Tergantung Ekspor, Kopi Gayo Didorong Masuk Pasar Domestik
Jika kopi gayo bisa memperbesar pasar dalam negeri, petani tidak akan khawatir dengan gejolak pasar dunia. Pada Maret 2020, saat pandemi Covid-19 muncul, eksportir tidak bisa mengirim barang karena tidak ada kapal.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kopi arabika gayo belum mampu menguasai pasar domestik. Sebagian besar produksi untuk memenuhi pasar internasional sehingga, ketika terjadi masalah global, produk menumpuk tidak bisa diekspor. Perlu terobosan dari pelaku usaha untuk meningkatkan penjualan dalam negeri.
Hal itu mengemuka dalam seminar daring ”Mengenal Kopi Gayo, Kopi Organik Terbaik Dunia” Kamis, (29/7/2021). Diskusi ini digelar oleh Kantor Wilayah Aceh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Aceh Armia Ahmad menuturkan, struktur pasar kopi gayo sangat timpang. Sebesar 99 persen dari produksi dijual ke pasar internasional dan hanya 1 persen dijual pasar nasional.
Akibatnya, harga kopi gayo dipengaruhi oleh situasi politik dan persoalan global. Saat pandemi, kopi gayo tidak bisa diekspor karena negara-negara tujuan sedang karantina.
”Pada Maret 2020, saat pandemi muncul, kami tidak bisa kirim barang, tidak ada kapal. Harga kontainer melonjak sehingga kopi menumpuk di pelabuhan,” ujar Armia.
Di pasar global, harga kopi gayo juga dipengaruhi oleh produksi kopi Brasil dan Vietnam. Saat kopi di dua negara itu panen raya, harga kopi gayo biasanya turun.
Dalam situasi yang buruk seperti itu semestinya kopi arabika gayo bisa dijual ke pasar nasional. Namun, persoalannya kopi gayo lemah dalam pemasaran domestik sebab selama ini konsentrasi hanya untuk pasar global.
Pada Maret 2020, saat pandemi muncul, kami tidak bisa kirim barang, tidak ada kapal. Harga kontainer melonjak sehingga kopi menumpuk di pelabuhan.
Adapun tujuan ekspor kopi gayo 60 persen ke Amerika Serikat, 30 persen ke Eropa, 5 persen Asia, dan sisanya ke Australia. Ekspor berupa green bean atau biji hijau disebut juga bahan mentah. Penjualan dalam bentuk bahan mentah tidak memberikan nilai tambah bagi petani dan pelaku usaha perkopian di Gayo.
Produksi kopi gayo yang berada di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah dalam setahun mencapai 63.177 ton. Sementara produksi kopi di Indonesia dalam setahun mencapai 700.000 ton dan konsumsi kopi di Indonesia 300.000 ton per tahun. Meskipun konsumsi arabika di Indonesia naik, produk kopi arabika lebih banyak diekspor.
Armia menyimpulkan, pasar nasional belum disentuh oleh kopi gayo.
”Kopi gayo harus memperbesar pasar dalam negeri agar tidak sepenuhnya bergantung pada pasar dunia,” kata Armia.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bener Meriah Haili Yoga menuturkan, kopi gayo masih menjadi tulang punggung ekonomi warganya. Nyaris semua keluarga di Bener Meriah memiliki kebun kopi. ”Punya kebun kopi 1 hektar saja, jika dirawat dengan baik, bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi,” kata Haili.
Namun, persoalannya, produktivitas kopi arabika gayo masih rendah, baru 850 kilogram per hektar. Padahal, di negara lain, seperti Vietnam, produksi mencapai 2 ton per hektar.
Di pasar dunia, kopi arabika gayo juga harus bersaing ketat dengan kopi negara-negara lain. Belakangan, kopi organik gayo sukar masuk ke Uni Eropa karena dinilai tidak lagi murni organik.
Jika kopi gayo bisa memperbesar pasar dalam negeri, lanjut Haili, petani tidak akan terlalu khawatir dengan gejola pasar dunia. ”Saat krisis 1997, rupiah anjlok, dollar mahal. Kopi gayo dibayar dengan dollar. Namun, tidak mungkin terus bergantung,” kata Haili.
Haili mengajak para pelaku usaha dan pemerintah untuk bersinergi mencari terobosan memperbesar pasar domestik bagi kopi gayo.
Kepala Kantor Wilayah DJKN Aceh Aulia Rahman menuturkan, pihaknya telah membuat terobosan dengan membuka situs Lelang.go.id. Melalui situs itu, pelaku usaha perkopian dapat melelang kopi kepada calon penjual tanpa harus mengeluarkan biaya pemasaran.
”Lewat situs memudahkan petani atau pelaku usaha menjual kopi,” kata Aulia.