mengganggu kegiatan pada pemangku wilayah. Pemegang konsesi resmi kesulitan mengakses wilayah kerjanya karena digerogoti tambang liar. Mereka juga tidak bisa melakukan pemeliharaan atas aset-aset negara.
Aktivitas tambang minyak ilegal kian masif merambah Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifudin atau Tahura Senami di Kabupaten Batanghari, Jambi. Enam bulan terakhir, areal rambahannya bahkan meluas tiga kali lipat. Tampak aktivitas ilegal itu berjalan di tengah pantauan udara Kompas bersama tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu (2/11/2019).
Selanjutnya, ketika terjadi musibah atau kecelakaan kerja akibat tambang liar, beban penanggulangan dan pemulihannya harus ditanggung banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, aparat, hingga pemegang konsesi. ”Ujung-ujungnya semua kena getahnya untuk membenahi,” ucapnya.
Daya rusak dari sumur tambang ilegal juga tidak dapat diprediksi. Karena tidak memiliki izin lingkungan sehingga tidak ada pula analisis dampak lingkungannya. Saat terjadi musibah, para pihak kesulitan menanggulangi. Dana pemulihannya juga tidak ada dalam anggaran.
Daya rusaknya jauh lebih masif. Biaya pemulihannya tinggi, siapa yang mau menanggungnya?
Untuk memulihkan lingkungan yang tercemar akibat tambang minyak liar di wilayah Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Kabupaten Batanghari, katanya, diperkirakan biaya pemulihan mencapai Rp 6 triliun. Nilai tersebut sangat besar, lebih mahal ketimbang hasil dan manfaat yang didapatkan masyarakat.
”Daya rusaknya jauh lebih masif. Biaya pemulihannya tinggi, siapa yang mau menanggungnya?” ujarnya. Karena itu, lanjutnya, tambang minyak ilegal harus tegas ditutup di seluruh wilayah.
KOMPAS/irma tambunan
Tim Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat Jambi berupaya menutup sumur tambang minyak ilegal di Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, awal November lalu.
Adapun rencana pemerintah pusat untuk mengakomodasikan tuntutan di bawah dapat tetap berproses. Payung hukum baru diterapkan lewat peraturan presiden dan peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dua opsi dimungkinkan, yakni dibentuk badan usaha milik daerah (BUMD) untuk mengajukan permohonan langsung kepada menteri, atau BUMD mengajukan permohonan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terlebih dulu.
Ngatijan mencatat hingga Oktober 2020 ada sekitar 4.500 sumur minyak ilegal di Aceh, Sumatera Utara, Jambi, dan Sumatera Selatan. Hasil tambangnya minimal 2.500 barel minyak per hari.
Jumlah itu diperkirakan bertambah pesat pada 2021. Itu belum termasuk industri hilir yang mengolah minyak hasil tambang liar. Karena itu, ia pun mendorong sektor hilir minyak ilegal harus diberantas.
Kepala Subdirektorat Penanganan Pengaduan Lingkungan hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan Beny Bastiawan mengatakan, ada banyak pasal yang dapat dikaitkan sebagai pelanggaran dari aktivitas tambang minyak ilegal. Mulai dari tercemarnya air permukaan, baik sungai, danau, maupun air tanah, hingga merusak sistem alur sungai.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kebakaran akibat praktik tambang minyak ilegal menghanguskan vegetasi dalam hutan negara yang dikelola PT Agronusa Alam Sejahtera di Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Perlu langkah cepat dan terpadu agar kerusakan teratasi. Tampak sungai yang tercemar minyak, Selasa (21/9/2021).
Selain itu, terjadi kerusakan tanah sehingga tanah menjadi tak produktif. Aktivitas itu juga merusak ekosistem hutan dan menurunkan fungsinya sebagai penjaga plasma nutfah dan pemerangkap karbon. Pencemaran udara yang timbul dari kebakaran di lokasi tambang juga sangat membahayakan.
Terkait dengan penanganan hukumnya, lanjut Beny, aparat dapat menggunakan sejumlah pasal. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang dilarang melakukan dumping limbah ke lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 159 PP No 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Hidup juga mengatur setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memibulkan pencemaran air.
Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, pemberantasan tambang minyak ilegal menuai tantangan lebih besar. Itu karena, kata Halilul, pemerintah daerah tak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban. Kewenangan tersebut sudah tersentralisasi.