Dana investasi harus ditempatkan pada proyek-proyek infrastruktur yang menghasilkan dampak pengganda bagi ekonomi sehingga pengembaliannya cepat.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/cyprianus anto saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Pengelola Investasi mesti menempatkan dana kelolaan pada proyek-proyek yang dapat menciptakan efek pengganda bagi perekonomian. Jika tidak, lembaga sovereign wealth fund milik Pemerintah RI ini hanya akan menambah beban negara.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, Rabu (3/2/2021), menuturkan, periode krisis yang semakin pendek menyebabkan kepercayaan investor global bergeser. Mereka lebih tertarik menempatkan dana di pasar modal ketimbang penanaman modal langsung.
Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor. Dana investasi akan dijamin Pemerintah RI sehingga risiko investasi relatif terkendali. Namun, pengelolaan dana investasi harus hati-hati agar tidak menambah beban negara.
”Dana investasi harus ditempatkan pada proyek-proyek infrastruktur yang menghasilkan dampak pengganda bagi ekonomi sehingga pengembaliannya cepat,” kata Aviliani dalam webinar Indef bertajuk ”Untung Rugi LPI”.
Lembaga sovereign wealth fund (SWF) milik Pemerintah RI ini didirikan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan sehingga salah satu fokusnya adalah membantu kebutuhan pembiayaan infrastruktur. Investasi yang dibutuhkan berkisar Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada 2021.
Dana investasi harus ditempatkan pada proyek-proyek infrastruktur yang menghasilkan dampak pengganda bagi ekonomi sehingga pengembaliannya cepat.
Aviliani menekankan, LPI mesti menempatkan dana kelolaan pada proyek infrastruktur yang pasti menimbulkan efek pengganda ekonomi. Jika tidak, beban negara akan bertambah karena harus menanggung utang atau bunga. Semakin besar efek pengganda yang tercipta, pengembalian dana investasi akan semakin cepat.
”Selama ini kelemahan Indonesia membangun infrastruktur dari sisi supply bukan demand. Padahal, yang harus dibangun duluan adalah infrastruktur yang dapat membuat ekonomi bergerak cepat,” kata Aviliani.
Dalam kesempatan terpisah, Rabu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, investasi yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan Indonesia sangat besar. Kebutuhan investasi tidak mungkin hanya bersumber dari pemerintah sehingga perlu ada inovasi dan terobosan.
Berdasarkan hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dari total kebutuhan investasi pada 2021 sebesar Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun, kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun, badan usaha milik negara (BUMN) 7 persen atau Rp 400 triliun, dan sisanya 85-90 persen dari swasta.
Dari total kebutuhan investasi pada 2021 yang sebesar Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun, kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun.
Tata kelola
Merujuk kajian Harvard University, Chief Economist Trimegah Securities Fakhrul Fulvian menuturkan, ada beberapa hal penting dalam melihat SWF. Paling tidak ada empat hal yang harus diperhatikan, yakni saving rule, spending rule, strategi investasi, serta pengelolaan dan implementasi.
Terkait saving rule, Fakhrul menuturkan, sudah ada penjelasan bahwa pemerintah akan melakukan penyertaan modal dari aset negara ke Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Selain dari aset negara, investasi pemerintah pusat juga dapat berasal dari aset BUMN. Kewenangan LPI dan pengelolaan investasi ke sektor-sektor tertentu pun juga telah diinformasikan.
”Investasinya itu harus ke sektor potensial, seperti infrastruktur dan sektor-sektor bisnis lainnya,” ujarnya.
Aturan pengelolaan juga sudah ada, dalam hal ini LPI menyampaikan laporan pertanggungjawaban dan laporan kepada Presiden. ”Hal yang mungkin akan menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana spending role harus diperjelas,” katanya.
Menurut Fakhrul, mekanisme dan strategi keluar dari bisnis-bisnis yang ada dalam SWF. Dia memisalkan aset negara berupa jalan tol yang diinvestasikan dalam SWF.
”Ketika nantinya investasi ini mature di masa depan, di mana nantinya negara Indonesia ataupun BUMN bisa membeli kembali asetnya, itu belum dijelaskan dalam proposal yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, konsep proyek strategis nasional pun mesti diperjelas. ”Strategis itu untuk siapa? Strategis versi pemerintah belum tentu dilihat strategis oleh investor. Sebab, ukuran utama bagi investor itu tetap saja adalah profit,” katanya.
Indonesia membuka pintu masuk untuk SWF di awal-awal ini adalah pada proyek strategis nasional infrastruktur. ”Pertanyaan baliknya adalah apakah investor mau ke situ (infrastruktur)? Walaupun mungkin ada komitmen dari berbagai negara untuk masuk ke bentuk-bentuk yang kita tawarkan, tentu ke depan harus ada realisasinya,” kata Eko.
Berdasarkan hasil survei The International Forum of Sovereign Wealth Fund (IFSWF), yakni sebuah organisasi yang meriset tentang SWF, negara maju akan lebih cepat pulih dari pandemi Covid-19. ”Maka, tentu preferensi untuk menginvestasikan uang juga akan lebih ke negara maju. Jadi, tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk bisa merealisasikan dana investasi melalui SWF,” kata Eko.
Meski sektor infrastruktur masih menarik, Eko menuturkan, dalam tiga tahun terakhir jenis investasi yang digemari oleh para investor SWF cenderung mengarah ke teknologi dan telekomunikasi. "Karena (SWF) ini investasi jangka panjang, maka mereka juga melihat ke jangka panjang," ujarnya.