Bisnis Mode dalam Lingkup Ekonomi Sirkular
Di tengah pandemi, semakin banyak desainer dan produsen mode yang berkarya sekaligus berkontribusi dalam ekonomi sirkular. Mereka meminimalkan limbah kain atau menerapkan daur ulang dalam karyanya.
Sejumlah desainer mode di tanah air ambil bagian dalam ekonomi sirkular. Mereka berkreasi dengan rancangan busana yang meminimalkan limbah kain. Ada juga yang menerapkan prinsip daur ulang dalam kar Produk dengan misi berwawasan lingkungan ini menjangkau konsumen baru maupun pelanggan lama.
Tak sulit mengenali busana rancangan Caroline Siahaan. Ada kekhasan pada permainan potongan asimetris berlapis, perpaduan warna, dan motif kain yang menyatu selaras. Dengan pendekatan desain itu, karyanya cukup digemari kalangan pekerja yang ingin tampil modis selama beraktivitas kerja seharian.
"Aku mengagumi rancangan Biyan. Namun, entah mengapa setiap kali menggambar rancangan pakaian, gayaku selalu cenderung mengarah ke desain edgy. Akhirnya, pendekatan itulah yang sekarang tetap kupakai dan jadi ciri rancanganku," ujar dia. Di dunia mode istilah edgy kerap dimaknai sebagai gaya berbusana yang tak biasa atau bukan konvensional.
Pakaian berlabel Oline Workrobe mulanya dipasarkan Caroline—yang akrab disapa Oline—ini di toko ritel produk ekonomi kreatif terkurasi The Goods Dept. Tahun 2010 menjadi tonggak dia mulai aktif mengembangkan Oline Workrobe. Setahun kemudian, Oline memutuskan keluar dari tim desain label Monday to Sunday yang lebih dulu ia kembangkan, untuk lebih fokus membangun labelnya sendiri.
Semula, Oline belum sepenuhnya mengolah material kain sampai tidak ada sisa untuk diaplikasikan pada pakaian. Sisa material kain biasanya sebatas dimanfaatkan untuk membuat produk aksesori mode.
Ia lantas memperluas pemakaian material kain yang ramah lingkungan. Hal itu tak selalu mudah, karena berpengaruh ke harga jual pakaian jadi. Sembari itu, dia mengurangi pemakaian kain berbahan poliester.
Seiring berkembangnya tren lingkungan hijau, Oline pun kian menaruh kepedulian terhadap industri mode berkelanjutan. Ia lantas memperluas pemakaian material kain yang ramah lingkungan. Hal itu tak selalu mudah, karena berpengaruh ke harga jual pakaian jadi. Sembari itu, dia mengurangi pemakaian kain berbahan poliester.
Baca juga: Kontribusi "Slow Fashion" Selamatkan Lingkungan
Kini label Oline Workrobe juga ia pasarkan melalui platform lokapasar, selain saluran penjualan luring. Volume penjualan Oline Workrobe pernah mencapai 500 hingga 1.000 potong item per bulan. Namun, sejalan dengan kelesuan ritel dan hempasan pandemi Covid-19 ini, volume penjualannya pun tak lagi sebanyak itu.
Namun, Oline masih menemukan sisi positif dari pandemi ini. Ia semakin bijak mempergunakan material kain, termasuk stok sisa. Ia juga terus mengasah kreativitas untuk menghasilkan rancangan edgy yang tak kalah menarik untuk dipakai sehari-hari, bukan lagi sebatas busana bekerja.
Wastra nusantara
Konsep mode berkelanjutan juga diusung Neli Gunawan, pemilik serta desainer NeliYo dan Mademoiselle Yang asal Bali. Neli menerapkannya dalam produksi pakaian jadi baru dengan meminimalkan sisa kain. Ia juga mendaur ulang pakaian lama yang masih layak menjadi pakaian dengan desain baru.
Ketika bekerja dengan wastra nusantara seperti kain tenun dan batik misalnya, Neli memutar otak untuk sebisa mungkin tidak menyisakan potongan kain. Ia melakukannya juga karena mengenali wastra nusantara memiliki tingkat kesulitan pembuatan tinggi serta corak yang kaya nilai budaya.
"Jadi, aku buat rancangan gaun yang jahitannya mudah dibuka kembali, sehingga bisa digunakan menjadi sarung," ujar dia saat dihubungi Jumat (30/7/2021), dari Jakarta.
Untuk konsep daur ulang pakaian lama, Neli yang juga aktif dalam Indonesian Fashion Chamber Chapter Bali ini sudah menerima 50-100 pelanggan. Di antara mereka, ada yang datang dengan membawa pakaian jadi turun-temurun pemberian orangtua. Mereka ingin agar pakaian jadi itu bisa didaur ulang lebih menarik. Neli tentu melihat terlebih dulu kondisi materian kain dari pakaian itu. Dia mulai menekuni usaha ini tahun 2015.
Baca juga : Adaptasi Industri Tekstil di Tengah Tren Fashion Dunia
Prinsip mode berkelanjutan juga diterapkan Neli dengan memanfaatkan material kain ramah lingkungan. Misalnya, katun, rayon, sutera, dan poliester ramah lingkungan.
Pandemi Covid-19 tak luput juga memukul usaha Neli. Dia memperkirakan penurunan penjualan sebesar 50 persen. Meski begitu, ia meyakini, prospek bisnis mode berkelanjutan tetap menjanjikan pada jangka panjang.
"Lima tahun terakhir, masyarakat, seperti di Bali, sudah sadar pentingnya lingkungan berkelanjutan. Penjualan aksesori mode dari limbah kain saja sudah melebihi pakaian jadi. Kalaupun sekarang kami terdampak pandemi Covid-19, kami harus memutar otak agar bisa menghasilkan karya yang tetap bisa dijangkau warga," imbuh dia.
Pemilik dan desainer label Emmy Thee, Emmy Thee, juga gemar mengusung wastra nusantara. Gaya rancangan pakaian jadi yang ia buat kerap disebut etnik kontemporer. Ia merintis bisnis mode ini sejak 2014, tetapi baru akhir 2018 serius berusaha memproduksi pakaian dengan konsep mode berkelanjutan.
Segmen utama label Emmy Thee adalah perempuan usia awal 30 tahun dan mapan. Penjualan produk dilakukan secara luring dan daring. Untuk luring, label Emmy Thee bisa dijumpai di Alun-Alun Indonesia. Sementara penjualan daring, dia mengandalkan Instagram Live dan Shopee.
"Aku pribadi membiasakan diri gaya hidup hijau, seperti mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Dari situlah, aku berpikir apakah bisa gaya hidupku diterapkan pada karya," kata Emmy.
Para desainer kian dituntut kreatif menghasilkan karya yang sesuai dengan situasi pandemi Covid-19. Sebab, di tengah pandemi tidak berkesudahan, konsumen cenderung mengutamakan membeli produk sehari-hari.
Dalam upaya meminimalkan limbah, sejumlah rancangan Emmy menggabungkan varian kain-kain. Ada pula bahan denim yang dia daur ulang menjadi produk mode atau aksesori baru.
Sama seperti Neli, Emmy tidak khawatir dengan prospek bisnis mode yang mengusung konsep berkelanjutan, karena masyarakat semakin peduli dengan lingkungan. Hanya saja, para desainer kian dituntut kreatif menghasilkan karya yang sesuai dengan situasi pandemi Covid-19. Sebab, di tengah pandemi tidak berkesudahan, konsumen cenderung mengutamakan membeli produk sehari-hari. Kuantitas produksi pun diturunkan dan dikembangkan rancangan pakaian yang tetap bisa dipakai beraktivitas dari rumah.
"Pemerintah Indonesia membantu pelaku ekonomi kreatif agar bertahan, salah satunya memberikan pelatihan berjualan daring melalui kampanye Bangga Buatan Indonesia. Bisnis saya yang hanya terdiri sepuluh pekerja ini terbantu sekali. Saya sebelumnya belum aktif memasarkan daring," kata dia.
Limbah pakaian
Setali Indonesia juga merupakan bentuk wirausaha sosial mode berkelanjutan yang tak kalah menarik. Setali Indonesia berada dalam Yayasan Salur Indonesia. Mulanya, yayasan ini Indonesia fokus pada isu limbah pakaian. Limbah pakaian yang terkumpul bisa dikonversi ke uang dan disumbangkan. Salur Indonesia sempat bekerja sama dengan Kitabisa.com, platform daring Carousell, dan Bukalapak, serta rutin mensosialisasikan isu limbah pakaian.
Tahun 2019, sejalan dengan hasrat Andien Aisyah, salah satu pendiri Salur Indonesia, pada dunia mode, serta Intan Anggita Pratiwi yang seorang seniman, diluncurkanlah Setali Indonesia. Setali Indonesia memiliki layanan reuse, reduce, reduce, upcycle/recycle, dan repair pakaian.
Reduce ini menjadi salah satu andalan utama bisnis Setali Indonesia. Siapapun bisa menyetor pakaian bekas ke Setali Indonesia dengan cara berlangganan setahun. Warga yang berlangganan menyetor tiga kali dalam setahun, masing-masing waktu penyetoran dibatasi lima kilogram pakaian. Uang dari hasil layanan ini dipakai Setali Indonesia untuk membiayai karyawan gudang, media sosial, dan penjahit. Setiap bulan, rata-rata terdapat lima sampai sepuluh orang pelanggan baru.
Adapun layanan upcycle/recycle, menurut Intan, layanan ini sekarang berjalan dengan menggandeng tujuh orang seniman. Mereka mendaur ulang limbah pakaian menjadi pakaian baru.
"Layanan ini sifatnya mengalir. Jadi, kami susah menjawab target produksi berapa," ujarnya. Intan pun pernah melayani permintaan merancang pakaian pernikahan dengan konsep upcycle.
Setali Indonesia juga beberapa kali berkolaborasi dengan perusahaan mode skala besar. Mereka biasanya memakai Setali Indonesia untuk advokasi tema-tema mode berkelanjutan baik di kalangan internal perusahaan ataupun pelanggan mereka. Misalnya, Uniqlo dan Exsport. Dengan Nona Nara Batik, Setali Indonesia mengolah sisa potongan kain menjadi produk mode untuk dipamerkan di ajang Fashion Revolution Week 2021.
Menurut Intan, upaya lain yang ingin dikembangkan jangka panjang yaitu layanan residensi. Layanan ini sebenarnya sudah ada sekarang, tetapi akan dioptimalkan.
"Dengan layanan residensi, warga bisa menginap, menyetor limbah pakaian, belajar mode berkelanjutan, mengunjungi artist yang bergelut di ekonomi sirkular mode, dan kami layani juga daur ulang pakaian,"kata Intan.