Pengeboran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan akurasi potensi energi panas bumi yang dapat menarik investor untuk mengeksplorasi dan menindaklanjuti sehingga harga tarif listrik yang dihasilkan kompetitif.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pengeboran oleh pemerintah atau government drilling dalam eksplorasi dan pengembangan panas bumi dinilai kurang agresif. Padahal, program tersebut bertujuan untuk menarik investasi dalam pengembangan panas bumi. Panas bumi adalah salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Desember 2020, jumlah lokasi potensial sumber panas bumi di Indonesia mencapai 357 lokasi. Adapun sumber dayanya diperkirakan mencapai 23.765,5 megawatt (MW) dengan kapasitas terpasang saat ini sebesar 2.130,7 MW.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono mengatakan, terdapat dua lokasi yang menjadi obyek program pengeboran pemerintah pada 2021. “Pengeboran ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi yang dapat menarik investor untuk mengeksplorasi dan menindaklanjuti sehingga harga tarif listrik yang dihasilkan kompetitif,” katanya dalam webinar bertajuk “Potensi Sumber Daya Migas dan Panas Bumi Sebagai Penyangga Energi Masa Depan”, Rabu (11/8/2021).
Lokasi pertama yang akan dibor ada di Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dengan sumber daya panas bumi berkisar 45 MW, sedangkan rencana pengembangannya sebesar 20 MW. Lokasi kedua berada di Nage, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dengan sumber daya sekitar 39 MW dengan rencana pengembangan sebesar 20 MW.
Program pengeboran pemerintah dalam panas bumi di Indonesia terbatas ketersediaan anggaran. Sepanjang 2021-2025, terdapat 20 lokasi yang akan dibor dengan biaya dari APBN.
Menurut Eko, program pengeboran panas bumi di Indonesia terbatas dalam hal ketersediaan anggaran. Sepanjang 2021-2025, terdapat 20 lokasi yang akan dibor dengan biaya dari APBN. Dia berharap, ke depan terdapat sinergi anggaran, salah satunya dana yang bersumber dari Bank Dunia, untuk mengoptimalkan pengeboran panas bumi di Indonesia.
Di sisi lain, Komisaris Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Amien Sunaryadi menilai, target pengeboran pemerintah sebanyak itu (dua lokasi dalam setahun) memerlukan waktu yang lama untuk 357 lokasi. Dia berpendapat, idealnya pemerintah menargetkan pengeboran sebanyak 40-50 lokasi per tahun sehingga secara keseluruhan dapat selesai dalam kurun 10 tahun.
Selain itu, dia juga mengharapkan perubahan skema panas bumi di mana saat ini investor masih perlu melakukan eksplorasi, studi, dan pengeboran untuk menghasilkan uap. Sebaiknya, pemerintah yang melakukan studi, eksplorasi, dan pengeboran hingga uap ditemukan lalu dikelompokkan atau dipetakan menjadi wilayah kerja potensial ketika ditawarkan ke investor.
Dengan skema tersebut, lanjut Amien, tantangan investor dalam memperoleh pendanaan karena risiko tinggi dari aspek geologis, perizinan, dan sosial dapat berkurang. Investor bisa lebih fokus dalam produksi dan mengefisiensikan proses untuk menghasilkan listrik.
Sebaiknya, pemerintah yang melakukan studi, eksplorasi, dan pengeboran hingga uap ditemukan lalu dikelompokkan atau dipetakan menjadi wilayah kerja potensial untuk ditawarkan ke investor.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menambahkan, rasio keberhasilan dari program pengeboran pemerintah masih rendah. Rasio keberhasilan pengeboran eksplorasi panas bumi saat ini berkisar 30-50 persen dengan biaya berkisar 7-11 juta dollar AS untuk sekali pengeboran.
Padahal, imbuh Satya, program tersebut dapat mengakselerasi pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Pada 2035, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi diharapkan mencapai 9.300 MW dari total energi terbarukan yang ditargetkan sebesar 48.000 MW.
Sementara itu, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki Firmandha Ibrahim menyatakan, pendanaan menjadi tantangan karena pengembangan panas bumi berlangsung lama, yakni membutuhkan waktu sekitar 10 tahun. Pengembangan pun tak bisa dikerjakan dalam skala masif, misalnya kapasitas 100 MW ke atas.
Pada akhir Mei lalu, Geo Dipa Energi menandatangani perjanjian proyek dengan Bank Dunia serta perjanjian subsidi (subsidiary agreement) dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Perjanjian tersebut bertujuan memfasilitasi eksplorasi geotermal sebagai bagian penting dari proses investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam proses pengeborannya, Riki mengatakan, Bank Dunia menuntut hasil yang memenuhi kriteria terbukti.