Pergudangan dan Pusat Data Ramah Lingkungan Makin Tren di Indonesia
Tidak hanya rumah atau perkantoran, bangunan pergudangan dan pusat data yang semakin banyak dibutuhkan juga semakin mengarah ke ramah lingkungan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan hijau atau berwawasan lingkungan di Indonesia semakin menunjukkan tren peningkatan. Tidak hanya rumah atau perkantoran, bangunan pergudangan dan pusat data yang semakin banyak dibutuhkan juga semakin mengarah ke ramah lingkungan.
Tren ini ditangkap perusahaan perbankan seperti PT Bank OCBC NISP Tbk yang berkomitmen meningkatkan pembiayaan berkelanjutan dengan mengedepankan aspek lingkungan, sosial, dan kepemimpinan (environment, social, and governance/ESG).
Direktur OCBC NISP Martin Widjaja menyebut, dalam setahun terakhir, permintaan pembiayaan berkelanjutan meningkat untuk sektor bangunan hijau, selain energi baru dan terbarukan. Bangunan hijau menekankan pada pengurangan emisi karbon dan pencemaran lingkungan, yang didukung sistem penghematan energi hingga manajemen limbah.
Sampai Maret 2021, porsi pembiayaan hijau di bank tersebut mencapai 40 persen dari total keseluruhan pembiayaan kredit. Per tahun 2019 dan 2020, porsinya masing-masing 36 persen dan 38 persen.
”Kali ini trennya bukan ke kompleks komersial karena selama pandemi tren pembangunan bangunan ini lebih tinggi saat dua tahun lalu. Saat ini, trennya lebih tinggi di pergudangan dan data center (pusat data),” kata Martin dalam wawancara eksklusif dengan Kompas, pekan ini, yang ditulis pada Minggu (18/4/2021).
Pembiayaan untuk pembangunan pergudangan berwawasan lingkungan dinilai meningkat karena dua hal. Pertama, merebaknya perdagangan daring yang didukung pemanfaatan e-dagang. Kedua, kebutuhan akan infrastruktur logistik ramah lingkungan sesuai standar internasional.
Selain pergudangan, pembiayaan untuk pembangunan pusat data (data center) yang hemat energi juga tercatat meningkat. Tren ini difaktori masifnya peralihan bisnis konvensional ke digital. Lalu, arahan dari pemerintah bagi industri perbankan untuk membangun onshore data center (ODC). Adapun sejauh ini, investasi pusat data di Indonesia masih sekitar sepertiga dari perencanaannya.
Dalam setahun terakhir, permintaan pembiayaan berkelanjutan meningkat untuk sektor bangunan hijau, selain energi baru dan terbarukan. Bangunan hijau menekankan pada pengurangan emisi karbon dan pencemaran lingkungan, yang didukung sistem penghematan energi hingga manajemen limbah.
Walaupun pembiayaan yang dikeluarkan bisa 10-15 persen lebih besar daripada bangunan konvensional, Martin mengaku senang dengan tren tersebut. ”Investasi ramah lingkungan yang ditanamkan saat ini bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar ke depannya,” ujarnya.
Tren ini semakin mewarnai pengembangan infrastruktur hijau di Indonesia. Berdasarkan laporan anggota Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC), pada 2019, pembangunan hijau di Indonesia telah melingkupi luas kawasan sebesar 25 juta meter persegi atau setara 5,7 kali luas Kota Vatikan.
Laporan IFC, yang berdasarkan survei 2018, menemukan luasan bangunan hijau tersebut disumbang 339 bangunan di Jakarta dan lebih dari 3.000 bangunan di Bandung. Keseluruhan bangunan tersebut diperkirakan mengurangi emisi karbon sampai 1 juta metrik ton atau setara pengurangan emisi dari 216.000 penumpang mobil setahun.
Pertumbuhan ekonomi
Tren pembiayaan hijau pun dipastikan bisa ikut membantu pertumbuhan ekonomi, termasuk untuk pemilihan pascapandemi Covid-19. Hal ini diakui Climate Finance Leadership Initiative (CLFI), sebuah organisasi yang didirikan dan diketuai oleh Utusan Khusus PBB untuk Climate Ambition and Solutions, Michael R Bloomberg.
”Investasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan melawan perubahan iklim juga memacu pertumbuhan ekonomi,” kata Blommberg dalam keterangan tertulisnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, CLFI membuat laporan Unlocking Private Climate Finance in Emerging Markets: Private Sector Considerations for Policymakers dalam program kemitraan dengan Association of European Development Finance Institutions (EDFI), dan Global Infrastructure Facility (GIF).
”Laporan ini menguraikan langkah-langkah yang dapat diambil oleh pasar negara berkembang, dengan dukungan dari bisnis dan komunitas internasional, untuk menarik lebih banyak modal swasta untuk proyek hijau, menciptakan kemitraan publik-swasta baru, dan memastikan pemulihan yang kuat dari pandemik,” katanya.
Di seluruh dunia, pasar negara berkembang disebutkan sedang berusaha untuk bangkit dari pandemi Covid-19 dengan cara memercepat investasi proyek transisi rendah karbon, dan membantu memenuhi kontribusi yang ditentukan secara nasional, seperti yang diuraikan dalam Paris Agreement.
Dengan pembiayaan transisi energi yang mencapai 500 miliar dollar AS pada 2020, laporan baru ini memberikan pasar negara berkembang dengan opsi kebijakan potensial untuk menarik modal swasta.
Di masa mendatang, CFLI akan berusaha merancang, meluncurkan, dan mengoordinasikan serangkaian negara contoh atau ”Country Pilots”, bekerja sama dengan lembaga keuangan swasta domestik dan internasional terkemuka.
”Uji coba pertama direncanakan untuk India dan Indonesia, dengan tujuan mereplikasi model ini di negara lain untuk tahun-tahun berikutnya. Upaya ini akan mendorong mobilisasi modal untuk mempercepat transisi energi dan akan didasarkan pada pertimbangan kebijakan yang dikeluarkan pada hari ini untuk mendorong perubahan kebijakan di negara contoh,” ujarnya.