Dengan semakin banyaknya waktu yang dihabiskan di rumah, masyarakat harus semakin jeli mengecek kebutuhan dan penggunaan listrik di rumah, bukan hanya fokus pada tagihan listrik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Baru-baru ini, Puti (23) terkejut mengetahui tarif listrik Mei 2020 yang harus dibayarkan keluarganya pada Juni ini mencapai sekitar Rp 900.000. Padahal, biasanya tarif listriknya hanya setengahnya. Tagihan dari biaya listrik April lalu, yang tidak dihitung petugas pencatatan meter PLN, misalnya, hanya sekitar Rp 500.000.
Ia pun mencoba menengok ke belakang. Ia menduga biaya listrik pascabayar tersebut meroket karena dua bulan terakhir keluarganya menghabiskan banyak waktu di rumah akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Warga Depok, Jawa Barat, itu mengakui, dirinya dan empat anggota keluarga lainnya memang menggunakan listrik lebih banyak, mulai dari menyalakan pompa air hingga membuat kue jelang Lebaran.
”Pompa air makin sering dihidupkan karena kami bolak-balik ke kamar mandi saat hampir dua bulan di rumah saja. Lalu, buat kue pakai mixer, kayaknya watt-nya besar. Selama bulan puasa, pakai AC juga hampir seharian. Itu kayaknya ikut naikin pemakaian listrik,” tuturnya saat dihubungi Kompas, Selasa (9/6/2020).
Agar tarif listrik tidak lagi membengkak, keluarga Puti bersiasat untuk menghemat listrik. Hal ini dilakukan dengan cara, antara lain, menghidupkan penyejuk ruangan (AC) hanya pada pukul 10 malam.
Warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Zulkarnen, juga kaget dengan kenaikan tagihan listrik di rumahnya bulan ini. Biaya listrik pada April dan Mei lalu naik Rp 100.000 sampai Rp 200.000 dari rata-rata biaya penggunaan senilai Rp 700.000.
”Kenaikan tagihan bulan ini dan bulan lalu yang terasa, tetapi pembayaran terakhir ini yang naiknya parah. Mungkin naik karena dua keponakan dan satu adik enggak sekolah, jadi televisi hampir menyala terus,” ujarnya.
Pemuda berusia 25 tahun itu juga kerap bekerja dari rumah dalam beberapa bulan terakhir. Namun, ia menilai, dirinya tidak terlalu banyak memakai listrik di rumah.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat, lonjakan pembayaran pada tagihan Juni dialami 4,3 juta pelanggan dari 34,5 pelanggan listrik pascabayar. Kenaikan disampaikan mencapai 20 persen dibandingkan dengan biasanya. Namun, PLN memastikan tidak ada kenaikan tarif listrik.
”PLN tidak mungkin menambah atau menaikkan tarif listrik seperti yang diisukan di luar. Tidak mungkin kami menaikkan tarif tanpa persetujuan pemerintah,” kata Senior Executive Vice President Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PLN Yuddy Setyo W kepada Kompas, Senin (8/6/2020).
Ia menyebutkan, lonjakan itu terjadi sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk bekerja dan belajar dari rumah pada pekan ketiga Maret 2020, yang diikuti pemberlakuan PSBB.
Selama periode itu, PLN tidak mengirimkan petugas yang biasa melakukan pencatatan secara langsung ke rumah. Oleh karena itu, PLN menggunakan rata-rata tiga bulan sebagai dasar perhitungan rekening listrik.
Sebagai solusi, PLN menyiapkan layanan Lapor Stand Meter Mandiri (Meter Mandiri) melalui aplikasi Whatsapp PLN 123 dengan nomor 08122123123. Pelanggan perlu mengirimkan angka stand meter pada tanggal 24-27 setiap bulan. Laporan tersebut akan digunakan sebagai dasar perhitungan tagihan.
Sosialisasi dan edukasi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang dihubungi terpisah mengatakan, masalah ini menuntut perlunya sosialisasi dari penyedia listrik. Tidak ketinggalan, edukasi penggunaan energi listrik kepada masyarakat juga harus menjadi perhatian.
Ia menilai, PLN kurang optimal dalam menyosialisasikan kebijakan penghitungan tagihan listrik selama tiga bulan di masa PSBB itu kepada pelanggan.
Untuk mengatasi kendala tersebut, PLN bisa berinovasi dengan mengganti penggunaan stand meter yang masih analog ke smart meter yang berbasis digital. Alat itu memungkinkan pencatatan konsumsi tenaga listrik secara real time.
”Inovasi ini bisa menjadi investasi bagi PLN dan mengoptimalisasi pembangkit listrik. Dengan ini, akan ada tambahan penghematan biaya produksi listrik karena permintaan dan kebutuhan bisa disesuaikan,” katanya.
Alat tersebut, lanjutnya, juga bisa membantu mengedukasi masyarakat. Menurut Fabby, kebanyakan masyarakat tidak peka terhadap kebutuhan dan penggunaan listrik pada barang-barang elektronik yang digunakan sehari-hari.
”Masyarakat harus tahu berapa daya dan waktu konsumsi barang elektronik, bisa dengan mengecek label barang atau cek di internet. Misalnya, AC 1 PK 700 watt sampai 800 watt, dalam sehari dipakai berapa jam, lalu dikali tarif daya listrik daya di rumah. Barang-barang lain juga dihitung dan diurutkan besaran konsumsi listriknya,” tuturnya.
Kepekaan pada penggunaan listrik itu, menurut Fabby, masih minim dimiliki masyarakat. Masyarakat saat ini dinilai cenderung hanya fokus pada hasil perhitungan penggunaan listrik dan biaya yang harus dibayar.
”Jadi, masyarakat tidak punya sensitivitas, apa mereka gunakan listrik atau energi terlalu banyak atau tidak. Di sini ada masalah edukasi konsumen mengenai penggunaan listrik. Begitu bayarnya mahal, heboh dan protes,” ujarnya.