Awal Triwulan III, Penjualan Pakaian dan Aksesori Mulai Meningkat
Pelaku usaha di industri pakaian mulai merasakan peningkatan penjualan seiring penerapan normal baru. Sebelumnya, selama masa pembatasan sosial, penjualan pakaian anjlok cukup dalam.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha di industri pakaian mulai merasakan peningkatan penjualan seiring penerapan normal baru. Sebelumnya, selama masa pembatasan sosial, penjualan pakaian anjlok cukup dalam.
Pengusaha pakaian anak Arsylla Kids, Neneng (35), yang berbasis di Tangerang mulai mendapatkan sedikit harapan untuk melanjutkan usaha setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilakukan Pemerintah Kota Tangerang.
Mulai awal Agustus, ia dapat kembali berjualan di pusat perbelanjaan seperti sebelum adanya PSBB. Bahkan, ia mengaku sudah menerima banyak tawaran untuk membuka bazar di mal atau lokasi temporer di perumahan.
Namun, saat ini, ia baru menerima tawaran untuk membuka usaha di satu stan untuk berjualan. Di masa normal, ia biasa berjualan di lima stan di pusat perbelanjaan sekaligus. ”Walaupun belum sepenuhnya normal, tetapi mulai ada pemasukan,” katanya saat dihubungi Kompas, Kamis (6/8/2020).
Saat ini, omzet hariannya masih sekitar Rp 2 juta per hari atau kurang dari setengah rerata omzet di masa sebelum pandemi yang mencapai Rp 5 juta per hari. Menurunnya daya beli masyarakat masih menjadi penghambat.
Pengusaha produk kreatif khas Yogyakarta, Dagadu Djokdja, yang populer dengan produk kauss dengan desain dan kata-kata unik, juga mulai merasakan penjualan mereka berangsur pulih. Hal ini seiring dengan bangkitnya pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta selama era normal baru.
CEO Dagadu Djokdja Spica Virgino Titahelu, dalam bincang virtual bersama Total Quality Indonesia, hari ini, mengatakan, usaha mereka yang digerakkan aktivitas pariwisata mulai pulih setelah pembatasan sosial membuat omzet usaha mereka berkurang sekitar 50 persen.
”Juli mulai ada peningkatan. Warga lokal mulai memenuhi pusat perbelanjaan, demikian juga beberapa wisatawan luar negeri mulai terlihat,” katanya.
Bergantungnya Yogyakarta pada aktivitas pariwisata, menurutnya, membuat usaha ritel mereka bergantung pada kuantitas dan kualitas wisatawan. Kondisi ini berbeda dengan tantangan usaha ritel di daerah non-wisata yang bisa menggunakan strategi pemasaran umum, yaitu amati, tiru, dan modifikasi.
”Kalau di Yogyakarta beda. Sebagai daerah turisme, kita harus paham bahwa turis punya profil budaya yang berbeda-beda. Kami selalu kembangkan desain berbeda agar bisa diterima pembeli dan bisa diceritakan kepada teman atau orang lain di luar daerah,” katanya.
Paling terdampak
Penjualan eceran produk sandang, termasuk barang budaya dan rekreasi, dilaporkan mengalami pertumbuhan paling negatif sejak Maret setidaknya sampai akhir triwulan II-2020 berdasarkan Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (BI) Mei 2020.
Dalam laporan itu, indeks penjualan produk sandang tumbuh negatif 74 persen pada Maret 2020, lebih dalam dari pertumbuhan negatif 70 persen di April 2020 dan 40 persen di Mei 2019. Demikian juga dengan produk budaya dan rekreasi yang negatif 53,7 persen secara tahunan di Mei 2020.
Negatifnya pertumbuhan penjualan sandang berkolerasi dengan konsumsi komponen pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya, yang menurut Badan Pusat Statistik, turun sampai 5,13 persen secara tahunan pada triwulan kedua 2020. Penurunan itu lebih dalam dibanding triwulan I-2020 yang minus 3,31 persen.
Berakhirnya kebijakan pembatasan sosial berskala besar di beberapa daerah pun disebut akan berdampak pada membaiknya pertumbuhan penjualan eceran meskipun masih relatif terbatas. Laporan BI menyebut, kinerja penjualan eceran diindikasi sedikit mengalami perbaikan meskipun masih dalam fase kontraksi pada Juni 2020.
”Seluruh kelompok menunjukkan perbaikan kinerja penjualan meskipun masih tetap dalam fase kontraksi,” tulis BI dalam laporannya.
Kontraksi penjualan terdalam masih terjadi pada subkelompok sandang sebesar -74 persen secara tahunan pada Juni 2020. Sementara penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau tercatat sebesar -3,2 persen relatif lebih baik jika dibandingkan dengan penjualan kelompok komoditas lain.