Usaha perikanan nelayan terdampak hambatan pemasaran. Rendahnya penyerapan perikanan akibat PPKM darurat, sementara bantuan sosial belum diterima oleh sebagian nelayan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Petambak menggotong keranjang berisi udang vaname hasil budi daya dengan teknologi semiintensif skala rumah tangga di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/9/2020). Acara yang didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, PT Djarum, dan PT 3M itu menjadi percontohan dalam memanfaatkan sawah dan tambak yang tak produktif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Selama pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat, nasih nelayan kian terpukul. PPKM membuat mereka sulit mendapat bahan bakar minyak bersubsidi untuk melaut dan harga jual tangkapan ikan yang merosot. Sementara sebagian dari mereka belum mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menuturkan, harga beberapa komoditas ikan hasil tangkapan nelayan anjlok sampai 70 persen, seperti ikan tenggiri dan barakuda. Penurunan harga jual tangkapan disebabkan rendahnya serapan oleh pengepul dan pedagang karena terjadi penurunan aktivitas pasar ikan selama PPKM darurat.
”Pasar ikan mulai jarang pembeli karena PPKM Darurat. Akibatnya, serapan ikan dari hasil tangkapan nelayan ikut turun. Harga ikut anjlok,” kata Budi saat dihubungi, Rabu (21/7/2021).
Budi menambahkan, sebagian nelayan juga urung melaut karena sulit mendapat bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Penyekatan jalan di sejumlah wilayah menyulitkan mereka untuk menjangkau stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) atau stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sebagian nelayan terpaksa membeli BBM eceran dengan harga lebih mahal.
”PPKM darurat berat buat nelayan. Kita butuh BBM, tetapi beberapa titik jalan ditutup sehingga terpaksa membeli BBM dengan harga eceran yang lebih mahal. Anjloknya harga ikan sudah tidak mampu menutup biaya melaut,” ujar Budi.
Penurunan harga jual tangkapan disebabkan rendahnya serapan oleh pengepul dan pedagang karena terjadi penurunan aktivitas pasar ikan selama PPKM darurat.
Buruh membongkar ikan dari lambung kapal di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Minggu (11/7/2021). Pemerintah telah menetapkan bahwa penggunaan cantrang dan sejenisnya diganti dengan jaring tarik berkantong untuk wilayah laut utara Pulau Jawa dan perairan laut Kepulauan Riau hingga Laut Natuna
Kondisi serupa dialami nelayan rajungan. Kendati permintaan rajungan untuk ekspor masih cukup stabil, sebagian nelayan tidak bisa melaut karena kendala keterbatasan umpan dan BBM. Umpan rajungan berupa ikan rucah, seperti ikan petek, semakin sulit didapat dan harganya terus naik. Harga ikan petek, misalnya, naik dari Rp 14.000 per kg menjadi Rp 18.000 per kg.
Menurut Budi, selama lebih dari setahun pandemi Covid-19 berlangsung, sebagian besar nelayan di wilayah Cirebon dan Indramayu di Jawa Barat belum mendapatkan bantuan sosial ataupun bantuan sembako. Pihaknya mengaku pernah diminta menyerahkan data nelayan kecil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut.
Sementara itu, kendala yang sama juga dialami sebagian pembudidaya akibat hambatan pasar selama pandemi. Ketua Bidang Budidaya Patin Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Imza Hermawan mengemukakan, produk irisan daging (filet) patin cenderung menurun akibat masih melemahnya permintaan dari pasar modern, hotel, restoran, dan kafe. Sebagian produsen memanfaatkan pemasaran secara daring, tetapi hal itu belum bisa memulihkan penyerapan filet.
Sebaliknya, permintaan ikan fillet utuh di pasar tradisional masih relatif stabil. ”Bisa dikatakan tidak ada kendala. Mobil logistik ikan masih diperbolehkan lewat,” ucap Imza.
Pihaknya mengaku pernah diminta menyerahkan data nelayan kecil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut.
Ikan hasil tangkapan di Selat Karimata yang baru turun dari kapal diangkut dengan gerobak untuk dibawa ke gudang berpendingin di kawasan Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Minggu (4/10/2020). Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, volume ekspor perikanan hingga Juni 2020 sebesar 596.170 ton dengan nilai 2,41 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu tumbuh 6,9 persen secara tahunan.
Bantuan alat dan benih
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengemukakan, pandemi Covid-19 telah mendorong realokasi dan penghematan anggaran. Namun, pihaknya tetap mempertahankan skema bantuan alat tangkap dan bakti nelayan berupa pembagian sembako.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya TB Haeru Rahayu mengemukakan, KKP menyalurkan bantuan pakan ikan dan benih sebagai salah satu insentif pembudidaya di masa pandemi Covid-19. ”Kelancaran produksi perikanan dapat terus menjaga pasokan ikan di masyarakat sebagai sumber gizi dan protein dengan harga terjangkau,” ujarnya.
Bantuan, antara lain, disalurkan melalui Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Sulawesi Utara. Tahun 2021, BPBAT Tatelu menargetkan penyaluran bantuan pakan ikan mandiri sebanyak 80 ton kepada pembudidaya di wilayah kerja tersebut. Selain itu, bantuan pakan ikan mandiri, benih ikan lele, nila, dan tawes juga disalurkan. Hingga pertengahan tahun 2021, bantuan benih telah tersalurkan 3,3 juta ekor dari target total 6,8 juta ekor benih.
Adapun Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee, Aceh, menyalurkan bantuan berupa benur udang windu sebanyak 500.000 ekor ke kelompok pembudidaya ikan Hidayah Bahari dan Pokdakan Dayah Mini Aceh. Hingga pertengahan tahun 2021, BPBAP Ujung Batee telah menyalurkan bantuan benur udang windu sebanyak 2,1 juta ekor. Selain itu, hingga akhir tahun ini, BPBAP Ujung Batee menargetkan bantuan benih ikan kakap putih, nila salin, bandeng serta benur udang vaname sebanyak 7,6 juta ekor.