”Mr Hu” Berulah, Benteng Perlindungan UMKM Diperkuat
Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No 50/2020 untuk melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sekaligus menciptakan perdagangan di kanal e-dagang yang bermartabat, adil, dan bermanfaat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperkuat benteng perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dengan merevisi regulasi tentang e-dagang seusai ”Mr Hu” berulah beberapa waktu lalu. Selain untuk melindungi UMKM, regulasi ini bertujuan menciptakan perdagangan yang bermartabat, adil, dan bermanfaat.
Akan tetapi, upaya tersebut tak cukup hanya dengan merevisi regulasi e-dagang. Perkuatan daya saing UMKM, pengawasan dan penindakan, serta perlindungan konsumen juga perlu ditingkatkan.
Hal itu mengemuka dalam forum diskusi terfokus (FGD) ”Melindungi UMKM di Kanal E-dagang” yang digelar Kompas dan Kementerian Perdagangan secara hibrida di Jakarta, Selasa (25/5/2021). Diskusi dengan narasumber kunci Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan dihadiri sejumlah perwakilan e-dagang, UMKM, dan kementerian/lembaga ini bertujuan menggali masukan dan tanggapan publik terkait revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020.
Revisi Permendag tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo meminta kementerian terkait menanggulangi praktik-praktik dalam e-dagang yang dapat merugikan UMKM dan industri dalam negeri. Perintah itu menyusul ramainya warganet membicarakan sosok Mr Hu yang melahirkan tagar #SellerAsingBunuhUMKM pada medio Februari 2021.
Sosok Mr Hu menjadi tenar setelah beberapa konsumen mengunggah gambar produk yang dibeli di e-dagang dengan kemasan paket bertuliskan nama pengirim Mr Hu dari Guangdong, China. Mr Hu ini menjadi simbol semakin mudahnya produk-produk impor masuk Indonesia dan dijual dengan harga sangat murah.
”Praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat itu terlihat dari makin maraknya pedagang-pedagang dari luar negeri yang menjual barangnya dengan harga sangat murah di beberapa lokapasar (marketplace). Hal ini merupakan salah satu bentuk penarapan predatory pricing atau harga predator yang merugikan, bahkan berpotensi menghancurkan usaha dan industri dalam negeri,” tutur Lutfi.
Ia mencontohkan, ada hijab yang dijual secara daring dengan harga Rp 1.900 per buah. Pedagangnya yang berasal dari luar negeri itu hanya membayar pajak rata-rata 40.000 dollar AS per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan usaha atau industri kecil hijab yang membayar pekerja konveksinya sebesar 640.000 dollar AS per tahun.
”Hal ini tidak hanya menghancurkan kompetisi, tetapi juga usaha dan industri nasional. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang jelas dan tegas, serta ’wasit’ yang mampu mengelola dan mengawasasi tata niaganya,” ujarnya.
Hal ini tidak hanya menghancurkan kompetisi, tetapi juga usaha dan industri nasional. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang jelas dan tegas, serta ’wasit’ yang mampu mengelola dan mengawasasi tata niaganya.
Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM Ari Anindya Hartika menambahkan, banyak persoalan di perdagangan secara elektronik Indonesia selain harga predator. Misalnya, banyak pelaku usaha resmi yang mengeluhkan peredaran produk-produk yang belum berizin dan tidak memiliki standardisasi yang diwajibkan pemerintah.
Ada juga pedagang di lokapasar yang tidak memiliki izin usaha dan tokonya tidak berada di wilayah Indonesia. ”Oleh karena itu, revisi regulasi ini diperlukan untuk melindungi UMKM. Regulasi ini merupakan salah bentuk keberpihakan negara terhadap produk lokal,” katanya.
Bukan proteksionisme
Menurut Lutfi, dengan merevisi regulasi tersebut bukan berarti Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan proteksionisme. Dengan regulasi itu, pemerintah ingin menciptakan perdagangan yang bermartabat, adil, dan bermanfaat.
Salah satunya menyangkut kesetaraan antara pedagang daring dan luring. Jika pedagang daring ingin mengimpor, mereka harus mengikuti kententuan yang sama seperti pedagang luring, seperti memiliki izin usaha dan membayar pajak. Saat menjual produknya nanti, mereka juga tidak boleh menerapkan praktik harga predator.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Regulasi Atasi Harga Predator
Dalam wawancara dengan Kompas, awal Mei 2021, Lutfi menyatakan, dalam regulasi pengganti nanti, lokapasar harus turut menjaga tingkat persaingan usaha antarpedagang dan menerapkan harga jual barang minimum. Mereka juga wajib menjaga harga barang atau jasa dalam sistem e-dagangnya bebas dari praktik manipulasi harga, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemerintah juga akan memperjelas identitas lokapasar dan pedagang dalam negeri dengan luar negeri. Khusus pedagang luar negeri harus memiliki dan mencantumkan dokumen country of origin of seller. Artinya, mereka wajib mendaftarkan nomor, nama, dan instansi pernerbit negara asalnya yang masih berlaku (Kompas, 10 Mei 2021).
Baca Juga: Menteri Perdagangan: Kami Akan Perbaiki Pengaturan Aset Kripto dan E-dagang
Hal itu ditegaskan kembali oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa. Revisi Permendag No 50/2020 akan mencakup pembedaan asal pedagang, standardisasi barang yang diperdagangkan, serta memprioritaskan dan pendampingan UMKM.
”Pengawasan juga akan kami lakukan bersama kementerian/lembaga terkait. Kami akan mematangkan cara-cara pengawasan perdagangan secara daring yang tentu saja akan berbeda dengan perdagangan luring,” tuturnya.
Dalam draf revisi Permendag No 50/2020 disebutkan pula pelaku usaha dapat melaporkan praktik perdagangan tidak sehat dengan melampirkan bukti terkait. Mereka yang terbukti melanggar akan dikenai sanksi adminsitratif dengan dimasukkan ke dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara.
Dalam kesempatan yang sama, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, berpendapat, e-dagang membuka peluang lebar bagi perdagangan lintas negara sekaligus persaingan harga. Kedua hal ini perlu menjadi fokus dalam revisi regulasi tentang e-dagang.
Melalui e-dagang, masyarakat dapat dengan mudah membeli barang-barang secara langsung dari luar negeri karena platform e-dagang luar negeri dapat dengan mudah diakses dari dalam negeri. Hal ini juga membuka potensi besar penipuan yang bisa merugikan pembeli.
”Dalam konteks tersebut, kita membutuhkan pengaturan impor, pengenaan pajak, dan perlindungan pembelinya,” ujarnya.
Sementara terkait dengan persaingan harga dan harga predator, pemerintah harus mengkajinya secara cermat. Bentuk-bentuk penerapan harga predator harus jelas. Jangan sampai produsen atau pelaku usaha dan industri, yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya karena kemampuan inovasi dan efesiensi produksinya, dianggap menerapkan harga predator.
”Harga murah belum tentu merupakan bentuk praktik harga predator. Kalau harganya itu buah dari inovasi dan upaya efisiensi yang dilakukan produsen tersebut, seharusnya diapresiasi,” ujar Piter.
Harga murah belum tentu merupakan bentuk praktik harga predator. Kalau harganya itu buah dari inovasi dan upaya efisiensi yang dilakukan produsen tersebut, seharusnya diapresiasi.
Baca Juga: Bentuk ”Predatory Pricing” di Kanal E-dagang Perlu Diperjelas
Kesetaraan berbisnis
Sektor e-dagang berperan penting dalam pengembangan UMKM nasional, terutama di tengah pandemi Covid-19. Bank Indonesia mencatat, nilai transaksi e-dagang pada 2020 mencapai Rp 253 triliun. Pada tahun ini, transaksinya diperkirakan mencapai Rp 330,7 triliun atau naik 33,2 persen.
Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) menyebutkan, dari 65,5 juta UMKM, sebanyak 15 juta-16 juta UMKM telah marambah dunia digital. Sementara Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan 30 juta UMKM go digital pada 2023.
Menurut Ketua Akumindo Ikhsan Ingratubun, dengan semakin banyaknya UMKM yang merambah dunia digital, perlindungan dan pendampingan terhadap UMKM sangat diperlukan. Akumindo mendukung pemerintah yang beritikad baik merevisi Permendag No 50/2020 dalam rangka melindungi UMKM.
Ia berharap para pedagang domestik dan asing yang memiliki toko daring di lokapasar memiliki nomor induk berusaha (NIB). Hal itu akan mempermudah pengawasan dan pemberian sanksi kalau pelaku usaha tersebut melanggar regulasi yang ada. Pemerintah bisa mencabut NIB jika pedagang tersebut terbukti melanggarnya.
”Namun, yang perlu dipikirkan adalah apakah pemerintah bisa mengakses atau masuk ke admin lokapasar dalam rangka pengawasan tersebut. Aspek keterbukaan data ini juga sangat diperlukan,” katanya.
VP of Corporate Communication Tokopedia Nuraine Razak mengatakan, pedagang di Tokopedia telah memenuhi ketentuan pemerintah. Mereka telah memiliki izin usaha, membayar pajak, dan proses impornya melalui Bea dan Cukai.
”Persoalan pengenaan pajak inilah yang kerap menimbulkan kesenjangan antara pelaku usaha domestik dan luar negeri. Kami berharap ada perlindungan terkait hal itu dan revisi regulasi tersebut bisa disesuaikan dan diterapkan pelaku e-dagang lain di Indonesia,” tuturnya.
Adapun CEO Orami Ferry Tenka menuturkan, tidak kompetitifnya harga juga sering kali terjadi akibat ketidakadilan dalam penerapan regulasi tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di satu sisi, regulasi itu mengikat pada pelaku yang menjalankan usahanya secara hibrida, tetapi di sisi lain tidak mengikat pada lokapasar yang memiliki jutaan pedagang.
”Ini salah satu hal yang menyebabkan kami sulit bersaing. Kami berharap, jika regulasi baru itu dijalankan, pemerintah bisa mengontrolnya supaya ada kesataraan dalam berbisnis antarpelaku usaha dan bisa mengantisipasi celah regulasi itu,” ujarnya.
Baca juga:
Sementara Legal & Government Relations JD.ID Osdi Alam Pratama berpendapat, setiap pelaku usaha memang mesti memiliki tingkat berbisnis yang setara. Namun, hal itu tidak hanya menyangkut soal harga, tetapi juga kualitas dan kapasitas pelaku usaha tersebut.
Pelaku UMKM di Indonesia tidak cukup hanya diberikan ruang berdagang secara daring dan dicarikan pasar. Mereka juga perlu didampingi agar ”naik kelas”, baik dari sisi kualitas dan kuantitas produk maupun skala bisnisnya.
”Kami menggunakan data dari teknologi kecerdasan buatan agar UMKM bisa naik kelas. Misalnya dengan membaca trafik pedagang atau produk yang disukai konsumen. Hal ini bisa membantu pedagang untuk mengangkat dan meningkatkan branding produknya,” tuturnya.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengatakan, kehadiran permendag baru tentang e-dagang akan menjadi pegangan dan memudahkan KPPU mengawasi persaingan yang tidak sehat dalam e-dagang. Izin usaha juga harus ditegakkan agar semakin mempermudah pengawasan dan penindakan.
Hal itu perlu ditopang dengan keterbukaan data dari pengelola lokapasar. Di sisi lain, regulasi mengenai perlindungan data pribadi juga diperlukan agar konsumen e-dagang terlindungi.
Baca Juga: Kebocoran Terus Berulang, RUU Perlindungan Data Pribadi Mendesak Disahkan