Banyak kota di dunia, terutama di negara berkembang, mengalami paradoks transportasi urban. Transportasi perkotaan di negara-negara tersebut mengalami gejala disfungsi. Transportasi berkelanjutan menjadi solusinya.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu tantangan perkotaan adalah paradoks transportasi urban. Kondisi ini terjadi ketika berbagai sektor tumbuh pesat namun kinerja transportasi perkotaan justru menurun. Pengembangan transportasi berkelanjutan dinilai dapat menjawab tantangan tersebut.
Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Perhubungan Yugihartiman, Kamis (25/3/2021), menuturkan, banyak kota di dunia, terutama di negara berkembang, mengalami paradoks transportasi urban. Transportasi perkotaan di negara-negara tersebut mengalami gejala disfungsi.
Gejala tersebut berupa kemacetan lalu lintas, polusi, penggunaan energi tinggi, dan risiko kecelakaan tinggi. ”Selain itu juga karena rendahnya aksesibilitas transportasi, terutama untuk kelompok tertentu yang rentan dan berkemampuan ekonomi lemah,” kata Yugihartiman.
Yugihartiman menyatakan hal itu dalam seminar daring bertajuk ”Sharing Knowledge and Experience: Implementasi Transportasi Berkelanjutan”. Acara ini digelar oleh Pusat Pengembangan SDM Aparatur Perhubungan Kementerian Perhubungan.
Gejala disfungsi transportasi tersebut, lanjut Yugihartiman, berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Keatraktifan kota dan kualitas hidup penduduknya menurun ketika mengalami kondisi ini.
Hal ini menjadikan isu pengembangan transportasi berkelanjutan relevan dan mesti terus digencarkan. ”Dimensi berkelanjutan ini mencakup pilar sosial, lingkungan, ekonomi, budaya, hukum, finansial, dan kelembagaan yang kesemuanya tidak terpisahkan,” ujarnya.
Banyak kota di dunia, terutama di negara berkembang, mengalami paradoks transportasi urban. Transportasi perkotaan di negara-negara tersebut mengalami gejala disfungsi.
Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Susilo Dewanto mengatakan, tantangan yang dihadapi Jakarta menuntut perubahan kebijakan yang mendasar. Hal ini membutuhkan peran semua pemangku kepentingan.
Kebijakan terkait pengembangan di masa lalu berorientasi pada kendaraan pribadi. ”Kebijakan yang semula car oriented development akan berubah menjadi transit oriented development atau TOD yang bisa ditambah menjadi digital oriented development atau DOD,” kata Susilo.
Dengan demikian, lanjut Susilo, pembangunan akan berorientasi area atau wilayah. Kepadatan kota akan dioptimalkan, termasuk dengan pembangunan vertikal. Pembangunan juga diarahkan mewujudkan integrasi transportasi dan memprioritaskan pejalan kaki.
Penanganan transportasi DKI Jakarta memprioritaskan pejalan kaki, kendaraan ramah lingkungan, dan angkutan umum. Selain insentif untuk ketiganya, hal keempat adalah disinsentif bagi kendaraan pribadi.
Menurut Susilo, Jakarta sudah membentuk ekosistem transportasi, yakni Jak Lingko. Jak Lingko merupakan sistem terpadu yang mendukung kebijakan peningkatan penggunaan angkutan umum massal dan pembatasan kendaraan bermotor perseorangan.
Layanan moda raya terpadu (mass rapid transit/MRT) yang pada 2019 sepanjang 16 kilometer (km) diharapkan menjadi 112 km pada 2030. Pada periode sama layanan kereta api ringan (light rail transit/LRT) diharapkan meningkat dari 5,8 km menjadi 130 km dan Transjakarta dari 1.122 km menjadi 2.149 km.
Sementara itu, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Yoga Adiwinarto mengemukakan, pembicaraan terkait TOD menyangkut keterhubungan, baik sebagai pejalan kaki maupun pengguna angkutan umum. ”Boleh dibilang ini adalah satu paket. Angkutan umum tidak bisa berjalan tanpa adanya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang bagus,” ujarnya.
Fasilitas transportasi juga mesti ramah disabilitas. Tujuan akhir dari memberikan sarana dan prasarana untuk warga disabilitas adalah agar mereka dapat bermobilitas mandiri layaknya warga non-disabilitas. ”Setiap tahap penyediaan prasarana disabilitas pun perlu melibatkan mereka secara langsung,” kata Yoga.