Siapkan Ekosistem untuk Tarik Investasi Kendaraan Listrik
Kenaikan tarif PPnBM kendaraan listrik hibrida untuk menarik investasi. Namun, investor juga perlu ekosistem yang mendukung penggunaan kendaraan listrik di Tanah Air.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menyiapkan ekosistem pendukung mobil listrik murni untuk menarik investasi di sektor industri ini secara maksimal. Langkah itu selaras dengan rencana pemerintah memperlebar selisih tarif pajak kendaraan listrik murni dengan kendaraan listrik hibrida.
Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Riyanto menyarankan pemerintah membuat berbagai jaringan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di ruas-ruas padat lalu lintas.
”Hal ini untuk memudahkan pengguna mobil mengisi daya mobil listrik. Rata-rata daya listrik rumahan masyarakat berkisar 450-1.300 volt ampere, jauh di bawah rekomendasi pabrikan mobil sebesar 2.200 volt ampere,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (16/3/2021).
Riyanto menambahkan, harga mobil listrik berkategori battery electric vehicle (BEV) atau mobil dengan sumber tenaga hanya dari baterai masih sulit dijangkau seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air. Sebab, harga mobil BEV rendah emisi yang sudah dipasarkan di Indonesia berkisar Rp 600 juta per unit. Padahal, penyerapan pasar otomotif roda empat terbesar ada pada segmen kendaraan multiguna (low multipurpose vehicle/LMPV) dan mobil ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) dengan kisaran harga Rp 200 juta-Rp 400 juta.
”Mobil listrik yang ada saat ini sebenarnya terlalu mahal untuk Indonesia. Banyak pula fasilitas atau fitur yang rasanya belum krusial,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk beberapa jenis kendaraan listrik hibrida. Kenaikan tarif PPnBM ini untuk menarik investasi industri kendaraan listrik murni dengan sumber tenaga hanya dari baterai.
Kenaikan tarif pajak akan memperbesar selisih tarif PPnBM mobil berkategori BEV dan mobil hibrida yang memadukan mesin konvensional dengan mesin baterai kategori plug-in hybrid electric vehicle (PHEV).
Kenaikan tarif PPnBM ini untuk menarik investasi industri kendaraan listrik murni dengan sumber tenaga hanya dari baterai.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif pajak antara kedua jenis mobil tersebut sama-sama 0 persen.
Kementerian Keuangan menyiapkan dua skema kenaikan tarif PPnBM untuk mobil hibrida. Skema pertama, kendaraan listrik berkategori PHEV dikenai tarif pajak 5 persen. Adapun kendaraan listrik full hybrid dikenai tarif pajak 6-8 persen, sedangkan kendaraan listrik kategori mild hybrid dikenai tarif 8-12 persen.
Pada skema kedua, kendaraan listrik PHEV dikenai tarif pajak 8 persen, full hybrid sebesar 10-12 persen, dan mild hybrid 12-14 persen.
Ekonom transportasi dan energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto, mengatakan, rencana pemerintah menaikkan tarif PPnBM kendaraan listrik hibrida menunjukkan prioritas pemerintah. ”Nampaknya pemerintah ingin Indonesia langsung meloncat ke BEV yang full battery,” katanya.
Ia menyebutkan, elektrifikasi kendaraan di negara-negara maju umumnya melalui masa transisi. Pasar kendaraan hibrida dan PHEV berkembang lebih dulu, disusul kendaraan listrik murni.
Menurut Joko, skema kenaikan PPnBM untuk kendaraan listrik hibrida akan mendorong penjualan kendaraan listrik murni. ”Penjualan BEV bisa terstimulasi, terutama di perkotaan,” ujarnya.
PPnBM lesu
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyampaikan, industri mobil listrik sangat terpukul sejak tahun lalu. Menurut dia, kondisi itu seiring penjualan mobil secara umum yang tertekan akibat krisis ekonomi sebagai dampak pandemi.
Dari sisi penerimaan pajak, penjualan mobil yang merosot berdampak signifikan terhadap penerimaan PPnBM. Sebab, sektor otomotif merupakan kontributor terbesar pajak atas konsumsi tersebut.
Suryo memaparkan, penerimaan PPnBM pada 2020 sebesar Rp 5 triliun atau setengah dari realisasi pada 2019 yang sebesar Rp 10 triliun. Sementara APBN 2021 mematok target penerimaan PPnBM dalam negeri Rp 7,9 triliun dan PPnBM impor Rp 4,6 triliun.
”Kalau tidak dibantu akan mengalami kondisi hampir sama dengan 2020, demikian juga dengan PPnBM. Kelesuan 2020 mengakibatkan penerimaan PPnBM menurun luar biasa,” kata Suryo. (DIM/CAS)