Indeks Manufaktur Indonesia Ekspansif, Ditopang Permintaan yang Tumbuh
Meningkatnya permintaan produk manufaktur turut meningkatkan aktivitas industri padat karya. Namun, kendala rantai pasokan bahan baku masih membayangi prospek pemulihan industri.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks manajer pembelian atau purchasing managers index manufaktur Indonesia mengalami ekspansi dalam tujuh bulan berturut-turut. Ekspansi ini menggambarkan kenaikan permintaan terhadap produk industri padat karya.
Purchasing managers index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat 55,3 pada Mei 2021. Angka tersebut meningkat dari rekor sebelumnya, yakni 54,6 pada April 2021, dan merupakan rekor survei tertinggi dalam tiga bulan berturut-turut. Sayangnya, sektor padat karya masih terkontraksi karena permintaan domestik yang masih lesu dan kesulitan bersaing dengan negara lain di pasar ekspor.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, dalam keterangan yang disampaikan Rabu (2/6/2021), menyatakan, momentum ekspansi itu menggambarkan permintaan baru, pembelian, serta ketenagakerjaan yang kembali tumbuh setelah 14 bulan terkontraksi.
”Industri manufaktur telah menyaksikan peningkatan permintaan secara keseluruhan yang lebih kuat, didukung oleh pertumbuhan permintaan baru internasional pada bulan kedua, yang memicu kenaikan produksi bulan Mei,” ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan permintaan baru dan produksi yang meningkat, produsen meningkatkan pembelian bahan baku dan setengah jadi selama empat bulan berturut-turut. Sementara perluasan jumlah tenaga kerja tecermin dari penambahan perekrutan pegawai untuk memperluas kapasitas operasi perusahaan.
Industri manufaktur telah menyaksikan peningkatan permintaan secara keseluruhan yang lebih kuat, didukung oleh pertumbuhan permintaan baru internasional pada bulan kedua, yang memicu kenaikan produksi bulan Mei. (Febrio Kacaribu)
Meski begitu, Febrio mengakui bahwa biaya input masih meningkat karena keterbatasan pasokan yang disebabkan oleh kendala cuaca, restriksi akibat Covid-19, dan kurangnya bahan baku. Penerusan beban biaya input oleh produsen kepada konsumen menyebabkan kenaikan harga jual selama tujuh bulan berturut-turut.
”Optimisme bahwa produksi akan terus menguat terlihat semakin solid di dalam negeri, didorong harapan perbaikan ekonomi karena situasi pandemi Covid-19 domestik,” kata Febrio.
Sementara itu, PMI manufaktur global tumbuh semakin kuat ke level 56 pada Mei 2021, masih mencatat angka tertinggi sejak April 2010, didorong oleh pertumbuhan solid di sisi permintaan baru, permintaan ekspor baru, dan produksi.
Eropa, Inggris, dan AS mencatat rekor PMI manufaktur sekaligus menjadi kontributor utama kinerja manufaktur global yang kuat pada Mei. China, Jepang, dan India masih berada di zona ekspansi. Namun, aktivitas manufaktur India turun tajam akibat lonjakan kasus Covid- 19.
ASEAN menunjukkan performa manufaktur yang bervariasi. Aktivitas manufaktur Malaysia dan Vietnam meneruskan tren ekspansif, tetapi Filipina dan Thailand berada di zona kontraksi akibat pengetatan restriksi.
Efek gangguan rantai pasokan terus berlanjut, terutama di Eropa dan AS, antara lain, akibat tingginya tingkat permintaan yang mendorong kekurangan pasokan dan kenaikan inflasi.
Sementara itu, lanjut Febrio, lonjakan kasus Covid-19 di negara berkembang, seperti Amerika Latin, ASEAN, dan India, perlu diwaspadai. Pengetatan restriksi yang diterapkan akan dilakukan dengan hati-hati agar tidak berdampak pada penurunan aktivitas manufaktur di wilayah tersebut.
”Pemulihan ekonomi akan berlanjut, tetapi pengendalian pandemi Covid-19 dan vaksinasi harus terus berjalan dengan baik,” kata Febrio.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan, kendati mengalami lonjakan signifikan dibandingkan dengan titik terendah pada April 2020, indeks PMI yang ekspansif belum tentu menggambarkan pemulihan seluruh sektor industri.
”Industri itu sangat beragam. Kalau mau dibedah satu per satu, hanya beberapa sektor yang memang mulai konsisten membaik. Itu pun banyak ditopang oleh permintaan global yang kembali naik karena perekonomian negara lain yang mulai pulih,” katanya.
Data Kementerian Perindustrian, per triwulan I-2021, sektor-sektor yang menopang kinerja industri adalah kimia, farmasi, dan obat tradisional yang tumbuh 11,46 persen, disusul industri furnitur 8,04 persen, industri logam dasar 7,71 persen, industri karet 3,84 persen, industri mesin dan perlengkapan 3,22 persen, serta industri makanan dan minuman 2,45 persen.
Industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh karena didorong oleh kebutuhan yang meningkat selama pandemi. Sementara industri seperti logam dasar kembali tumbuh karena perekonomian negara-negara tujuan ekspor, seperti China, yang mulai membaik, yang mendorong permintaan besi dan baja.