Teknologi Digital Efisiensikan Rantai Distribusi Produk Pertanian
Pemanfaatan teknologi dalam jaringan untuk penjualan produk dari produsen ke tangan pengguna akhir kian diminati publik. Tren tersebut pun mendorong adanya efisiensi pada alur pengiriman produk pertanian.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi dalam jaringan untuk penjualan produk dari produsen ke tangan pengguna akhir kian diminati publik. Tren tersebut pun mendorong adanya efisiensi pada alur pengiriman barang, termasuk dalam rantai distribusi produk pertanian.
Ini tergambar dalam bisnis platform dalam jaringan (daring) penyedia produk segar dari petani dan produsen pangan lokal, Sayurbox. Dalam acara pemaparan dengan media, Rabu (17/3/2021), CEO dan Co-Founder Sayurbox Amanda Cole mengatakan, bisnis mereka lebih diminati sejak adanya pandemi.
”Bagi pemasok produk dan logistik, sempat ada penurunan karena permintaan penjualan secara offline turun. Oleh karena itu, kami mencoba menyerap sebanyak mungkin produk petani untuk didistribusikan ke konsumen,” ujarnya.
Laporan ”Implications of Covid-19 for Retail and Consumer Goods in Indonesia” dari hasil survei perusahaan konsultan McKinsey & Company pada April 2020 terhadap 711 orang menunjukkan, 36 persen responden lebih banyak menggunakan aplikasi untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 40 persen responden menyatakan akan memanfaatkan e-dagang.
Sementara itu, kecenderungan publik untuk belanja ke toko fisik menurun. Sebanyak 40 persen responden menyatakan akan mengurangi frekuensi belanja secara fisik, seperti ke pasar tradisional dan toko ritel.
Fenomena ini terjadi karena hanya melalui layanan daring, seperti Sayurbox, masyarakat bisa memesan beragam produk, mulai dari sayur, buah, daging, ikan, hingga susu untuk dikirim langsung ke mereka. Dengan sistem informasi komputasi awan, mitra petani pun dapat dengan cepat memproses pesanan dan mendistribusikan produk melalui sistem logistik mereka, bahkan dalam waktu hingga kurang dari sehari.
”Sistem logistik kita bangun sendiri, ada juga integrasi dengan partner lain, tapi semua sistemnya kami kontrol. Ini untuk memastikan produk kami selalu terkontrol kualitasnya sampai ke tangan pelanggan,” kata Amanda.
Pada aplikasi, Sayurbox juga mengembangkan fitur untuk membantu pelanggan melacak pergerakan barang yang dipesan hingga asal muasal barang, seperti lokasi panen dan penyedia produk.
Perusahaan yang berdiri sejak 2016 itu sampai saat ini bekerja sama dengan sekitar 1.000 petani, utamanya di Pulau Jawa. Sayurbox juga telah menjual sekitar 2.000 produk di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali. Dalam waktu dekat, usaha rintisan tersebut juga hendak berekspansi ke Bandung.
Untuk mendukung peningkatan permintaan dan pengembangan layanan, infrastruktur teknologi yang mumpuni diperlukan untuk mengefisiensikan layanan. Vice President of Engineering Sayurbox Listiarso Wastuargo, pada kesempatan yang sama, mengatakan, strategi ini dilakukan untuk menangani kenaikan permintaan di awal pandemi.
”Pada Juli-Agustus 2020, kami pelan-pelan meng-upgrade teknologi kami dengan pindah ke hosting Amazon Web Services (AWS). Teknologi ini mampu memotong pengeluaran operasional sampai seperlima biaya dengan infrastruktur sebelumnya,” katanya.
Laporan lembaga keuangan internasional yang terafiliasi dengan Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC), mengatakan, pemanfaatan teknologi akan meminimalkan dampak dan mempercepat pemulihan usaha pascapandemi.
Pemanfaatan infrastruktur yang memungkinkan mereka untuk melayani secara daring akan memberikan keuntungan karena mengefisiensikan rantai pasok.
”Ini memerlukan investasi dalam teknologi, seperti internet untuk segala (IoT), komputasi awan, otomatisasi, dan analitik data. Dalam jangka panjang, penggunaan robotika, pesawat nirawak, dan kendaraan otonom membuka kesempatan kerja bagi pemilik keahlian khusus,” tulis laporan tersebut.