Pendapatan Iuran Turun, Pembayaran Klaim Tetap Lancar
Pengajuan klaim meningkat karena pandemi membuat cukup banyak peserta kehilangan pekerjaan lantaran terkena PHK. Ada pula peserta yang terpaksa mengambil pensiun dini atau meninggal akibat Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendapatan iuran yang diperoleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek menurun sepanjang tahun 2020 karena terdampak pandemi Covid-19. Namun, pembayaran klaim kepada pekerja tidak terkendala meski jumlah kasus dan nominal klaim yang diajukan meningkat.
Laporan Keuangan dan Laporan Pengelolaan Program BP Jamsostek yang diumumkan pada Senin (13/5/2021) di Jakarta menunjukkan, secara umum pendapatan iuran BP Jamsostek turun tipis 0,22 persen dari Rp 73,42 triliun pada 2019 menjadi Rp 73,26 triliun pada 2020.
Seiring dengan itu, nominal klaim yang dibayarkan BP Jamsostek sepanjang tahun 2020 naik 22,65 persen, dari Rp 29,71 triliun menjadi Rp 36,44 triliun. Selain besaran klaim yang meningkat, jumlah peserta yang mengajukan klaim juga bertambah dari 2,4 juta menjadi 2,9 juta orang pada tahun 2020.
Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo, dalam konferensi pers di Jakarta, menjelaskan, pendapatan iuran mau tidak mau menurun karena adanya kebijakan relaksasi pembayaran iuran untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), serta Jaminan Pensiun (JP) selama pandemi.
Semua kewajiban atau klaim yang diajukan peserta tetap dapat dibayarkan dengan pendapatan iuran yang ada meskipun nominal klaim yang harus dibayarkan lebih tinggi dari tahun 2019.
Hasilnya, pendapatan iuran untuk program JKK selama tahun 2020 menurun 36 persen menjadi Rp 3,79 triliun dan JKM menurun 35 persen menjadi Rp 1,82 triliun. Sementara itu, pendapatan iuran JP masih naik 5,9 persen menjadi Rp 18,27 triliun dan Jaminan Hari Tua (JHT) naik 4 persen menjadi Rp 49,36 triliun.
Anggoro mengatakan, semua kewajiban atau klaim yang diajukan peserta tetap dapat dibayarkan dengan pendapatan iuran yang ada meskipun nominal klaim yang harus dibayarkan lebih tinggi dari tahun 2019.
Klaim yang meningkat itu karena dampak pandemi yang membuat banyak perusahaan melakukan efisiensi dan peserta kehilangan pekerjaannya akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada pula klaim yang diajukan akibat peserta terpaksa mengambil pensiun dini atau meninggal karena Covid-19.
Sebagai contoh, nominal klaim JKM yang harus dibayarkan pada tahun 2020 adalah Rp 1,34 triliun, naik 56 persen dari tahun sebelumnya. Klaim JP juga meningkat hingga 124 persen menjadi Rp 439,87 triliun, dan klaim JHT meningkat 22 persen menjadi Rp 33,1 triliun.
”Meski (iuran) tahun 2020 turun, semua kewajiban atau klaim dana jaminan sosial tetap bisa kami bayarkan dengan memakai pendapatan iuran dari tahun berjalan sehingga likuiditas tetap sangat baik,” kata Anggoro.
Total aset dana jaminan sosial yang dikelola BP Jamsostek pun tetap tumbuh 13 persen dari Rp 428,30 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 483,78 triliun. ”Ini ditopang oleh kinerja investasi dan pembayaran klaim masih cukup ditopang dengan iuran yang ada. Jadi, meski pendapatan iuran kita turun dan klaim meningkat, aset tetap bisa tumbuh,” ujarnya.
Dengan kondisi keuangan tersebut, aset bersih yang dikelola program JKK sebesar Rp 38 triliun diestimasi masih cukup untuk membayarkan klaim hingga 297 bulan ke depan. Sementara aset bersih yang dikelola JKM sebesar Rp 12,1 triliun masih cukup untuk membayar klaim 109 bulan ke depan. Tingkat kesehatan untuk JHT juga masih terhitung aman mengingat karakteristik program JHT yang sifatnya jangka panjang.
Strategi investasi
Lebih lanjut, sepanjang tahun 2020, BP Jamsostek mencatat hasil realisasi investasi senilai Rp 32,3 triliun dari total dana investasi yang dikelola sebesar Rp 487 triliun. Sejauh ini, sebanyak 63 persen dana investasi dialokasikan untuk obligasi (umumnya surat berharga negara), 15 persen untuk saham, 13 persen deposito, 8 persen reksa dana, dan 1 persen investasi langsung.
Strategi investasi BP Jamsostek perlu dimatangkan agar imbal hasil dari investasi bisa lebih optimal untuk menopang kondisi keuangan BP Jamsostek.
Anggoro mengatakan, capaian dana investasi dan realisasi investasi yang masih meningkat dibandingkan tahun 2019 itu yang tetap menopang tumbuhnya aset dana jaminan sosial sepanjang tahun 2020.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, ke depan strategi investasi BP Jamsostek perlu dimatangkan agar imbal hasil dari investasi bisa lebih optimal untuk menopang kondisi keuangan BP Jamsostek.
Terutama, lanjut dia, dengan adanya indikasi BP Jamsostek menggeser strategi investasi dari saham dan reksa dana menjadi investasi langsung di Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) yang notabene bersifat jangka panjang.
Indikasi itu tidak lepas dari kasus dugaan kerugian negara mencapai Rp 20 triliun terkait pengelolaan dana nasabah di BP Jamsostek, yang saat ini masih berlangsung di Kejaksaan Agung. Timboel berharap, Kejaksaan bisa lebih cepat menuntaskan penyidikan kasus itu agar ada kepastian hukum serta meminimalkan gangguan terhadap strategi investasi BP Jamsostek.
”Padahal, saham dan reksadana bisa memberi nilai tambah lebih banyak dibandingkan deposito atau obligasi. Kasus di Kejagung harus cepat dituntaskan. Kalau dibiarkan mengambang, ada ketakutan untuk menaruh aset di saham atau reksadana lagi,” kata Timboel.
Sebagai gantinya, baru-baru ini BP Jamsostek berencana menambah investasi langsung di INA. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jamsostek mengizinkan dana jaminan sosial dikelola lewat instrumen investasi langsung sebesar 5 persen dari total dana kelola atau sekitar Rp 25 triliun. Selama ini, porsi investasi langsung BP Jamsostek baru 1 persen dari total dana yang dikelola.
Terkait ini, Timboel menilai, BP Jamsostek memang diperbolehkan mengelola aset melalui investasi langsung yang berjangka panjang, seperti ke INA. Namun, alokasinya harus terbatas seperti yang diatur dalam regulasi. Strategi ini juga harus dijelaskan kepada peserta agar tidak memunculkan kesalahpahaman ketika realisasi investasi mengalami penurunan.
”Strategi baru ini harus diukur dan dimatangkan karena bisa jadi baru 10 tahun kemudian terlihat ada hasilnya. Komunikasikan juga dengan jelas dan transparan kepada peserta dan publik agar tidak ada kesalahpahaman,” katanya.