Optimalisasi Penggunaan Energi Terbarukan Lebih Efektif dari Level Rumah Tangga
Penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan sebagai bentuk konservasi energi menjadi hal mendesak untuk menekan laju krisis iklim. Perubahan ini bisa dimulai dari level rumah tangga.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan sebagai bentuk konservasi energi menjadi hal mendesak untuk menekan laju krisis iklim. Langkah ini bisa dimulai dari level rumah tangga.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam webinar bertajuk ”Hidup Baru dengan Energi Terbarukan”, Senin (30/11/2020), memaparkan, emisi gas rumah kaca global telah memicu krisis iklim. Hal itu memicu kenaikan suhu global rata-rata 1 derajat celsius sejak abad ke-19.
”Sekitar 70 persen emisi gas rumah kaca global disumbang konsumsi energi manusia karena kita membakar energi fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan gas,” katanya.
Pada 2015, Indonesia menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat dan penghasil emisi per kapita tahun terbesar ketiga di dunia. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29 persen sampai 41 persen pada 2030.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Siti Zunariyah pada kesempatan sama, berpendapat, keluarga sebagai basis kecil penggunaan dan pengelola energi bisa berkontribusi bagi pengendalian emisi gas karbon.
Keluarga berperan penting karena pada 2019, sektor rumah tangga ikut berkontribusi mengonsumsi energi sampai sekitar 16 persen dari seluruh pangsa konsumen energi secara nasional. Sebagian besar energi di rumah tangga digunakan untuk transportasi pribadi (32 persen), rumah dan bangunan (28 persen), serta makanan dan minuman (15 persen).
”Rumah tangga menjadi pintu masuk upaya reduksi dan diversifikasi energi. Penelitian mengatakan, efisiensi di rumah tangga bisa menurunkan 20 persen dari total pengeluaran energi kita,” katanya.
Rumah tangga bisa mengubah pola konsumsi energi dengan mengurangi pemakaian listrik dan bahan bakar transportasi. Lalu, diversifikasi energi dengan pembangkit listrik baru dan terbarukan, seperti panel surya atau angin. Pemanfaatan limbah rumah tangga untuk sumber energi alternatif juga bisa mendiversifikasi energi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Siti, perlu ada tiga pendekatan dalam pemberdayaan sektor rumah tangga, yakni mengubah pola pikir dan kultur, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, serta dukungan kebijakan.
”Tiga pendekatan itu tidak bisa terlepas satu sama lain. Ini jadi satu gagasan yang harus dipahami bersama,” katanya.
Mengenai dukungan kebijakan, Siti menyebut, hal itu perlu upaya proaktif dari pemangku kebijakan karena individu di rumah tangga cenderung pasif dan bergantung pada kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat.
Kejar target
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menuturkan, pemerintah terus berupaya meningkatkan energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional kendati banyak tantangan.
Pada 2025, pemerintah diketahui menargetkan pemanfaatan EBT sampai 23 persen. Namun, sampai tahun 2019, pemanfaatan EBT baru 9,2 persen. Adapun tahun ini diproyeksikan mencapai 10,9 persen.
Tidak hanya itu, pada 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca 314 juta ton karbon dioksida sesuai ratifikasi Paris Agreement pada November 2016.
”Pencapaian sejauh ini kalau kita tarik trennya memang akan sulit mencapai target,” ujarnya.
Dalam jangka pendek, Dadan menyebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM akan fokus mengerjakan dua strategi sembari menunggu permintaan listrik kembali normal. Seperti diketahui, pandemi 2020 ini membuat permintaan energi, baik dalam bentuk listrik maupun bahan bakar, menurun.
Dua strategi yang dijalankan, yakni substitusi energi primer atau final, seperti pemanfaatan sampah kota menjadi bahan bakar refuse-derived fuel (RDF) atau mencampurkan sumber energi yang dibuat dari teknologi lama dengan biomassa.
Kedua, konversi pembangkit energi berbahan fosil ke pembangkit EBT, seperti pembangkit listrik tenaga surya.
Selain itu, untuk jangka panjang, kapasitas EBT akan ditambah dengan menghadirkan EBT yang tarifnya kompetitif. Terakhir, pemanfaatan EBT nonlistrik dan non-BBM untuk sektor pertanian dan industri.