Alih Kelola Blok Rokan Jadi Momentum Industri Migas Nasional
Alih kelola Blok Rokan di Riau dari Chevron ke Pertamina diharapkan menjadi momentum memaksimalkan investasi minyak dan gas nasional. Ada tantangan menaikkan produksi minyak pada blok ini.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Kompas
Pekerja memeriksa pumping unit atau pompa angguk Bukaka yang beroperasi di Lapangan Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (24/5/2016). Pompa angguk Bukaka telah diproduksi sebanyak 5.327 unit, sekitar 83 persen atau 4.400 unit beroperasi di Lapangan Duri.
JAKARTA, KOMPAS — Alih kelola Blok Rokan, Riau, dari PT Chevron Pacific Indonesia ke PT Pertamina (Persero), menjadi momentum untuk memaksimalkan investasi pada industri minyak dan gas bumi di dalam negeri. Untuk mencegah produksi menurun lebih dalam, metode pengurasan minyak tingkat lanjut perlu diterapkan di Blok Rokan.
Dikelola sejak 1941 oleh Chevron, yang kala itu bernama Caltex, kontrak Blok Rokan berakhir pada 8 Agustus 2021. Pada 31 Juli 2018, pemerintah memberikan hak kelola secara penuh Blok Rokan ke Pertamina terhitung mulai 9 Agustus 2021. Anak usaha Pertamina, yakni PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), ditunjuk sebagai operator. Dalam 50 tahun terakhir, Blok Rokan telah menghasilkan minyak hampir 12 miliar barel.
Menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, alih kelola blok strategis seperti Rokan harus jadi momentum bagi pemerintah dan Pertamina untuk memaksimalkan investasi migas di dalam negeri. Investasi migas harus berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, termasuk berdampak ganda bagi perekonomian lokal.
”Diharapkan setelah dipegang BUMN (Pertamina), investasi migas dalam negeri harus berdampak ganda. Pemerintah juga sebaiknya mendukung penuh dengan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal,” ujarnya, Minggu (8/8/2021), di Jakarta.
Alih kelola blok strategis seperti Rokan harus jadi momentum bagi pemerintah dan Pertamina untuk memaksimalkan investasi migas di dalam negeri.
Tugas Pertamina lainnya, lanjut Pri Agung, adalah bagaimana mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi minyak Blok Rokan. Jika berfokus pada mempertahankan produksi, sumur pengembangan mesti diperbanyak. Namun, jika hendak meningkatkan produksi, metode pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR) harus diterapkan. Dia memperkirakan, penerapan EOR di Blok Rokan dapat meningkatkan produksi minyak sebesar 20-30 persen.
Sepanjang Agustus-Desember 2021, PHR dijadwalkan mengebor 161 sumur. Sebanyak 77 sumur di antaranya merupakan rencana Chevron yang sekaligus diserahterimakan ke PHR. Untuk mendukung aktivitas pengeboran, sebanyak 291 kontrak telah diperpanjang. Selain itu, PHR juga menyiapkan 264 kontrak yang melibatkan sekitar 690 vendor lokal.
”Kami berupaya maksimal untuk mempertahankan dan melakukan aktivitas operasi yang masif guna meningkatkan produksi migas sehingga dapat memenuhi target nasional sebanyak 1 juta barel (minyak per hari) pada 2030,” kata Direktur Utama Pertamina Hulu Rokan Jaffee A Suardin melalui siaran pers, Sabtu (7/8) malam.
Persoalan lain yang disoroti anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, ialah proses transfer data penelitian dan pengembangan EOR dari Chevron yang diperkirakan dapat meningkatkan produksi dalam waktu dua tahun. Tanpa hasil riset itu, PHR bisa kesulitan untuk meningkatkan produksi minyak Blok Rokan. ”Pada prinsipnya, EOR membutuhkan tahapan yang panjang. Terkadang waktu 10 tahun pun tidak cukup,” ucap Kardaya.
Untuk mendukung aktivitas pengeboran, sebanyak 291 kontrak telah diperpanjang. Selain itu, Pertamina Hulu Rokan juga menyiapkan 264 kontrak yang melibatkan sekitar 690 vendor lokal.
Dari sisi kepentingan ekonomi nasional, Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Susana Kurniasih menyatakan, pengelolaan industri hulu migas berupaya memaksimalkan penerimaan negara. Dia berharap, PHR tetap dapat meneruskan kegiatan Chevron yang bermanfaat bagi masyarakat lokal, contohnya penerapan tingkat komponen dalam negeri yang mendukung aktivitas pengelolaan Blok Rokan. Keterlibatan pengusaha lokal juga terus didorong.
Sepanjang 2020, SKK Migas mencatat proporsi usaha kecil dan menengah yang terlibat dalam paket pengadaan jasa dengan nilai mencapai Rp 10 miliar masing-masing 10 persen dan 14 persen. Proporsi tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan usaha kecil 8 persen dan usaha menengah 13 persen.
Dari sisi pemberdayaan daerah, proses pengadaan hanya dapat diikuti oleh perusahaan di wilayah operasi utama kontraktor kontrak kerja sama hulu migas. Skema pengadaan itu berlaku untuk jasa yang bernilai maksimal Rp 10 miliar atau 1 juta dollar AS.
Sepanjang 2020, SKK Migas mencatat proporsi usaha kecil dan menengah yang terlibat dalam paket pengadaan jasa dengan nilai mencapai Rp 10 miliar masing-masing 10 persen dan 14 persen.
Manajer Pengadaan Barang dan Jasa SKK Migas Maria Wiharto menambahkan, pengadaan barang dan jasa untuk aktivitas hulu migas terbuka bagi perusahaan baru. ”Perusahaan baru ini dapat terlibat dengan mengikuti aktivitas pengadaan perusahaan yang sudah lebih dahulu (terlibat),” katanya dalam lokakarya berjudul ”Road Show Potensi dan Peluang Hulu Migas”, Kamis (8/7).
SKK Migas juga membuka kesempatan pengadaan barang dan jasa bagi UMKM lokal. Hal itu tertuang dalam aturan yang menyebutkan bahwa pengadaan jasa dengan nilai lebih dari Rp 50 miliar atau 5 juta dollar AS, pelaksana kontrak wajib bekerja sama dengan usaha menengah atau kecil setempat, termasuk koperasi kecil.