Pandemi Menjadi Tantangan Sektor Transportasi untuk Bertahan
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari 1,5 tahun menyebabkan sektor transportasi Indonesia menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Semua moda transportasi menghadapi tantangan untuk bertahan.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari 1,5 tahun menyebabkan sektor transportasi Indonesia menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Kontraksi atau laju penurunan sektor transportasi mencapai 15,04 persen.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam sebuah webinar pekan lalu mengatakan, ”Covid-19 tidak akan hilang dalam waktu dekat ini. Kita harus berpikir bahwa masyarakat harus siap hidup berdampingan dengan virus tersebut.”
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melakukan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam bermobilitas. Di antaranya, perbaikan regulasi, pengendalian transportasi, dan penerapan protokol kesehatan dalam bertransportasi. Kebijakan yang diambil diarahkan untuk memprioritaskan kesehatan dan pada saat yang sama, juga memperhatikan keseimbangan kepentingan konsumen dan perusahaan transportasi.
Tujuannya tentu agar masyarakat tetap bisa bertransportasi dengan nyaman, aman, dan sehat. Di sisi lain, perusahaan transportasi juga bisa tetap bertahan dan beroperasi di masa pandemi ini dengan sejumlah aturan protokol kesehatan.
”Yang tidak boleh kita lupakan, infrastruktur transportasi adalah bekal masa depan yang akan sangat dibutuhkan Indonesia untuk meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karenanya, meskipun situasi pandemi, pembangunan proyek strategis harus tetap berjalan,” kata Budi.
Tentu saja, hal itu menjadi tantangan tersendiri di tengah pembatasan protokol kesehatan yang harus dilakukan.
Dampak riil
Pandemi mengakibatkan berbagai dampak riil di sejumlah sektor, mulai dari menjamurnya angkutan plat hitam ilegal hingga runtuhnya jasa penerbangan. Disrupsi sektor transportasi pun menjadi membutuhkan diskresi tersendiri dalam menentukan kebijakan.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi mengatakan, ”Saat ini terjadi semacam disrupsi sektor transportasi, di antaranya, transportasi berbasis online atau angkutan sewa khusus dan ojek online. Angkutan ini sudah melibatkan jutaan mitra transportasi yang bergabung dalam berbagai aplikasi, seperti Gojek ataupun Grab.”
Karena itulah, Kementerian Perhubungan membuat Peraturan Menteri Perhubungan yang sifatnya diskresi untuk memayungi sementara transportasi daring ini. Pengaturan menyangkut aspek keselamatan, kenyamanan, tarif, dan aspek lainnya.
Disrupsi lain adalah kemunculan begitu banyak angkutan ilegal atau dikenal travel gelap. Kemenhub melakukan elaborasi mencari akar permasalahannya. Travel gelap antar-kota terlihat dari rute-rute kota besar hingga rute kota-kota pinggiran.
”Kita sedang melakukan kajian. Nantinya, apakah angkutan ilegal ini akan dilakukan tindakan hukum dengan tegas? Atau kemudian, apabila (travel gelap) ini menjadi ekspektasi atau perubahan perilaku masyarakat, kita mengakomodasi saja. Tentunya, kita menekankan level pelayanan yang sama dengan angkutan umum sehingga penggunaan angkutan dibatasi,” ujar Budi.
Jangan sampai, kata Budi, misalnya mobil minibus semacam Luxio yang berkapasitas mesin 1.300 cc juga akan melayani dengan durasi perjalanan 5-6 jam. Kenyamanan yang diberikan tentu perlu dipertanyakan.
Selain itu, Ditjen Perhubungan Darat juga mencermati pembangunan berbasis infrastruktur dalam penyiapan prasarana dan sarana transportasi tetap dituntaskan. Konektivitas tidak hanya menyangkut pergerakan orang dan barang, tetapi juga aspek integritas mempersatukan Indonesia melalui sektor transportasi.
Kondisi sektor transportasi masih terdapat perilaku buruk dalam pemanfaatan angkutan umum. Selain melanggar regulasi, angkutan umum itu membahayakan penggunanya. Banyak pengguna sepeda motor maupun mobil mengabaikan aspek keselamatan. Misalnya, saat pulang sekolah, kurangnya armada angkutan umum membuat penumpang berjejal di dalam kabin kendaraan, bahkan menumpang di atap kendaraan seperti banyak terjadi di daerah-daerah.
Dari data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2019, Indonesia menempati posisi ke-8 tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kematian mencapai 12,2 dari 100.000 populasi.
”Tidak hanya jumlahnya, tetapi juga tingkat fatalitas kecelakaannya. Data di Korlantas Polri, sebesar 75 persen kecelakaan diakibatkan maupun berakibat pada sepeda motor,” ujar Budi.
Terkait keberadaan travel gelap, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, angkutan plat hitam diduga melecehkan institusi negara. Sebab, beberapa temuan di lapangan, sejumlah angkutan itu juga menempelkan stiker bertuliskan ”Sinergitas TNI Polri dan Dishub Nusantara” di bagian kaca belakang mobil. Pemasangan itu seolah menjadi jaminan untuk lolos dari pengecekan dan penyekatan di masa pandemi.
Maraknya angkutan umum berplat hitam itu merupakan kebutuhan perjalanan yang tidak dapat diakomodasi oleh layanan angkutan umum resmi atau legal. Sebagian masyarakat yang beraktivitas di kawasan Jabodetabek yang berasal dari pedesaan memanfaatkannya.
”Tentunya, maraknya bisnis travel gelap ini membuat gemas dan resah kalangan pengusaha angkutan umum resmi. Di satu sisi, angkutan umum resmi diminta taat regulasi, sementara di lain sisi, ada ’angkutan umum’ yang tidak taat regulasi dibiarkan tanpa ada tindakan tegas,” ujar Djoko.
Penumpang kereta
Dirjen Perkeretaapian Zulfikri mengatakan, pembatasan sektor transportasi juga berdampak pada sektor perkeretaapian. Dibandingkan sebelum pandemi, penurunan penumpang terjadi baik penumpang antar-kota maupun dalam kota. Penumpang antar-kota menurun hampir 80 persen, sedangkan penumpang dalam kota sebesar 60-70 persen.
”Yang kita lakukan terkait pandemi dengan pelayanan perkeretaapian seperti sesuatu bersifat paradoks. Di satu sisi, pembatasan dilakukan untuk mengatasi pandemi. Sementara Kementerian Perhubungan mencoba memfasilitasi pergerakan,” ujar Zulfikri.
Strategi sektor perkeretaapian dinilai tetap diperlukan agar perkeretapian bisa menjadi urat nadi perekonomian nasional dan bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat. Selain kapasitas angkut dibatasi, Ditjen Perkeretaapian juga mengatur jam operasionalnya selama masa pandemi untuk menekan mobilitas masyarakat.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto menjelaskan, salah satu dampak negatif transportasi udara adalah diistirahatkannya pesawat-pesawat udara akibat penurunan penumpang. Ini sebagai dampak lanjutan pembatasan perjalanan antar-negara ataupun domestik.
”Fenomena ini membuat aspek finansial menjadi fokus pelaku usaha di bidang transportasi, khususnya transportasi udara, agar bisa bertahan di tengah situasi pandemi dan tetap menjaga keselamatan penerbangan,” ujar Novie.
Ditjen Perhubungan Udara memahami situasi ini. Evaluasi maksimal terus dilakukan dengan melibatkan teknologi informasi terkini, serta praktik terbaikyang berlaku secara internasional, tanpa mengurangi level keselamatan dalam mengupayakan ataupun mencari solusi-solusi inovatif terhadap pengawasan, pengendalian, relaksasi atau exemption kepada pelaku usaha transportasi.
Sejak awal pandemi, kata Novie, sebanyak 35 surat edaran keselamatan telah diterbitkan yang berisikan relaksasi ketentuan-ketentuan terkait awak pesawat, pesawat udara, penumpang dan operasional pesawat, sehingga pelaku usaha moda transportasi udara diharapkan dapat terus bertahan dengan mengedepankan keselamatan penerbangan. (OSA)