Pada 1998, BUMN ditujukan untuk menghasilkan profit dan mengelola utang negara ke IMF saat krisis moneter 1997-1998. Kini, 23 tahun kemudian, BUMN berbalik membebani perekonomian negara.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
”Jangan khawatir dengan utang. Kita masih punya banyak BUMN yang bisa didayagunakan untuk membayar utang-utang itu,” demikian kata-kata Presiden Soeharto seusai menandatangani letter of intent pinjaman siaga (standby loan) senilai 43 miliar dollar AS dari Dana Moneter Internasional (IMF), pada 15 Januari 1998.
Kata-kata itu dikisahkan ulang oleh Menteri BUMN pertama (1998-1999) Tanri Abeng dalam tulisannya ”BUMN di Tangan Erick” (Kompas, 13 Maret 2020). Menurut Tanri, momen itu menjadi cikal bakal dikelolanya BUMN secara korporasi demi menghasilkan profit dan membantu membayar utang negara, serta awal mula dibentuknya Kementerian BUMN.
Kini, 23 tahun kemudian, BUMN yang awalnya dikelola untuk menopang utang negara ke IMF saat krisis 1997-1998 itu, berbalik membebani perekonomian negara dengan tumpukan utangnya. Khususnya BUMN sektor konstruksi atau BUMN karya, yang mendapat penugasan khusus membangun infrastruktur selama tujuh tahun terakhir Pemerintahan Joko Widodo.
Data Statistik Utang Sektor Publik Indonesia yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, utang BUMN bukan lembaga keuangan konsisten meningkat dari Rp 581,33 triliun pada triwulan III-2016 menjadi Rp 609,57 triliun pada triwulan III-2017, Rp 804,56 triliun (triwulan III-2018), Rp 1019,55 triliun (triwulan III-2019), dan menjadi Rp 1140,66 triliun (triwulan III-2020).
Kini, 23 tahun kemudian, BUMN yang awalnya dikelola untuk menopang utang negara ke IMF saat krisis 1997-1998 itu, berbalik membebani perekonomian negara dengan tumpukan utangnya.
Utang memang hal lumrah, bahkan dibutuhkan, dalam mengelola korporasi. Namun, rasio beban utang BUMN terhadap aset dan ekuitas yang dimilikinya telah masuk tahap mengkhawatirkan.
Kementerian Keuangan mencatat, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) sejumlah BUMN karya mulai mendekati hingga melewati batas wajar yaitu 3-4 kali. Contohnya, level DER PT Adhi Karya (Persero) Tbk adalah 5,76 kali, PT Waskita Karya (Persero) Tbk 3,42 kali, PT PP Properti (Persero) Tbk 2,9 kali, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk 2,81 kali, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 2,7 kali.
Kondisi ini kian mengkhawatirkan mengingat kondisi arus kas perseroan sektor konstruksi kini terpuruk akibat dampak pandemi Covid-19. Pendapatan dan laba bersih BUMN karya menurun tajam selama tahun 2020. Beberapa perseroan, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk, bahkan mengalami kerugian.
Membengkaknya utang BUMN karya salah satunya akibat menjalankan penugasan membangun infrastruktur yang terkadang di luar batas kemampuan keuangan negara dan BUMN terkait. Perseroan yang butuh dana besar untuk menggarap proyek akhirnya mencari sendiri pembiayaan lewat pinjaman ke perbankan atau menerbitkan surat utang.
Sementara itu, proyek-proyek infrastruktur, khususnya yang berada di luar Jawa, umumnya tidak menghasilkan profit dalam waktu cepat (quick win). Pandemi yang praktis menghentikan berbagai proyek juga membuat arus kas perseroan macet dan kini kesulitan membayar utang. Beberapa perseroan dikhawatirkan bisa gagal bayar.
Belakangan, BUMN sektor konstruksi satu per satu blak-blakan menyampaikan alasan di balik memburuknya kinerja keuangan mereka. Selain karena pandemi yang menghentikan berbagai proyek pembangunan dan investasi baru, diakui, kerap kali pembangunan tidak seimbang dengan beban pinjaman kapasitas keuangan perseroan.
”Terkadang, semangatnya terlalu berlebihan. Investasi diletakkan di bidang yang sebenarnya belum layak, lalu menggunakan dana pinjaman. Pengembangan yang melebihi kemampuan ini meningkatkan utang, yang tidak diikuti dengan pendapatan memadai,” kata Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Tbk Budi Harto, yang perseroannya merugi Rp 2,09 triliun pada 2020.
Utang BUMN adalah beban bagi APBN serta publik. Sebab, ketika BUMN berdarah-darah, pemerintah harus turun tangan, baik melalui penyertaan modal negara (PMN), maupun upaya restrukturisasi kredit BUMN.
Beban pembiayaan utang BUMN juga akan memunculkan biaya peluang (opportunity cost) yang akhirnya mengesampingkan beberapa proyek atau program prioritas lainnya yang lebih penting di tengah krisis kesehatan dan ekonomi saat ini.
Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) sebagai lembaga pengelola investasi atau sovereign wealth fund diharapkan dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur yang menyehatkan keuangan BUMN sektor konstruksi. INA juga bisa memberi ruang likuiditas bagi perseroan dengan mengambil alih aset-aset BUMN sebagai upaya restrukturisasi.
Namun, mengingat modal awal yang masih terbatas serta pendanaan yang mengandalkan sumber eksternal lewat investor asing dan dalam negeri, signifikansi INA untuk menyehatkan keuangan BUMN kemungkinan tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat.
Keberadaan Indonesia Investment Authority (INA) sebagai lembaga pengelola investasi diharapkan dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur yang menyehatkan keuangan BUMN sektor konstruksi.
Kondisi keuangan BUMN yang terpuruk seharusnya menjadi lampu kuning agar pemerintah lebih hati-hati dan realistis dalam merencanakan proyek-proyek pembangunan pada era pandemi. Pembangunan perlu dikontrol agar tidak berlebihan dan menambah beban utang.
Namun, pemerintah seakan mengabaikan kenyataan kondisi APBN yang tertekan, utang BUMN karya yang menumpuk, kondisi arus kas perseroan yang tidak sehat, dan tetap ambisius mengejar pembangunan sejumlah proyek.
Tahun ini, pemerintah menargetkan mengerjakan 38 proyek strategis nasional (PSN) dengan nilai total investasi Rp 464,6 triliun. Mayoritas proyek yang dipilih adalah pembangunan jalan tol dan bendungan, pelabuhan, jaringan irigasi, dan beberapa kawasan industri. Pembiayaan proyek dan program PSN itu akan bersumber dari APBN dan APBD, BUMN, serta swasta.
Pemerintah juga tetap akan mengejar pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur, yang diprediksi akan memakan biaya Rp 500 triliun. Pemerintah berencana tetap memulai pembangunan fisik pada tahun ini. APBN hanya akan menyumbang 1 persen, sisanya, investasi BUMN dan swasta.
Infrastruktur memang penting, tetapi bisa berbahaya jika pembangunannya tidak ditopang dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Akhirnya, seperti kata peribahasa, besar pasak daripada tiang. Padahal, sudah tiangnya lebih kecil, keropos pula.
Ada baiknya Presiden berkaca pada kata-katanya sendiri tempo hari kepada para menterinya agar lebih memiliki kepekaan terhadap krisis (sense of crisis) di saat pandemi. Pembangunan secara besar-besaran bukan prioritas ketika sumber daya terbatas dan ada persoalan lebih penting di depan mata, yakni penanganan krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi.