Kontraksi Ekonomi 2020 Dipengaruhi Inkonsistensi Kebijakan
Pertumbuhan ekonomi pada 2020 diperkirakan minus 2 persen hingga minus 2,15 persen. Kontraksi ekonomi ini terjadi lantaran dipengaruhi inkonsistensi kebijakan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/agnes theodora/erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 dipastikan terkontraksi. Tekanan terhadap perekonomian terjadi akibat inkonsistensi kebijakan pengendalian pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2020 pada Jumat ini. Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berkisar antara minus 2 persen dan minus 2,15 persen. Adapun proyeksi pemerintah minus 1,7 sampai 2,2 persen.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, berpendapat, kontraksi ekonomi sepanjang 2020 secara umum disebabkan langkah penanganan krisis kesehatan yang kurang efektif dan efisien. Sistem penelusuran kontak dan pengetesan tak ada perbaikan signifikan sehingga kasus Covid-19 meningkat.
Selain itu, implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah juga tak optimal. Protokol kesehatan tidak diterapkan secara ketat sehingga penyebaran Covid-19 cukup masif. Akibatnya, PSBB berulang kali diberlakukan sehingga semakin memperburuk kontraksi ekonomi.
”Secara teori penerapan PSBB benar, tetapi dalam implementasinya sangat lemah sehingga dampak yang diinginkan tidak tercapai,” ujarnya, Kamis (4/2/2021).
Kontraksi ekonomi sepanjang 2020 secara umum disebabkan langkah penanganan krisis kesehatan yang kurang efektif dan efisien.
LPEM UI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 berkisar minus 2 persen hingga minus 2,1 persen. Perekonomian RI akan terus tertekan selama pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan dan tidak ada tanda berakhir dalam waktu dekat. Aktivitas ekonomi paling buruk terjadi pada triwulan II dan III-2020.
Riefky menambahkan, pada tahun ini, pemerintah harus berkaca dari pengalaman tahun lalu. Tanpa penerapan dan implementasi protokol kesehatan yang ketat, pola perilaku masyarakat semakin lalai.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memproyeksikan, ekonomi pada 2020 tumbuh negatif 2,15 persen. Faktor yang mendominasi kontraksi adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Pandemi Covid-19 menurunkan aktivitas ekonomi dan produktivitas sektor manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.
”Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan terendah sejak 1999, di mana pascakrisis moneter 1998 pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen,” ujar Josua.
Upaya memulihkan ekonomi dari kontraksi tidak mudah. Pemerintah harus fokus mengendalikan Covid-19 dan mengoptimalkan vaksinasi dalam rangka menciptakan kekebalan komunitas (herd immunity). Selain itu, anggaran pemulihan ekonomi juga harus dimanfaatkan dan diserap optimal.
Pemerintah harus fokus mengendalikan Covid-19 dan mengoptimalkan vaksinasi dalam rangka menciptakan kekebalan komunitas.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menekankan, sektor kesehatan tetap menjadi prioritas pemerintah dalam pemulihan ekonomi tahun 2021. Selain memberikan insentif ke tenaga medis, pemerintah juga mempertimbangkan pemberian insentif bagi tenaga vaksinasi.
”Sampai saat ini, belum ada perubahan kebijakan mengenai insentif nakes sehingga insentif yang berlaku tetap sama dengan yang diberlakukan pada 2020,” ujar Yustinus.
Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan masih berkoordinasi untuk menetapkan detail alokasi anggaran penanganan Covid-19. Hal ini karena dengan berlakunya Undang-Undang APBN 2021, besaran insentif tenaga kesehatan dan santuan kematian memang perlu ditetapkan kembali.
Anggaran kesehatan dalam UU APBN 2021 akan ditingkatkan dari pagu awal Rp 169,7 triliun menjadi Rp 254 triliun. Alokasi anggaran kesehatan, antara lain, untuk pemberian insentif dan santunan kematian tenaga kesehatan, vaksinasi tenaga kesehatan dan masyarakat, perawatan pasien, serta pengadaan alat kesehatan.
”Dukungan untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19, tenaga vaksinasi, dan penerapan disiplin kesehatan tetap menjadi prioritas, termasuk prioritas mendapatkan vaksinasi tahap pertama,” kata Yustinus.
Anggaran kesehatan dalam UU APBN 2021 akan ditingkatkan dari pagu awal Rp 169,7 triliun menjadi Rp 254 triliun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menambahkan, pemerintah tetap memberikan insentif bagi tenaga kesehatan. Namun, saat ini besaran insentif memang sedang ditinjau ulang karena disesuaikan dengan kemampuan negara. Tenaga kesehatan diminta tidak perlu khawatir.
Investasi
Pemerintah meyakini investasi bisa menopang pertumbuhan ekonomi 2021. Salah satunya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, desain transformasi ekonomi lewat UU sapu jagat itu perlu diperjelas dengan strategi yang terarah dan terintegrasi lintas sektor.
Badan Koordinasi Penanaman Modal menargetkan realisasi investasi pada 2021 bisa mencapai Rp 858,5 triliun dengan porsi sektor sekunder atau manufaktur sebesar Rp 268,7 triliun atau 31,3 persen dari total investasi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis, mengatakan, pemerintah perlu memperjelas dan menyinkronkan desain transformasi ekonomi yang diinginkan lewat berlakunya UU Cipta Kerja dan berbagai peraturan turunannya.
UU Cipta Kerja bisa menjadi daya dorong, tetapi bukan satu-satunya faktor penarik investasi yang berkualitas. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi strategi yang kuat lintas sektor. Sinkronisasi regulasi antara kebijakan investasi, perindustrian, dan perdagangan harus sejalan, demikian pula implementasinya di lapangan.
Sementara itu, di tengah kebutuhan pembiayaan yang tinggi untuk menangani Covid-19 dan memulihkan ekonomi, pemerintah masih harus menanggung risiko utang. Sampai akhir 2020, total utang pemerintah Rp 6.074,56 triliun. Sebanyak 86 persen utang itu berasal dari penerbitan surat berharga negara sebesar Rp 5.221,65 triliun, sedangkan sisanya pinjaman luar negeri.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, pemerintah perlu mengambil strategi lain untuk membiayai belanja negara selain dengan berutang. Jika tetap mengandalkan utang, utang pemerintah pada 2022 bisa menembus Rp 8.669 triliun, dengan rasio utang lebih dari 52 persen.
”Pada akhir 2020, rasio utang terhadap produk domestik bruto mencapai 38,68 persen. Utang meningkat tajam karena pendapatan negara turun drastis akibat pandemi, sementara kebutuhan belanja meningkat untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.