Garuda Indonesia Segera Terbitkan Surat Utang Rp 8,5 Triliun
Garuda Indonesia segera menerbitkan obligasi wajib konversi senilai Rp 8,5 triliun dengan tenor maksimal 7 tahun. Pemerintah lewat PT SMI akan bertindak sebagai pembeli siaga.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memberikan izin untuk menerbitkan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond) senilai Rp 8,5 triliun dengan tenor maksimal 7 tahun. Dana yang didapat dari surat utang itu akan digunakan untuk mendukung likuiditas, solvabilitas, dan pembiayaan operasional guna memulihkan kinerja perseroan.
Restu itu didapat melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Garuda Indonesia, Jumat (20/11/2020). Penerbitan obligasi wajib konversi akan dieksekusi melalui lembaga pelaksana investasi Kementerian Keuangan, yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI, dan diharapkan cair sebelum akhir 2020. Dalam hal ini, pemerintah lewat PT SMI bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer).
Obligasi dengan tenor maksimal 7 tahun itu dilakukan melalui mekanisme penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu atau private placement. Pada saat jatuh tempo, obligasi tersebut wajib dikonversi menjadi saham baru seri B.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, target utama penerbitan obligasi ini adalah menjamin kelangsungan perusahaan di tengah pandemi. Garuda, sebagaimana industri penerbangan lainnya di seluruh dunia, mengalami pukulan keras akibat kebijakan restriksi bepergian yang diterapkan di banyak negara. Sepanjang separuh awal tahun 2020, jumlah penumpang Garuda turun drastis hingga 95 persen akibat pandemi.
”Target awalnya menjamin kelangsungan perusahaan. Namun, lepas dari itu kami juga berharap langkah ini bisa mendorong lebih cepat pemulihan industri penerbangan secara keseluruhan dan membantu pemulihan perekonomian nasional,” ujarnya dalam telekonferensi pers setelah RUPSLB.
Dalam kontrak dengan PT SMI selaku pelaksana investasi, batas-batas penggunaan dana hasil obligasi itu akan diatur sedemikian rupa. Ada dos and dont’s atau apa yang boleh dan tidak diperbolehkan. ”Kami akan tetap berkomitmen, uang hanya digunakan untuk memastikan operasional perusahaan tetap berlangsung baik,” kata Irfan.
Kami akan tetap berkomitmen, uang hanya digunakan untuk memastikan operasional perusahaan tetap berlangsung baik.
Irfan menegaskan, dana dari obligasi tidak akan digunakan untuk membayar kewajiban kepada pegawai yang pensiun dini dan kontraknya disudahi. Kondisi keuangan Garuda yang terpukul Covid-19 membuat sejumlah pekerja ditawarkan pensiun dini secara sukarela dan beberapa pekerja kontrak dipercepat masa kontraknya.
Garuda terpaksa melakukan hal itu karena pertumbuhan penumpang dalam waktu dekat belum akan sampai pada titik sebelum Covid-19. Garuda juga telah memenuhi kewajibannya terhadap para pekerja sehingga tidak membutuhkan sokongan dana dari hasil penerbitan obligasi.
”Pegawai kontrak yang kami percepat kontraknya dan sebenarnya masih punya sisa masa kontrak lima bulan, kami bayarkan untuk lima bulan sisanya itu. Jadi, secara umum sudah diselesaikan, tinggal 1-2 kasus saja yang harus didalami,” katanya.
Pukulan terhadap industri penerbangan internasional di tengah pandemi Covid-19 turut dirasakan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Sepanjang semester I-2020, maskapai pelat merah itu rugi bersih 712,72 juta dollar AS atau setara Rp 10,34 triliun. Kondisi keuangan Garuda Indonesia turun tajam dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada semester I-2019, perseroan itu membukukan laba bersih 24,11 juta dollar AS atau setara Rp 349,5 miliar.
Di tengah tantangan finansial itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga merombak struktur direksi Garuda. Menteri BUMN Erick Thohir mencopot Fuad Rizal dari jabatan direktur keuangan dan manajemen risiko. Jabatan itu kini dipegang oleh Prasetio, yang sebelumnya menjabat Corporate Advisor Garuda Indonesia.
Irfan mengatakan, kesulitan finansial perusahaan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Prasetio, khususnya terkait dengan upaya negosiasi dengan penyewa pesawat (lessor) dan restrukturisasi kredit dengan perbankan. Hal-hal itu merupakan tugas utama Fuad sebelum diganti.
”Kami sekarang sedang banyak melakukan nego dengan lessor dan perbankan. Negonya bukan semata-mata harga, melainkan juga syarat-syarat terms and condition. Hal-hal ini perlu difinalisasi direktur keuangan yang baru. Ini mungkin tugas yang berat karena akhir tahun tinggal sebentar lagi,” katanya.
Sementara itu, kondisi industri penerbangan diproyeksikan akan tetap lesu meskipun orang-orang mulai kembali melakukan perjalanan. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat tahun 2020 sebagai tahun terburuk dalam sejarah industri aviasi. Berdasarkan proyeksi Juni 2020, maskapai penerbangan di seluruh dunia diperkirakan merugi 84,3 miliar dollar AS sepanjang tahun.
Kondisi pada 2021 diperkirakan masih penuh kesulitan, dengan munculnya potensi gelombang kedua Covid-19 di sejumlah negara. Maskapai juga masih akan menghadapi tantangan lain berupa pengurangan harga dan pelonggaran syarat dari pihak lessor yang terbatas dan tidak signifikan, serta harga bahan bakar yang diproyeksikan naik pada 2021.
CEO IATA Alexandre de Juniac mengatakan, di tengah proyeksi yang suram itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan industri penerbangan. Selain bantuan finansial, pemerintah selaku regulator juga didorong untuk menerapkan protokol bepergian yang menjamin rasa aman untuk penumpang.
”Salah satunya menerapkan pengetesan Covid-19 yang sistematis dan aman untuk membuka kembali perbatasan tanpa perlu mengarantina penumpang,” ujarnya.
Di tengah proyeksi yang suram itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan industri penerbangan. Selain bantuan finansial, pemerintah selaku regulator juga didorong untuk menerapkan protokol bepergian yang menjamin rasa aman untuk penumpang.
Menurut Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto, sebagai upaya mendorong masyarakat kembali melakukan perjalanan lewat udara, kampanye bepergian secara aman (safe travel campaign) akan terus didengungkan. INACA bekerja sama dengan sejumlah maskapai, pengelola bandara, serta AirNav untuk menjalankan kampanye itu di beberapa kota, seperti Bali, Medan, dan Yogyakarta.
”Kegiatan ini efektif mendorong masyarakat untuk kembali melakukan perjalanan dengan pesawat,” kata Bayu.
Data PT Angkasa Pura II sepanjang Oktober 2020 menunjukkan tingkat perjalanan kembali menggeliat. Pada Oktober 2020, jumlah penumpang di 19 bandara mencapai 2,14 juta orang atau melonjak sekitar 19 persen dibandingkan dengan September 2020, yakni sebanyak 1,79 juta orang.
Hal serupa terlihat di trafik penerbangan 15 bandara di bawah PT Angkasa Pura I. Perjalanan pada Oktober 2020 mengalami pertumbuhan 16,9 persen, menjadi 2.168.075 penumpang, dari 1.853.378 penumpang pada September 2020.