Astra, Jadi Kebanggaan Negara
Bekerja keras dan bekerja cerdas diterapkan Djony Bunarto Tjondro, Presiden Direktur PT Astra International Tbk.

Presiden Direktur PT Astra International Tbk Djony Bunarto Tjondro.
Djony, yang ditempa berbagai krisis, mengelola Astra agar menjadi kebanggaan bangsa dan negara serta menjaga 187.365 karyawan pada 238 anak usaha.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Presiden Direktur PT Astra International Tbk Djony Bunarto Tjondro, Selasa (9/3/2021).
Bagaimana strategi Anda memimpin Astra di tengah pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis kesehatan dan berdampak pada krisis ekonomi?
Memasuki keadaan krisis bukan sesuatu yang baru bagi saya. Tahun 2009, saat saya sebagai CEO ACC (Astra Credit Companies), juga baru ada krisis Lehman Brothers. Sebelumnya, saat saya masuk memimpin Isuzu, baru selesai solar naik 100 persen. Jadi, krisis bukan hal baru bagi saya, mungkin jalannya seperti itu.
Strategi jangka pendek selalu saya sampaikan. Pertama, sejak awal pandemi, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia, kami bergerak cepat. Kami canangkan work from home (bekerja dari rumah) dan work from office (bekerja dari kantor), kami bagi tim. Pada saat bersamaan, kami minta dibentuk gugus tugas Covid. Beberapa saat kemudian, kami juga punya pusat krisis untuk Covid, yang intinya tempat karyawan atau keluarga karyawan seandainya mereka terdampak Covid.
Pada saat bersamaan, dari sisi bisnis, kami segera konsolidasi total. Astra adalah konglomerasi dengan tujuh lini bisnis dan 230 lebih perusahaan yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Konsolidasi ini penting karena kami melihat pandemi tidak bisa diselesaikan cepat atau tidak bisa cepat berlalu. Konsolidasi pertama yang kami tekankan adalah protokol kesehatan. Prioritas pertama adalah kesehatan dan keselamatan karyawan. Itu adalah kebijakan yang kami keluarkan ke semua unit bisnis. Silakan setiap unit bisnis melakukan penyesuaian sesuai kondisi masing-masing.
Prioritas pertama adalah kesehatan dan keselamatan karyawan. Itu adalah kebijakan yang kami keluarkan ke semua unit bisnis.
Kedua, karena pada Maret-April 2020 kami melihat penurunan bisnis yang sangat drastis, kami segera meminta setiap unit bisnis menganalisis kembali proyeksi keuangan. Hal ini untuk memastikan likuiditas cukup. Kalau ada pinjaman, memastikan punya ruang cukup besar andaikata diperlukan sebab pemasukan tidak ada, sedangkan pengeluaran harus (ada) karena kami memiliki karyawan. Jadi, likuiditas menjadi hal yang sangat penting saat itu. Kami melihat neraca.
Ketiga, setiap unit bisnis melihat kembali struktur pengeluaran biaya. Biaya-biaya yang sifatnya tidak mendesak tolong ditahan. Sebab, kami kami yakin akan keluar banyak biaya, terutama, misalnya, membantu saudara-saudara kita. Kita yakin akan ada pengeluaran biaya ekstra di sana sehingga perusahaan-perusahaan kami minta menurunkan pengeluaran operasional, terutama yang tidak berpengaruh langsung terhadap operasi perusahaan, tidak mendesak, dan tidak tidak kritikal.
Terakhir, belanja modal konsolidasi kami pada 2019 sekitar Rp 21 triliun, sama persis dengan profit kami. Akan tetapi, dengan situasi yang ada, mau tidak mau, kami mengkaji prioritas. Mana yang diprioritaskan, mana yang tidak bisa ditunda, kami lihat di setiap unit bisnis.
Di Astra, kami bisa melakukan sebagai holding, tetapi yang paling penting adalah setiap unit bisnis di bawah Astra juga melakukan hal sama dengan satu irama dan satu mindset (pola pikir). Tetapi, kami juga mengingatkan, kami punya keyakinan, pandemi suatu hari akan berlalu sehingga jangan sampai kami mengorbankan sesuatu kepentingan jangka panjang. Misalnya, ada investasi yang akan berpengaruh terhadap Astra jangka panjang, jangan (dikorbankan).
Pada saat yang sama kami juga selalu melihat apakah ada peluang-peluang baru yang muncul bagi Astra. Jadi, prinsip kami, apa yang ada di depan kami kelola sebaik dan seefisien mungkin dengan tetap mendahulukan produktivitas. Akan tetapi, untuk masa depan bagi Astra, kami juga tidak ragu berinvestasi. Hal itu terbukti pada 2020, kami punya dua investasi cukup besar. Kami tetap percaya, begitu krisis berlalu, apa pun yang terjadi, negara ini menyimpan potensi sangat besar.
Baca juga: Memacu Energi Desa lewat Kearifan Lokal
Astra punya banyak lini bisnis. Berdasarkan pengalaman di masa pandemi dan kemungkinan di masa mendatang, pilihan mana yang diambil Astra?
Hari ini Astra memiliki tujuh pilar bisnis. Sebagian besar terdampak pandemi 2020. Pada 2021 kami masih tetap waspada.
Ketujuh pilar bisnis itu penting bagi Astra. Hal-hal fundamental yang seyogiayanya diterapkan harus dipastikan benar-benar dijalankan dengan disiplin di setiap unit bisnis. Operational excellence dan cost leadership harus terjaga baik. Customer satisfaction tidak boleh dikorbankan sama sekali. Hal-hal seperti ini harus tetap dijalankan. Seperti saya sampaikan di awal, dengan situasi ini kami memang sedikit mengerem belanja modal. Akan tetapi, kalau ada peluang yang baik, kami juga ambil.
Saya ambil contoh, pada November 2020 kami membeli 35 persen saham di salah satu seksi tol kami, Kebon Jeruk-Ulujami. Dari panjang tol ruas Trans-Jawa yang sekitar 1.150 kilometer, kami berpartisipasi di sekitar 358 kilometer. Tol menjadi salah satu prioritas kami juga di masa mendatang. Selama halal bisnisnya dan punya manfaat bagi siapa pun, kami terbuka untuk mengembangkan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F10%2F20181010_INDUSTRI-LOGAM_A_web_1539181849.jpg)
Pekerja PT Gaya Teknik Logam di Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, menyelesaikan pembuatan komponen suku cadang otomotif, Rabu (10/10/2018). PT Gaya Teknik Logam merupakan salah satu industri kecil menengah sektor logam di Tegal dampingan Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) yang telah memasok komponen suku cadang ke industri otomotif berskala nasional. Setidaknya, terdapat 3.000 IKM logam di Tegal dengan serapan tenaga kerja mencapai 31.000 orang.
Bagaimana Astra memandang tren pasar otomotif Indonesia? Apakah upaya pemerintah mendorong konsumsi, misalnya, melalui pemberian insentif PPnBM dan uang muka nol persen, cukup kuat mendukung kinerja penjualan otomotif di pasar domestik?
Ini persoalan yang cukup pelik. Otomotif biasanya menjadi proksi pertumbuhan ekonomi suatu negara, terutama negara yang memiliki produksi otomotif. Selain, misalnya, properti. Indonesia pernah mencapai (penjualan mobil di pasar domestik per tahun) 1,23 juta unit. Kemudian tertahan sekitar 1 juta unit pada saat pertumbuhan ekonomi 5,17 persen pada 2018 dan 5,02 persen pada 2019. Kemudian, pada 2020 penjualan hanya 532.000 unit.
Selain masalah pertumbuhan ekonomi, kami juga melihat, kecepatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita tidak cukup kuat untuk mendorong (penjualan) itu. Ini pendapat saya pribadi. Sering dibandingkan kenapa China dengan jumlah penduduk sekian bisa (menjual mobil lebih banyak), tetapi sering kita lupa, mobil di China relatif murah. Jadi, kalau kita ambil rasio PDB per kapita dibandingkan dengan harga mobil (di China), masih lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia.
Akan tetapi, apabila melihat prospek jangka panjang, dengan penetrasi roda empat di Indonesia yang hanya sekitar 10 persen, yakni 100 dibandingkan 1.000 orang penduduk, mestinya secara jangka panjang bisa. Apalagi hari ini Trans-Jawa sudah terhubung. Pemerintah ingin membangun lagi Trans-Sumatera dan segala macam. Mestinya prospek jangka panjang bagi otomotif empat roda di Indonesia akan tetap baik. Namun, banyak hal perlu didudukkan pada tempatnya supaya bisa direalisasikan. Pertumbuhan PDB harus cukup.
Hal lain menyangkut pabrikan. Kalau kita lihat, LCGC (low cost green car) yang pernah kami luncurkan pada Agustus 2013 saat itu harganya misalkan X rupiah. Hari ini sudah naik menjadi X plus sekian persen. Kenaikan bisa lebih cepat karena faktor inflasi, kenaikan harga bahan baku material, dan segala macam.
Untuk mengejar ini, saya melihat perlu ada, misalnya, model-model baru di bawah itu. Kenapa? Karena kami hubungkan dengan kendaraan bermotor dua roda. Hari ini model dua roda kami yang paling laris harganya Rp 15 juta-Rp 20 juta per unit. Sepuluh tahun lalu, model-model yang paling laris Rp 8 juta-Rp 12 juta. Artinya, ada perbaikan daya beli. Paling gampang melihat perbaikan daya beli masyarakat adalah pada saat mereka membeli sepeda motor dalam jangkauan mereka.
Kami melihat (masyarakat yang membeli motor seharga) Rp 15 juta-Rp 20 juta suatu hari akan naik terus kemampuan mereka. Kalau dari (pabrikan) empat roda juga meluncurkan produk yang semakin efisien, baik, dan murah akan mendekati. Apalagi kalau ada pembiayaan 4 tahun, 5 tahun, sehingga cicilan per bulan tidak terlalu terasa.
Menurut saya, PPnBM positif dalam jangka pendek. Akan tetapi, apakah kuat kalau (pemberian insentif) dilakukan dalam jangka panjang karena pemasukan pemerintah akan berkurang. Jadi, menurut saya, lebih baik mungkin dikaji kembali secara fundamental yang mesti dilakukan. Bukan cuma dari pemerintah yang diharapkan, tetapi juga dari pelaku bisnis. Kami di Astra melihat, pasti selalu ada peluang untuk segmen produk yang lebih rendah atau terjangkau. Hal itu yang sedang kami kaji. Akan tetapi, dalam jangka panjang, kami tetap optimistis dengan prospek otomotif.
Baca juga: Djony Bunarto Pimpin Astra International
Pemanfaatan teknologi digital merebak saat pandemi Covid-19. Bagaimana perusahaan Anda menghadapi dan mengoptimalkan penggunaan teknologi tersebut?
Dalam penggunaan teknologi, Astra memiliki ambisi besar. Tahun lalu, topik pembicaraan mengenai digital, termasuk rapat virtual, dengan pemegang saham cukup mendominasi, yakni sekitar 60 persen. Bagi Astra, digitalisasi merupakan keharusan.
Ada beberapa kategori yang terdiri dari, pertama, teknologi digital yang digunakan unit bisnis untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta mengurangi faktor kesalahan dalam rantai proses perusahaan sehingga korporasi lebih modern. Saya menyebutnya modernizing the core lewat surat yang dikirimkan kepada setiap pimpinan anak usaha. Ini adalah memodernisasi proses inti perusahaan. Setiap unit bisnis berlomba-lomba untuk transformasi digital.
Dalam penggunaan teknologi, Astra memiliki ambisi besar.
Kedua, transformasi digital untuk memberikan pengalaman lebih baik kepada pelanggan. Kami meningkatkan user experience sehingga pelanggan saat masuk memperoleh pengalaman menarik. Apalagi, demografi pengguna saat ini mayoritas dari kelompok muda. Mereka akan lebih nyaman ketika berhubungan dengan kami dan jauh lebih efisien dengan waktu respons lebih baik. Ini adalah digitalisasi untuk mengeratkan relasi dengan pelanggan sehingga tetap berada dalam ekosistem lewat pengalaman interaksi lebih baik dengan Astra dan unit bisnisnya.
Transformasi digital pada kategori ini tidak cukup pada setiap anak usaha. Kami juga mengapitalisasi terhadap ekosistem. Misalnya, ketika pelanggan mengakses aplikasi Toyota, dia juga dapat melihat layanan unit bisnis lain yang ada di ekosistem kami. Kami kombinasikan online-to-offline atau O2O. Saya ambil contoh berbelanja mobil. Saya rasa, orang Indonesia masih sulit berbelanja mobil tanpa melihat maupun meraba tempat duduk dan material lalu mencobanya karena mobil masih tergolong barang mewah yang menjadi idaman. Inilah yang menyebabkan pengalaman berbelanja mesti O2O yang dibuat semulus mungkin. Astra memiliki kekuatan di offline (penjualan fisik) yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun sehingga mengombinasikan dengan online menjadi tantangan. Namun, proses tersebut sedang berjalan dan banyak yang sudah terjadi. Misalnya, aplikasi Digiroom dari Auto2000 yang memungkinkan pengguna memasang layanan secara dalam jaringan. Pengguna juga dapat memilih lokasi test drive yang diinginkan. Layanan perawatan juga tidak bisa secara daring dan mesti bertemu fisik. Memang ada disrupsi dari pemain-pemain baru yang mencoba mengubah, tetapi kami meyakini kekuatan layanan fisik kami.
Ketiga, saat ini bermunculan usaha rintisan digital. Ada e-dagang, teknologi kesehatan, dan teknologi pendidikan. Astra melihat ada peluang atau tidak di usaha-usaha rintisan tersebut. Kami mengetahui konsumsi digital akan semakin tinggi seiring profil demografis Indonesia. Dampaknya, teknologi digital menjadi keharusan untuk direngkuh dan bagian dari formulasi strategi perusahaan ke depan supaya tetap berlanjut dan relevan.
Baca juga: Astra Infra Akuisisi 44,5 Persen Tol Surabaya-Mojokerto
Bagaimana mengejawantahkan nilai-nilai dasar Catur Dharma terkait dengan kelincahan Astra menghadapi tantangan dan menangkap peluang?
Lentur pasti. Kita harus realistis bahwa korporasi harus agile beradaptasi terhadap perkembangan. Akan tetapi, di dalam visi baru Astra, nilai-nilai Catur Dharma itu masih melekat. Visi Astra yang ada, sebelum saya ubah, sebetulnya sudah 20 tahun dari sejak tahun 2000. Dulu zaman Oom William (William Soeryadjaya) sudah ada Catur Dharma, tetapi belum diformulasikan. Kemudian pada 2000 mulai diformulasikan supaya lebih cantik karena sebagai korporasi kami ingin lebih dikenal di luar.
Tahun ini kami sudah ubah kembali, hanya sedikit, supaya menggambarkan bagaimana kami ingin mengubah Astra lebih modern, lebih intelligent, dan lebih agile. Akan tetapi, falsafah Catur Dharma itu sangat melekat. Bagaimana kami tetap ingin bermanfaat bagi bangsa dan negara. Kami mengutamakan kerja sama. Kami menjadi aset yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Itu masih ada di dalam visi kami, tidak pernah kami lepaskan. Tagline menjadi kebanggaan bagi negara masih tetap kami pegang. Menurut saya, Catur Dharma itu DNA kami. Tidak bisa dipisahkan. Hal yang saya harapkan, siapa pun pemimpin Astra, (Catur Dharma) harus tetap kami rengkuh, kami pegang dengan erat. Nilai-nilai Catur Dharma harus menjadi sesuatu yang kami pegang.

Kunjungan Astra Infra ke rest area tipe B Km 695 di Tol Jombang-Mojokerto, Senin (25/2/2019).
Bagaimana cara Bapak mengelola stres?
Soal mengelola stres, saya selalu berbicara kepada pendahulu, jangan terlalu termakan omongan buku-buku luar negeri yang mengatakan ”manage your stress” dan ”bekerjalah secara cerdas, jangan bekerja keras”. Saya orang yang sangat realistis. Menurut saya, tidak ada orang yang dapat berpikir secara jernih dan detail kalau tidak ada fungsi waktu. Bagaimana kita bisa bekerja cerdas tanpa mengonsumsi waktu? Kalau saya berprinsip sederhana, bekerja keras dan bekerja cerdas. Ini bagi saya pribadi. Mungkin ada rekan-rekan yang dapat mengaplikasikan bekerja cerdas tidak perlu kerja keras. (CAS/JUD/IDR)