Selisih Harga Melebar, Subsidi Biodiesel Membengkak
Perolehan dana pungutan ekspor kelapa sawit tahun 2021 diperkirakan Rp 26,87 triliun, sementara kebutuhan program B-30 mencapai Rp 55,35 triliun. Melebarnya selisih harga solar dan biodiesel dongkrak kebutuhan subsidi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selisih harga solar dan bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit melebar sehingga berdampak pada membengkaknya kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel. Selisih harga melebar seiring turunnya harga solar di tengah anjloknya harga minyak mentah dunia.
Menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, harga solar dunia sepanjang tahun 2020 berfluktuasi di rentang yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan harga biodiesel. Per September 2020, selisih harga antara solar dan biodiesel 461 dollar AS per ton.
”Selisih tersebut berdampak pada program biodiesel nasional sehingga perlu ada mitigasi karena ini program pemerintah. Kami mengharapkan ada bantuan anggaran pemerintah,” ujarnya dalam Indonesian Palm Oil Conference 2020 yang digelar secara virtual, Rabu (2/12/2020).
Regulasi mengenai subsidi beserta pengelolaan dana kelapa sawit tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Peraturan ini menjadi landasan kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dana yang dihimpun BPDPKS, antara lain, disalurkan untuk kepentingan peremajaan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, sesuai Pasal 18 Ayat 1, dana juga digunakan untuk menutup selisih antara harga indeks pasar bahan bakar minyak jenis solar dan biodiesel.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pelebaran selisih antara harga solar dan biodiesel berdampak pada keberlanjutan BPDPKS. Oleh sebab itu, dia berharap ada kebijakan fiskal dari pemerintah, terutama dalam program campuran bahan bakar biodiesel sebanyak 30 persen atau B-30.
Peraturan yang sama menyatakan, sumber dana yang dikelola oleh BPDPKS berasal dari pungutan ekspor. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, pungutan ekspor untuk produk minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebesar 55 dollar AS per ton dan berlaku sejak 1 Juni 2020. Berbeda dengan sebelumnya, aturan ini tidak menyebutkan harga patokan CPO sebagai acuan.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin memperkirakan, berdasarkan data yang dia olah, ekspor CPO pada tahun 2021 bisa mencapai 34,5 juta ton. Pengeluaran untuk program B-30 sebesar Rp 55,35 triliun. Agar BPDPKS dapat bertahan, pemerintah mesti memberikan subsidi atas selisih tersebut.
Artinya, dengan kurs referensi Bank Indonesia per Rabu (2/12/2020), perolehan dana dari pungutan ekspor berdasarkan PMK No 57/2020 diperkirakan Rp 26,87 triliun. Jika disandingkan dengan kebutuhan dana program B-30, selisihnya Rp 28,48 triliun.
Perolehan dana dari pungutan ekspor diperkirakan Rp 26,87 triliun, sementara kebutuhan dana untuk program B-30 sebesar Rp 55,35 triliun.
Di sisi lain, BPDPKS telah menetapkan bahwa standar biaya dana peremajaan perkebunan kelapa sawit sebesar Rp 30 juta per hektar mulai 1 Juni 2020. Nilai ini ditetapkan melalui Keputusan Direktur Utama BPDPKS nomor KEP-167/DPKS/2020. Sebelumnya, dana peremajaan perkebunan kelapa sawit Rp 25 juta per hektar.
Target peremajaan
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono menyatakan, luas perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani rakyat sekitar 6,72 juta hektar. Sebanyak 2,78 juta hektar di antaranya mesti diremajakan.
Oleh sebab itu, program peremajaan perkebunan sawit rakyat sepanjang 2020-2022 ditargetkan mencapai 180.000 hektar per tahun. Agar memudahkan petani rakyat dalam mengajukan diri pada program ini, pemerintah telah menyederhanakan proses verifikasi menjadi satu langkah.
Eddy memaparkan, sepanjang Januari-Oktober 2020, BPDPKS telah menyalurkan dana peremajaan kebun kelapa sawit rakyat sebesar Rp 1,85 triliun. Luas lahan yang tercakup dalam pendanaan ini 67.018 hektar dengan jumlah petani sebanyak 28.794 orang.