Presidensi G-20 Indonesia Bakal Hadapi Sejumlah Tantangan
Masih banyak pekerjaan rumah dari presidensi G-20 Italia yang perlu dirampungkan Indonesia. Masih banyak pula tantangan di dalam negeri untuk menjawab dan merealisasikan pilar atau agenda utama presidensi G-20 Indonesia.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Mulai 1 Desember 2021 hingga 31 Oktober 2022, Indonesia akan menjadi presidensi negara-negara yang tergabung dalam G-20. Tak sekadar menjadi penanggung jawab dan tempat digelarnya sejumlah rangkaian pertemuan G-20, Indonesia akan memimpin Group of Twenty mewujudkan misi ”Recover Together, Recover Stronger”.
Masih banyak pekerjaan rumah dari presidensi G-20 Italia yang perlu dirampungkan di era kepemimpinan G-20 Indonesia. Masih banyak pula tantangan di dalam negeri untuk menjawab dan merealisasikan pilar atau agenda utama presidensi G-20 Indonesia dalam rangka pemulihan ekonomi akibat imbas pandemi Covid-19.
Kelima agenda utama itu adalah peningkatan produktivitas, meningkatkan daya tahan dan stabilitas ekonomi, menjamin pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, menciptakan lingkungan kondusif dan kemitraan, serta mewujudkan kepemimpinan kolektif global.
Chair C20 Indonesia Sugeng Bahagijo mengatakan, meskipun G-20 memiliki mekanisme konsensus atau kesepakatan seluruh anggota negara dalam proses pembuatan kebijakan, presidensi Indonesia tetap bernilai strategis. Indonesia juga bisa turut menentukan arah kebijakan global.
”Kepemimpinan Indonesia pada 2022 dapat memperkuat kerja sama Utara-Selatan, terutama terkait kesediaan negara-negara maju untuk menyediakan 100 miliar-150 miliar dollar AS per tahun untuk adaptasi dan transisi ekonomi di negara-negara berkembang dan miskin,” kata Sugeng melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (2/11/2021) malam.
Presidensi Indonesia tetap bernilai strategis. Indonesia juga bisa turut menentukan arah kebijakan global.
C20 merupakan wadah aspirasi masyarakat yang terdiri dari beragam organisasi masyarakat sipil nasional dan internasional yang bergerak di berbagai sektor. C20 bertujuan membawa suara-suara publik ke atas meja negosiasi sebagai agenda yang dibahas dalam pertemuan G-20.
C20 Indonesia juga melihat masih ada pekerjaan rumah besar dari presidensi G-20 Italia yang perlu diperjuangkan kembali oleh Indonesia. Salah satunya adalah belum tercapainya kesepakatan mewujudkan akses vaksin global yang berkeadilan melalui proposal pengabaian perlindungan hak kekayaan intelektual (TRIPS Waiver) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Chair Working Group Akses Vaksin dan Kesehatan Global C20 Indonesia Agung Prakoso menuturkan, G-20 terkesan menutup mata terkait persoalan tersebut. Padahal, hak kekayaan intelektual menjadi hambatan dan akar masalah ketimpangan akses vaksin dan obat-obatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19.
Padahal, akses seluruh negara, baik negara miskin maupun maju, terhadap vaksin adalah kunci masyarakat dunia untuk segera keluar dari pandemi dari krisis ekonomi. ”Komitmen terhadap TRIPS Waiver menjadi pekerjaan rumah bagi presidensi G-20 Indonesia tahun depan. Apalagi Presiden Joko Widodo juga sempat meminta negara-negara G-20 mendukung proposal TRIPS Waiver,” katanya.
Komitmen terhadap TRIPS Waiver menjadi pekerjaan rumah bagi presidensi G-20 Indonesia tahun depan.
Selain itu, isu energi dan perubahan iklim, serta komitmen pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 juga menjadi tantangan besar bagi presidensi G-20 Indonesia. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Roma, Italia, belum mencapai kesepakatan tentang tanggal spesifik rencana menghentikan pembiayaan investasi batubara dan menjaga suhu global 1,5 derajat celsius.
Adapun terkait SDGs, C2O mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang mendorong negara-negara G-20 untuk mempercepat pencapaian SDGs melalui tiga langkah konkret. Pertama, inisiatif penangguhan utang (debt service suspension) dan tambahan alokasi hak penarikan khusus (special drawing rights/SDR) senilai 650 miliar dollar AS.
Kedua, memperkuat kemitraan global untuk membantu pendanaan dan akses teknologi bagi negara berkembang. Ketiga, meningkatkan kemampuan adaptasi dan ketangguhan terhadap guncangan dan ketidakpastian masa depan, terutama di sektor kesehatan, kapasitas fiskal, serta kapasitas perencanaan dan implementasi pembangunan.
C20 juga akan memastikan agar kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, kelompok muda, dan pekerja migran, mampu menyuarakan kepentingannya dalam forum G-20. ”Hal ini untuk memastikan no one left behind dalam proses pemulihan pascapandemi Covid-19,” kata Mike Verawati, Chair Working Group Kesetaraan Gender C20 Indonesia.
Sementara itu, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Faradina Alifia Maizar, berpendapat, untuk mewujudkan lima pilar ”Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah di dalam negeri. Namun, hal ini justru menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi domestik itu.
Dalam pilar atau agenda utama peningkatan produktivitas, misalnya, Indonesia masih kurang optimal dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja. Padahal, produktivitas merupakan syarat untuk meningkatkan output industri dan juga kesejahteraan pekerja.
”Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada 2019 berada di level 24.425 dollar AS per tenaga kerja. Indonesia berada di peringkat tiga terbawah dari negara-negara anggota G-20 atau hanya lebih baik dibandingkan dengan Italia dan India,” ujarnya.
Indonesia masih kurang optimal dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja. Padahal, produktivitas merupakan syarat untuk meningkatkan output industri dan juga kesejahteraan pekerja.
Menurut Faradina, Indonesia sebenarnya mempunyai modal bagus karena memiliki produktivitas multifaktor (total factor productivity/TFP) tertinggi selama sepuluh tahun terakhir, yaitu 2,04 persen, dibandingkan negara-negara anggota G-20 lain. Ini merupakan indikasi yang baik bahwa Indonesia berada di jalur tepat dalam perbaikan produktivitas.
Pekerjaan rumahnya adalah tinggal bagaimana Indonesia menyalurkan atau mengimplementasikan pertumbuhan TFP itu ke peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kesejahteraan pekerja.
Selain itu, lanjut Faradina, tingkat pengangguran RI per Februari 2021 berada di peringkat kelima dari negara-negara G-20. Hal ini juga menjadi modal positif bagi Indonesia untuk terus menekan tingkat pengangguran yang semakin bertambah akibat imbas pandemi Covid-19.
Dua hal yang perlu mendapat perhatian di sektor itu adalah meningkatkan porsi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengurangi jumlah pekerja informal yang semakin bertambah akibat pandemi sehingga semakin mendominasi struktur ketenagakerjaan Indonesia.
”Tingkat pengangguran terbuka bagi populasi muda juga masih cukup tinggi, yakni mencapai 20,46 persen. Artinya, dari 100 angkatan kerja muda, ada sekitar 20 orang yang menganggur. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan investasi dan pendidikan, serta menggarap sektor ketenagakerjaan lebih optimal,” katanya.