Tarif pungutan ekspor CPO terlalu tinggi dan perlu direvisi agar perusahaan dan petani memiliki ruang untuk menikmati kenaikan harga CPO. Apalagi harga CPO diperkirakan akan melemah pada semester II-2021.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha dan petani kelapa sawit meminta pemerintah segera merivisi tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan produk turunannya. Penyesuaian tarif itu diharapkan memperhitungkan kondisi perusahaan, pengaruhnya terhadap harga tandan buah segar sawit, serta program mandatori biodiesel peremajaan kelapa sawit.
Selain itu, harga CPO diperkirakan akan turun pada semester II-2021 seiring dengan kembali normalnya produksi CPO di Indonesia dan Malaysia. Jika tidak segera disesuaikan, produsen CPO tidak akan menikmati kenaikan harga minyak nabati tersebut.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, pengenaan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, serta bea keluar ekspor pada saat ini sangat tinggi. Pada Juni 2021, dengan harga referensi CPO sebesar 1.223,90 dollar AS per ton, bea keluar ekspor yang dikenakan sebesar 183 dollar AS per ton.
Kemudian, dengan harga CPO yang di atas 1.000 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor yang dikenakan sebesar 255 dollar AS per ton. Dengan demikian, total pungutan dan bea keluar ekspor CPO sebesar 438 dollar AS per ton.
”Total nilai pungutan dan bea keluar ini terlalu besar dan kurang bisa memberikan ruang ekspansi bagi perusahaan dan memengaruhi harga tandan buah segar sawit (TBS) di tingkat petani. Pemerintah perlu segera merevisinya dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan program mandatori biodiesel dan peremajaan kelapa sawit,” kata Joko ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (18/6/2021).
Pemerintah perlu segera merevisinya dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan program mandatori biodiesel dan peremajaan kelapa sawit.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia Mansuetus Darto menuturkan, dengan pengenaan pungutan dan bea keluar ekspor CPO sebesar 438 dollar AS, harga TBS sawit di tingkat petani tergerus di kisaran Rp 600-Rp 800 per kilogram. Saat ini, harga TBS di tingkat petani plasma Rp 3.200-Rp 3.300 per kg dan TBS di tingkat petani mandiri Rp 1.400-Rp 1.500 per kg.
Dengan kondisi harga CPO yang saat ini masih terbilang tinggi, yaitu di atas 1.000 dollar AS per kg, besaran pungutan dan bea keluar ekspor itu juga sangat berimbas ke petani. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera merivisinya.
”Kami telah mengusulkan untuk CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar 30 dollar AS per ton. Dengan tarif tersebut, harga TBS di tingkat petani masih tergerus di kisaran Rp 80-Rp 200 per kg. Di sisi lain, program mandatori biodiesel B-30 dan peremajaan sawit masih tetap bisa berjalan,” ujar Darto.
Kami telah mengusulkan untuk CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar 30 dollar AS per ton.
Saat ini, besaran pungutan ekspor CPO dan produk turunannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 yang merevisi PMK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit. PMK ini memuat pengenaan tarif pengutan ekspor untuk aneka produk sawit, seperti biji dan kernel, bungkil dan residu padat lain, tandan buah kosong, serpih dan bubuk cangkang kernel, CPO, minyak kernel (CPKO), olein, dan stearin.
Tarif pungutannya diatur dalam rentang harga tertentu yang sebanyak 15 kolom. Jika harga CPO di bawah atau sama dengan 670 dollar AS per ton, tarif pungutan yang dikenakan sebesar 55 dollar AS per ton. Sementara jika harganya di atas 995 dollar AS per ton, tarifnya sebesar 255 dollar AS per ton. Menurut rencana, regulasi ini akan dievaluasi dan direvisi lantaran tarif pungutan ekspor tersebut dinilai terlalu tinggi.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, tarif pungutan ekspor CPO memang terlalu tinggi dan perlu direvisi. Dengan revisi tersebut, perusahaan dan petani memiliki ruang untuk menikmati kenaikan harga CPO.
Apalagi, harga CPO tersebut diperkirakan akan melemah pada semester II-2021. Hal ini terjadi lantaran produksi CPO di Indonesia dan Malaysia akan berangsur-angsur normal sejalan dengan vaksinasi dan penanganan pandemi Covid-19 yang terus membaik.
”Kami memperkirakan rata-rata harga CPO pada 2021 sebesar 840 dollar AS per ton. Sebagai pembanding, Bloomberg consensus memperkirakan rata-rata harga CPO pada 2021 sebesar 890 dollar AS per ton,” kata Dendi.
Kami memperkirakan rata-rata harga CPO pada 2021 sebesar 840 dollar AS per ton. Sebagai pembanding, Bloomberg consensus memperkirakan rata-rata harga CPO pada 2021 sebesar 890 dollar AS per ton.
Artinya, jika harga kembali turun, harga CPO yang meningkat tinggi tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh produsen CPO karena pungutan ekspor CPO mencapai 255 dollar AS per ton atau sekitar 29,5 persen dari harga referensi belakangan ini.
Menurut Dendi, penentuan tarif pungutan ekspor CPO perlu mempertimbangkan juga kebutuhan program mandatori biodiesel. Target penyaluran biodiesel pada 2021 sebesar 9,2 juta kiloliter. Dengan asumsi subsidi sebesar Rp 5.000 per liter, maka total subsidi yang dibutuhkan sebesar 3,2 miliar dollar AS.
Sementara asumsi volume ekspor CPO pada tahun ini sebanyak 26 juta ton atau lebih kurang sama dengan tahun lalu. Jumlah tersebut merupakan angka konservatif sehingga masih sangat mungkin volume ekspor lebih tinggi karena produksi Indonesia meningkat untuk menggantikan suplai dari Malaysia yang menurun akibat kebijakan kuncitara di negara tersebut.
”Dengan perkiraan kebutuhan subsidi dan volume ekspor tersebut, secara konservatif, dana pungutan ekspor CPO yang dibutuhkan sebesar 122 dollar AS per ton. Namun, ini baru pungutan khusus untuk eskpor CPO. Di luar itu, ada tambahan dari ekspor produk turunan CPO,” katanya.