JAKARTA, KOMPAS — Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto mencapai 41,64 persen pada akhir Maret 2021. Rasio utang cenderung naik sejalan dengan meningkatnya defisit anggaran.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, secara nominal, posisi utang pemerintah hingga akhir Maret 2021 sebesar Rp 6.445,07 triliun atau 41,64 persen produk domestik bruto (PDB). Rasio utang ini lebih tinggi dibandingkan per akhir Februari 2021 yang sebesar 41,1 persen.
Direktur Jenderal Pembiayaan, Pengelolaan, dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, peningkatan rasio utang tidak terlepas dari peran utang yang berfungsi sebagai alat penjaga pertumbuhan ekonomi yang mengalami tekanan di masa pandemi.
Dalam kondisi ini, pembiayaan utang digunakan untuk mendanai belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Utang pun dimanfaatkan sebagai salah satu alat penggerak pertumbuhan ekonomi di saat penerimaan negara belum optimal akibat pandemi.
”Pemerintah menjalankan strategi pengelolaan utang yang dilakukan secara bijak, fleksibel, dan terukur serta memperhatikan kondisi perekonomian dan pasar keuangan,” kata Luky, Minggu (2/5/2021), di Jakarta.
Untuk itu, lanjutnya, pemberian stimulus dan pengaturan defisit fiskal tetap perlu dikendalikan untuk tetap menjaga tingkat utang yang aman dan pengelolaan fiskal yang sehat.
Baca juga : Lampu Kuning Utang BUMN
Dalam upaya mengendalikan utang, lanjut Luky, pemerintah terus menggali sumber-sumber pembiayaan yang inovatif dan kreatif untuk mengurangi beban anggaran. Salah satunya menggunakan instrumen kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dan proses pembiayaan yang melibatkan pihak swasta dan industri jasa keuangan (blended financing).
Pada tahun 2021, pemerintah juga akan memanfaatkan dana sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) 2020 sebesar Rp 80 triliun-Rp 100 triliun untuk mengurangi pengadaan utang dan memperlebar ruang fiskal untuk menangani pandemi.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menilai utang pemerintah harus difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga mampu mengerek produktivitas dan daya saing industri dalam negeri.
”Utang pemerintah perlu digunakan untuk mendukung transformasi ekonomi melalui peningkatan nilai tambah, hilirisasi, dan peningkatan produksi barang-barang ekspor serta substitusi impor,” ujarnya.
Baca juga : Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai jumlah utang pemerintah yang mencapai 41,64 persen PDB masih dalam level aman karena jauh dari batas atas rasio utang terhadap PDB yang mencapai 60 persen.
”Meski masih dalam level yang aman, pemerintah perlu tetap waspada dalam mengawasi pergerakan utang, terlebih di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang,” ujarnya.
Yusuf berharap, dalam proses pemulihan ekonomi saat ini, pemerintah tidak terburu-buru dalam melakukan konsolidasi fiskal, atau mengembalikan defisit anggaran ke level yang rendah. Pasalnya, saat ini tujuan utama kebijakan fiskal adalah untuk menjadi bantalan pemulihan ekonomi.
”Ini agar bantuan-bantuan penting seperti perlindungan sosial jangan terburu-buru dicabut,” ujarnya.