Dekarbonisasi Energi Perlu Gebrakan Kebijakan yang Konsisten
Dekarbonisasi energi membutuhkan gebrakan kebijakan yang konsisten dijalankan dalam jangka panjang. Sejumlah kebijakan yang terkait dengan upaya dekarbonisasi dinilai belum memadai.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengejar dekarbonisasi atau emisi nol di sektor energi membutuhkan kebijakan baru pemerintah yang konsisten dijalankan dalam jangka panjang. Selain itu, dekarbonisasi energi juga memerlukan inovasi dan pemanfaatan teknologi rendah karbon.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat dihubungi, Sabtu (25/9/2021), di Jakarta, berpendapat, beberapa kebijakan yang berkorelasi dengan upaya dekarbonisasi belum memadai. Dia mencontohkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Bauran energi pada tahun 2050, sesuai dua kebijakan tersebut, masih dominan energi fosil, yaitu 69 persen, sementara energi terbarukan hanya 31 persen. Padahal, untuk mencapai dekarbonisasi dan emisi karbon nol pada tahun 2050 atau 2060, bauran energi terbarukan dari berbagai jenis/sumber harus dominan atau bahkan 100 persen dalam pandangan IESR.
Oleh karena itu, dia menilai perlu perubahan KEN atau RUEN yang selaras dengan tujuan penurunan emisi dan pemanfaatan sumber energi terbarukan serta jaminan keamanan pasokan energi.
Dalam kajian IESR bertajuk ”Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emission by 2050” (Mei 2021), konsumsi energi, baik untuk layanan listrik, transportasi, maupun industri, sebesar 8500 kWh per kapita memerlukan pembangkit listrik setara 1600 GW. Dengan kebutuhan ini, seluruh potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia harus dioptimalkan pemanfaataannya.
Surya menjadi sumber energi terbarukan terbesar. Maka, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa mencapai 88 persen dari total pangsa pembangkit tahun 2050, diikuti oleh tenaga air sebesar 6 persen, panas bumi 5 persen, dan energi terbarukan lain 1 persen. Pangsa PLTS yang mencapai 88 persen ini setara dengan 1.492 GW kapasitas terpasang PLTS dengan total kebutuhan 2,5 persen lahan (tidak termasuk hutan dan air) negara. Kebutuhan lahan ini relatif kecil dibandingkan dengan perkebunan untuk biofuel yang mencapai 6,4 persen.
Keekonomian energi terbarukan, seperti surya dan angin, sudah bisa bersaing dengan energi fosil. Akan tetapi, Fabby menilai, masih ada sikap pemerintah yang membuat energi fosil terkesan lebih murah, seperti kebijakan subsidi energi fosil. Menurut dia, pemerintah perlu lebih berani mencabut subsidi tersebut.
Pembuatan RUEN baru dengan basis penurunan emisi karbon dinilai perlu mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada.
Pembuatan RUEN baru dengan basis penurunan emisi karbon dinilai perlu mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada. Fabby menyebut pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa rencana pemanfaatan teknologi, tetapi dia berharap rencana itu harus mempertimbangkan kecepatan inovasi pada setiap teknologi rendah karbon di dunia.
”Kami rasa perlu juga mempertimbangkan bagaimana harga teknologi rendah karbon ini hingga 2050/2060 mendatang. Oleh karena itu, kebijakan energi, khususnya yang berkaitan dengan harga, harus mempertimbangkan jangka panjang. Apa yang murah hari ini bisa saja terjadi distorsi pasar sehingga berpotensi terjadi kenaikan harga masa mendatang,” imbuhnya.
Sementara itu, saat sesi pelatihan media ”Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya” yang diselenggarakan oleh Pamerindo Indonesia serta Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Sekretaris Jenderal Aspermigas Moshe Rizal menilai, target emisi karbon nol merupakan perjalanan panjang. Indonesia sekarang masih harus berkutat pada target pemenuhan kebutuhan minyak dan gas sampai 2030 yang sudah dibuat pemerintah terlebih dulu.
Terkait panas bumi, Indonesia memiliki potensi sebesar 23.965,5 megawatt (MW), tetapi pemanfaatannya untuk pembangkit listrik baru mencapai 8,9 persen atau 2.130,7 MW. Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Eko Budi Lelono, pemerintah telah memiliki sembilan strategi percepatan khusus pengembangan panas bumi.
Strategi percepatan itu, misalnya, melalui skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP). Skema telah disiapkan, seperti pengurangan Pajak Penghasilan dan fasilitas bea masuk.
Strategi lain, optimalisasi sumber daya panas bumi pada wilayah kerja panas bumi (WKP) yang telah berproduksi dengan pengembangan pembangkit skala kecil. Lalu, kementerian bersinergi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola isu sosial dan resistensi dalam pengembangan panas bumi.
Pemerintah telah memutuskan untuk mengeksplorasi panas bumi hingga pengeboran dalam rangka peningkatan kualitas data wilayah panas bumi yang akan ditawarkan kepada badan usaha.
”Pemerintah melaksanakan eksplorasi panas bumi melalui penambahan data geosains, pembangunan infrastruktur, dan pengeboran tiga sumur eksplorasi sepanjang 2020-2024 di 20 lokasi. Ini diperkuat dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2021 pada 22 Januari 2021,” katanya.
Dia juga menyebut strategi penciptaan permintaan tinggi, yakni di daerah yang memiliki sumber daya panas bumi, tetapi permintaannya masih rendah. Adapun strategi terakhir adalah studi gabungan dengan sesama pemangku kepentingan di industri panas bumi.
Vice Chairman Jakarta Drilling Society Ashadi percaya bahwa panas bumi punya andil mendukung emisi karbon nol. Salah satu gebrakan pemerintah yang dia apresiasi adalah government drilling atau pemerintah melakukan eksplorasi hingga pengeboran panas bumi. Kebijakan ini menurunkan risiko pengembang dan investor. Sejumlah insentif itu baru akan dirasakan manfaatnya, seperti kecukupan suplai panas bumi untuk pembangkit listrik, pada masa mendatang.
”Drilling cost bisa mencapai 30-60 persen. Saat melakukan eksplorasi dan pengeboran panas bumi, pengembang swasta belum tentu mendapatkan (hasil) sesuai keinginan. Ini risiko bagi investasi dan banyak investor akhirnya menilai indikator tingkat efisiensi dari sebuah investasi (internal rate of return/IRR) panas bumi hanya berkisar 7-12 persen,” ujarnya.
Guna mengoptimalkan potensi panas bumi sebagai bagian sumber daya energi terbarukan, Ashadi menilai perlu memanfaatkan teknologi terbaru, misalnya teknologi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) modular. Teknologi ini memungkinkan pengembangan panas bumi untuk pembangkit listrik yang awalnya 5-7 tahun berkurang jadi 2-3 tahun.