Geliat Sektor Konstruksi Sokong Industri Baja Nasional
Perbaikan kinerja sektor konstruksi, sejalan dengan situasi di industri manufaktur secara umum, berdampak pada peningkatan konsumsi baja. Para pelaku industri baja nasional berharap perbaikan itu berlanjut.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku industri baja nasional berharap perbaikan kinerja sektor konstruksi di triwulan III-2020 berlanjut sehingga mendorong permintaan. Dengan demikian, utilitas pabrik besi dan baja nasional bisa semakin naik.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim menyatakan, kinerja industri baja pada triwulan III-2020 menunjukkan perbaikan dibandingkan pada triwulan sebelumya. Dia berharap tren tersebut berlanjut pada triwulan IV-2020 hingga tahun 2021, salah satunya karena perbaikan kinerja sektor konstruksi.
”(Kinerja) Sektor konstruksi berdampak pada konsumsi baja. Hal ini menjadi faktor penting bagi utilisasi (industri) baja nasional,” katanya dalam diskusi bertajuk ”Outlook Kebutuhan Baja di Indonesia” yang digelar secara virtual, Kamis (22/10/2020).
Kinerja sektor Industri pengolahan nasional pada triwulan III-2020, menurut data Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI-BI), terindikasi membaik meski masih berada dalam fase kontraksi. PMI-BI triwulan III-2020 tercatat 44,91 persen atau naik dibandingkan triwulan II-2020 yang 28,55 persen meski masih di bawah indeks pada triwulan III-2019 yang tercatat 52,04 persen.
Perbaikan terjadi pada seluruh komponen pembentuk PMI-BI dengan indeks tertinggi pada volume pesanan barang input sejalan dengan pelonggaran pergerakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang mendorong permintaan dan kemudahan distribusi. Seluruh subsektor mencatat perbaikan indeks pada triwulan III-2020.
Menurut Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Trisasongko Widianto, kebutuhan baja konstruksi tahun 2021 mencapai 1,04 juta ton. Guna memenuhi kebutuhan itu, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 149,81 triliun.
Pembangunan sejumlah proyek strategis yang berorientasi pada pemulihan ekonomi nasional, lanjut dia, membutuhkan baja. Trisasongko mencontohkan pembangunan kawasan industri di Batang, Jawa Tengah, dan Subang, Jawa Barat, serta pengembangan lima kawasan pariwisata super prioritas nasional, yakni Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado Bitung-Likupang.
Sepanjang tahun 2020, Kementerian PUPR mengubah angka kebutuhan baja dari semula 848.711 ton (sebelum pandemi Covid-19) menjadi 511.331 ton. Penurunan itu salah satunya disebabkan realokasi anggaran tahun 2020 dari Rp 120,21 triliun menjadi Rp 75,63 triliun.
Pandemi turut menekan kebutuhan baja karena pelaksanaan proyek melambat di lapangan. ”Kami juga merelaksasi kontrak sejumlah proyek, misalnya yang semula setahun menjadi dua tahun, dan yang semula dua tahun menjadi tiga tahun,” kata Trisasongko.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian memperkirakan kapasitas terpakai industri baja nasional baru sekitar 40 persen. Impor besi/baja dinilai turut menekan utilitas itu. Sejumlah pelaku industri baja Indonesia menilai, tingginya volume impor disebabkan banyaknya importir yang memanfaatkan celah untuk menghindari biaya masuk. Selain itu, impor juga didukung banyak negara yang memotong pajak ekspor (tax rebate). Akibatnya, harga baja dari luar negeri lebih rendah.
Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi Kementerian PUPR Nicodemus Daud menyatakan, pihaknya tengah menghitung kebutuhan baja berdasarkan zona atau letak geografis. Perhitungan ini mengaitkan antara kebutuhan dan pasokan baja yang ada di suatu wilayah. Keseimbangan permintaan dan suplai jadi salah satu perhatian.
Direktur Operasi III PT Waskita Karya (Persero) Tbk Gunadi menyebutkan, terdapat 93 proyek yang berlangsung sepanjang 2020 dengan kebutuhan baja berkisar 170.620 ton.
SVP Strategic Planning, Engineering and Technology PT PP (Persero) Tbk Budi Suanda memperkirakan, potensi pasar besi/baja nasional sepanjang 2020-2024 dapat mencapai Rp 135 triliun-Rp 175 triliun. Dari jumlah itu, kebutuhan PT PP mencapai 590.000 ton.
Proyeksi ini berdasarkan korelasi antara pertumbuhan kinerja konstruksi dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kinerja konstruksi pada 2021-2024 secara berturut-turut berkisar 5,1 persen-6,4 persen; 5,2 persen-6,8 persen; 5,5 persen-7,3 persen; dan 5,3 persen-7,7 persen.
Di sisi lain, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Budi Gunadi Sadikin meminta perusahaan dan industri mempertahankan aliran kas (cashflow) dalam kondisi cukup hingga 2022. ”Utamanya untuk membayar gaji tenaga kerja. Bertahanlah hingga 18-24 bulan ke depan,” ujarnya.