”Mr Hu” dan Serangan Ganda bagi UMKM
Belum usai bertahan dari gempuran imbas Covid-19, ”Mr Hu” datang. Pelaku UMKM dibayang-bayangi ancaman maraknya produk impor berharga lebih murah.
JAKARTA, KOMPAS — Serangan ganda tengah melanda pelaku usaha mikro, kecil, dan menegah, serta industri domestik. Di tengah perjuangan mempertahankan usaha yang terimbas pandemi, produk-produk impor murah menyerbu melalui perdagangan secara daring atau e-dagang.
Produk impor berharga kompetitif ini dapat mengancam pelaku usaha dan industri domestik, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Oleh karena itu, selain pengawasan dan penindakan, pemerintah diminta untuk meningkatkan kapasitas pelaku usaha dan daya saing produk lokal melalui pendekatan terintegrasi.
Isu produk impor dengan harga kompetitif atau lebih murah dari produk sejenis buatan dalam negeri ini sebenarnya kerap mengemuka. Isu ini kembali menghangat setelah belakangan ini warganet ramai membicarakan ”Mr Hu” dan tagar #SellerAsingBunuhUMKM. Hal ini mengemuka setelah beberapa konsumen mengunggah gambar produk yang dibeli di e-dagang dengan kemasan paket bertertuliskan nama pengirim ”Mr Hu” dari Guangdong, China.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Jumat (19/2/2021), mengatakan, ada berbagai faktor yang selama ini menjadikan produk impor berharga murah. Industri kecil, sedang, dan besar di negara asal lebih terintegrasi sehingga mampu memperbesar skala ekonomi. Kemampuan memproduksi barang dalam jumlah besar tersebut menjadikan biaya dan harga per unit produk impor menjadi kompetitif.
”Selain itu, juga banyak stimulus yang diberikan pemerintahnya,” kata Faisal ketika dihubungi di Jakarta.
Stimulus atau subsidi tersebut, lanjutnya, tidak hanya berupa korting pajak dan pengembalian pajak (tax rebate), tetapi juga dukungan pembiayaan, pendampingan, dan akses pasar. Dukungan dari hulu hingga hilir tersebut meningkatkan daya saing produk untuk mengisi pasar domestik dann ekspor.
Kegiatan e-dagang berupa impor barang kiriman meningkat dari 6,1 juta paket pada 2017 menjadi 48,69 juta paket pada 2019.
Berdasarkan dokumen impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, kegiatan e-dagang berupa impor barang kiriman meningkat dari 6,1 juta paket pada 2017 menjadi 48,69 juta paket pada 2019. Adapun nilai impor barang kiriman naik dari 290 juta dollar AS menjadi 673,87 juta dollar AS.
Adapun Bank Indonesia memperkirakan, nilai transaksi e-dagang di Indonesia pada 2021 akan tumbuh 33,2 persen menjadi Rp 337 triliun. Pada 2020, nilai transaksi e-dagang diperkirakan Rp 253 triliun. Sebelumnya pada 2017, 2018, dan 2019, nilai transaksi e-dagang di Indonesia berturut-turut sebesar Rp 44,75 triliun, Rp 106,5 triliun, dan Rp 201 triliun.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memproteksi masuknya produk-produk berharga murah dari luar negeri yang diberi secara daring. Pada 2019, Kementerian Keuangan telah menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS. Barang impor dengan harga di atas 3 dollar AS dikenai pajak 17,5 persen yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen dan Pajak Pertambahan Nilai 10 persen.
Baca juga: Kualitas untuk Lawan Impor
Menurut Faisal, dalam jangka pendek, kebijakan protektif seperti itu memang dapat mengurangi penetrasi produk impor. Pada tahap awal, tindakan ini dapat melindungi pelaku UMKM dalam negeri yang belum semaju pelaku usaha di negara lain.
”Tapi, kalau proteksi ini tidak diikuti peningkatan kapasitas UMKM secara internal agar semakin kompetitif di pasar, efektivitasnya jadi rendah. Bahkan, mungkin malah bisa jadi merugikan konsumen,” katanya.
Ia menambahkan, isu peningkatan daya saing produk dalam negeri mesti cepat direspons agar dampaknya tidak makin parah bagi UMKM. Apalagi, Indonesia telah banyak menandatangani berbagai kesepakatan atau perjanjian kerja sama ekonomi, baik regional maupun bilateral, yang intinya menjadikan pasar makin terderegulasi.
Indonesia terancam hanya akan menjadi pasar ketika kapasitas pelaku usaha dalam negeri tidak mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi. ”Hal ini karena tujuan dari kesepakatan itu adalah menurunkan hambatan-hambatan dalam perdagangan, termasuk e-dagang,” ujar Faisal.
Sementara Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengemukakan, salah satu konsekuensi dari berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani pemerintah adalah Indonesia menjadi target pasar produk dari negara lain.
”Apalagi dengan adanya aktivitas secara digital, ya, pasti terjadi perdagangan lintasnegara. Masuknya produk-produk impor bisa mengancam UMKM yang belum mampu berkompetisi,” ujar Ikhsan.
Dengan adanya aktivitas secara digital, ya, pasti terjadi perdagangan lintasnegara. Masuknya produk-produk impor bisa mengancam UMKM yang belum mampu berkompetisi.
”Mr Hu”
Terkait dengan hal tersebut, Ikhsan menuturkan, komitmen pemerintah memprioritaskan produk lokal dalam pembelian atau pengadaan belanja saat ini dibutuhkan untuk menyerap produk UMKM. Langkah tersebut sekaligus dapat menginspirasi konsumen dalam negeri mencintai dan membeli produk UMKM Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menuturkan, masuknya produk impor dengan harga murah ke Indonesia dipengaruhi oleh kombinasi sejumlah faktor. Faktor-faktor itu, antara lain, adalah konsumen di Indonesia yang berorientasi harga, platform yang membutuhkan banyak konsumen untuk menaikkan valuasi, dan UMKM di Indonesia yang tidak bersaing di sisi harga.
”Kombinasi (faktor) itulah yang menyebabkan masuknya ’Mr Hu’ ke platform salah satu e-dagang di Indonesia dengan menyediakan barang dengan harga jauh lebih murah dibanding dengn produk UMKM lokal,” kata Nailul Huda dalam acara Indef Talks bertema ”Ramai Tagar #SellerAsingBunuhUMKM kah?” yang ditayangkan langsung melalui akun instagram Indef, Jumat malam.
Baca juga: ”Banjir” Produk Impor, Industri Nasional Kian Terpukul
Apalagi, lanjut Huda, e-dagang di China sudah lama berkembang. Pemerintah China juga memiliki beberapa program yang memampukan diproduksinya barang dengan lebih efisien. Oleh karena itu, jika Indonesia mau mengembangkan UMKM, upaya itu perlu dibarengi dengan biaya logistik yang murah yang mampu mendukung peningkatan efisiensi UMKM. Dengan begitu, daya saing produk UMKM lokal akan meningkat.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, pemerintah berkomitmen melindungi UMKM. ”Jika diperlukan, Kemenkop UKM akan mendorong diterbitkannya kebijakan pemerintah untuk melindungi UMKM dari praktik perdagangan yang tidak adil,” ujarnya melalui siaran pers, Jumat.
Kemenkop UKM akan memitigasi aktivitas perdagangan lintasnegara yang mengancam UMKM dan produk lokal. Koordinasi dilakukan dengan Kementerian Perdagangan untuk mengecek kepatuhan semua penyedia marketplace atau laman pemasaran terhadap ketentuan perdagangan melalui sistem elektronika.